Apakah Takdir yang Mempertemukan kita?

59 4 0
                                    

Langit masih kelabu, saat perlahan mata tebuka, mengerjap dan erangan pelan keluar dari mulutku. Pagi yang lainnya setelah 21 tahun. Seperti biasa aku melewatkan pagi hanya dengan bersandar pada kepala ranjang sedang otakku bekerja merancang sekenario tentang tersenyum, tertawa dan bahagia. Hal yang entahlah aku lupa bagaimana rasanya, mungkin terlalu lama berpura-pura. Dan aku adalah Sekar Arum Ndalu, perempuan yang anggun, cantik, dan baik hati, setidaknya itu peran yang harus aku jalani. Satu-satunya putri keluarga Raden Tumenggung Wirabrata menjadikanku pemilik darah biru.

Sekali lagi aku mendesah, saat suara ketukan pintu terdengar disusul suara lembut seorang perempuan.
"Kanjeng putri" diam, tidak ada lagi suara tapi aku tau dia masih berdiri disana. Senyum tuanya mengembang setalah pintu kamar ku buka.

Tergopoh-gopoh dia masuk kedalam kamarku, merapikan tempat tidur dan semua yang sudah tertata rapi di atas meja. "Kok kanjeng putri belum mandi?" Aku tidak menjawab "Nanti di tegur ayahanda lo kalo sampai telat nemenin tamu yang mau melihat-lihat keraton"

Aku masih tidak menjawab, berjalan menuju kamar mandi. Menyalakan shower air hangat yang menciptakan uap tipis di sekitarku. Terasa aman bahkan dalam ketelanjanganku.

Dua lelaki itu tertawa, entah apa yang lucu tapi sepertinya mereka menikmati pagi ini. Duduk melingkari meja bundar kayu jati di halaman depan. Rumput yang sedikit basah karena sisa embun semalam tidak mengganggu mereka. Cangkir-cangkir teh hangat menguarkan aroma melati. Beberapa piring cantik terisi aneka jajan pasar, manis legitnya onde-onde, gurihnya semar mendem dan kue lapis dalam warna -warna pastel yang lembut.

Seorang yang lebih tua menoleh setelah menyadari kedatanganku "Sekar, sini nduk" dia menepuk kursi di sebelahnya bersebrangan dengan lelaki lainnya. Sebelum aku duduk lelaki itu berdiri, ayahku tersenyum penuh wibawa dan ikut berdiri.

"Kenalkan ini nak Egar yang mau melakukan penelitian tentang bangunan tradisional di sini. Nak Egar kenalkan ini sekar, putri saya" ucap ayahanda di ikuti uluran tangan lelaki di depanku.

"Egar Andra Putra, tapi panggil saja Egar" dia tersenyum penuh pesona, mungkin karena suaranya yang terdengar berat dan dalam, atau sepasang mata tajam dengan alis tebal, atau senyum menawannya atau mungkin memang secara keseluruhan dia indah. 

"Sekar Arum Ndalu, mas bisa panggil saya Sekar" dengan ramah aku memperkenalkan diri, tentu saja dengan senyum manis yang sudah bertahun-tahun aku latih.

Selanjutnya kami bertiga duduk, ayahanda memulai berbincangan basa-basi kami "Sekar ini yang nanti menemani nak Egar untuk melihat-lihat bangunan tradisional di sini"

Mas Egar tersenyum ke arahku. "Maaf ya Sekar, aku ngerepotin"

"Nggak apa-apa kok mas" aku menggeleng membalas senyumnya.

"Tidak perlu sungkan nak Egar, sekar juga senang dengan hal berbau arsitektur, ya kan sekar?" Ayahanda memutar tubuhnya ke arahku, dan disitu aku menemukan mata beliau yang tiba-tiba membuatku merasa mual.

Rasa asam berkumpul di mulutku, menyeruak, menghentak-hentak ingin di lepaskan. Kalau saja aku mampu tentu aku berlari menerobos rumah, mengunci diri dan meringkuk di pojok kamarku. Tapi tentu saja hanya sebuah senyum pada ahirnya pelarianku "ya ayahanda, tapi tidak terlalu"

Paragraf untuk MengantarmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang