Aku mengetuk-ketukan ujung sepatuku pada lantai teras rumah yang selama hampir sepuluh menit menjadi perhatianku. Ku amati tiap pola sulur pada tegel berwarna kuning kecoklatan dengan aksen bunga berwarna merah bata. Beberapa ekor semut membentuk barisan rapi dengan muatan remah roti yang mungkin tercecer sisa jamuan minum kopi tadi pagi. Mereka beriringan tampak suka cita karena tidak perlu lagi memusingkan persedian makan untuk koloninya. Ah lagi-lagi otakku terjebak segala pemikiran gila. Bahkan mungkin aku akan lebih bahagia jika ternyata aku adalah bagian dari koloni itu. Ya setidaknya mereka saling menyayangi.
"Pagi Sekar" suara berat dan dalam itu memecah lamunanku.
Aku menengadahkan wajahku. Sebuah senyum yang sama seperti kemarin "Pagi" balasku datar
"Udah siap?" Dia mengamatiku, sedangkan aku hanya mengangguk
Seperti kemarin kami berdua terjebak di sebuah kabin mobil dengan dengan lalu lintas yang lumayan padat. Hari Senin selalu begitu bukan.
Sebuah alunan piano perlahan memenuhi seisi mobil "Nggak apa-apa kan kalo aku nyalain musik?"
"Nggak apa-apa"
"Oke, oh ya aku udah tau jalannya, jadi tenang aja kita nggak bakal nyasar lagi" sebuah cengiran lebar yang tidak bisa aku artikan apakah dia berniat menyombongkan diri atau justru menyindir kebodohanku kemarin.
Tidak terlalu aku pikirkan karena selanjutnya kupingku hanya menangkap spring rain-Yiruma. Setiap bunyi tut piano yang mengalun selaras dengan violin membuat aku tidak perduli bahwa musik ini tidak terlalu cocok jika didengarkan di sebuah mobil dengan lalu lintas padat dan matahari yang mulai terik. Nyatanya aku tidak perlu suasana yang mendukung untuk menikmatinya karena justu musik itu yang menciptakan atmosfir damai di sekitarku.
Proses menjadi pemandu untuk mas Egar hari ini berjalan lancar. Setelah sampai aku hanya perlu memperkenalkannya pada seorang abdi dalem yang bertugas sebagai juru kunci pendopo wetan. Setelahnya dia tenggelam dengan dunianya, mengambil foto sebanyak-banyaknya, berdiskusi dengan si juru kunci. Aku mengikutinya dalam diam dengan perasaan senang tentu saja, karena toh aku juga sibuk dengan pikiranku sendiri.
"Terimakasih sekali pak untuk hari ini, saya harap bapak tidak keberatan kalau saya kapan-kapan datang lagi kesini" mas Egar menjabat tangan pak Harjo-si juru kunci dengan mantap
"Sama-sama, tentu saja nak, datanglah lagi kapan-kapan, bapak senang bisa bantu nak Egar" lelaki tua itu menepuk-nepuk lengan mas Egar
Setelah beberapa saat berbasa-basi kami pamit pulang. Kesenangan dan ketenanganku berantakan setelah mas Egar mulai lagi dengan tingkah menyebalkannya. Berdalih lapar dia memaksa untuk mampir makan sebelum mengantarkanku pulang. Jadi disinilah kami. Duduk di sebuah gazebo joglo menunggu pesanan kami diantar. Anak kota yang tidak pernah ke sawah, dia sepertinya sangat menyukai sawah karena dari sekian banyak gazebo yang ada di restoran ini dia memilih yang paling dekat dengan sawah. Gemricik aliran sungai kecil dengan air yang lumayan jernih membatasi tempat kami duduk dengan hamparan hijau padi.
"Maaf ya Sekar, aku suka lupa sekitar kalo udah ketemu hal yang menarik" mas Egar mulai pembicaraan. Aku tersenyum menanggapi ucapannya. "Tapi kayanya kamu malah lebih seneng ya kalo aku cuekin" lelaki itu memiringkan kepalanya, menyandarkan pada tangan dan menghembuskan nafas kasar.
"Hah?" Tanyaku pura-pura tidak mengerti, tapi tentu aku mengerti dan itu benar aku lebih suka saat dia mengacuhkanku karena aku lebih bebas dengan diriku sendiri
"Benerkan" dia menjentikan jarinya "Kamu mungkin tadi liatnya aku bener-bener cuekin kamu, tapi beberapa kali sebenernya aku perhatiin kamu"
"Perhatiin?" Keningku berkerut
"Di dalam situ?" Dia menunjuk pelipisnya tapi matanya lurus menembus mataku "Apa yang ada di dalam situ? Bisa nggak kamu bagi sama aku?"
Aku berusaha mencerna tiap kata lelaki yang masih menatapku ini. Membagi isi otakku padanya. Apa yang dia harapkan dari otakku. Apa dia berusaha berbicara tentang hidup yang tiap detiknya aku kutuki. Apa dia tidak mengerti bahwa otakku adalah hal yang sangat berbahaya yang setengah mati berusaha aku jinakkan. Siapa dia? Orang asing yang tiba-tiba datang dan berbicara seolah-olah dia tau aku kemudian dengan berani-beraninya dia berharap aku membagi isi otakku duniaku dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Paragraf untuk Mengantarmu
RomanceSeperti waktu yang perlahan meninggalkan ragaku, dia menghilang. Tidak ada kata yang sempat diucap hanya senyum penuh kegetiran. Jiwa yg menua ahirnya tidak lagi menemukan makna, jika pada ahirnya tawamu terpenjara tanpa rupa. Kekasih hati, kemana d...