1
Awan mendung masih bergelayut dilangit Cirebon, aku sedikit merasa bersyukur karena cuaca macam ini jarang sekali kami temui dimusim kemarau. Meskipun sebenarnya aku tidak begitu menyukai hujan, padahal arti namaku-Jorah, adalah hujan dimusim semi, hal yang tidak sepenuhnya kumengerti sampai sekarang kenapa Ayahku bisa memilih nama itu.
Tapi jelas Ayah sangat menyukai hujan, ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam dikursi malasnya jika bulir-bulir air itu turun. Secara personal aku lebih menyukai Cirebon dengan cuaca cerah dan panasnya.
Kalian tidak akan pernah menemui hari Cirebon yang kelabu, kota ini akan memberikan sejuta keceriaan yang mungkin tidak bisa ditemui ditempat lain.
Langitnya selalu biru dengan awan berarak ketika ditiup angin malas-malasan, tidak jarang kalau aku pulang terlalu sore cakrawala Cirebon memberikan penghiburan luar biasa menyenangkan, warna serupa si lembut harum manis itulah yang akan mengapung dilangit hingga talu adzan Magrib menjelang. Lupakan California atau Miami, kota bersahaja ini punya pesonanya sendiri.
Tatapanku tertuju pada rumah tua kedua dari ujung jalan, didalamnya tinggal seorang nenek yang sangat baik, kami tidak sengaja bertemu saat sama-sama naik angkot dan tanpa terduga mengobrol panjang lebar-Ayahku selalu berpesan bahwa waktu yang dihabiskan dengan seseorang yang berusia dibawah tujuh tahun dan diatas tujuh puluh tahun tidak akan pernah berakhir sia-sia.
Kegemaranku pada buku-buku klasik seperti gayung bersambut, Mbah Mari mempunyai koleksi buku klasik lumayan banyak, dan ia berbaik hati untuk meminjamkan beberapa koleksinya padaku. Semenjak itulah setiap weekend aku pasti menyempatkan diri untuk main kerumahnya.
Sebenarnya aku lebih menyukai perasaan 'pulang ketempat aman' yang muncul begitu saja setiap dikelilingi buku-buku berbau lembab-sangat khas itu, ketimbang isinya sendiri. Aku jatuh cinta pada nostalgia yang dibawa oleh lembaran lusuh serta telah menguning itu, banyak yang bilang kegemaranku sangat aneh untuk ukuran remaja tanggung seusiaku.
"Mbah, kotak yang ada dipojok aku bongkar boleh?" Pintaku sopan.
Mata Mbah Mari yang cekung terpaku pada kotak yang kumaksud, ia kelihatan seperti sedang berusaha mengingat sesuatu sebelum akhirnya kembali tersenyum hangat.
"Bongkar, punya anak Mbah dulu itu, awas satoan." Jawab Mbah Mari.
Satoan berarti binatang kecil-serangga.
Mendapat persetujuan, segera kutarik kotak berbahan kayu itu kuat-kuat. Cat hijaunya telah memudar dan dibeberapa sisi sudah keropos karena dimakan rayap, kutebak kotak ini dulunya pasti ngejreng sekali-sebutan halusku pada hal yang norak.
Suara gesekan antara kotak kayu dan lantai tehel terdengar menggema diruangan kecil ini. Baru kusadari kalau suasana sangat hening, hampir tidak terdengar suara deru motor ataupun kendaraan lain.
Jalan evakuasi setiap hari minggu terbilang sepi, warga kota lebih suka berbelok ke Jalan Siliwangi, tempat Car Free Day rutin digelar. Rumah Mbah Mari terletak dipinggir jalan, tepat bersebrangan dengan Hotel Safir yang terkenal karena arsitektur kunonya itu.
Rumah yang telah beliau tinggali sekitar tiga puluh tahun lebih ini sangat kental dengan perpaduan arsitektur Jawa dan Belanda, rumahnya selalu menebarkan aroma kayu jati tua dengan lantai tehel bermotif kotak-kotak-sangat licin karena terlampau sering dipel.
Dengan hati-hati kupilah tumpukan buku itu dan mengambil salah satu buku yang letaknya paling atas, kutiup debunya pelan hingga membuat awan debu cukup besar dan itu hampir-hampir membuatku tersedak sendiri.
Beberapa buku ini masih menggunakan bahasa Belanda dan ada juga yang memakai aksara jawa kuno. Inilah yang kusukai ketika membaca buku kuno, tidak perlu mengerti isinya kalau hanya ingin menikmati keindahan waktu yang membeku-terperangkap diantara serat kayu dan tinta pudar.
Aku sedang berusaha menarik buku paling tebal, kugertakkan gigiku karena kesulitan memusatkan tenaga. Mungkin karena sudah terlalu lama tidak dibuka, sampul-sampulnya jadi menempel satu sama lain. Aku hanya berharap bisa mengeluarkannya tanpa harus merusak apapun.
Setengah putus asa, kurapihkan rambutku yang sudah mulai gondrong itu-separuhnya sudah basah oleh keringat. Kuamati baik-baik struktur susunan buku didalam kotak, mencoba mencari celah agar aku bisa mengeluarkan bukunya lebih mudah.
Pandanganku tidak sengaja tertuju pada Jurnal warna merah marun dengan selotip hitam yang menyilang panjang. Dapat kurasakan keningku berkerut, kutatap susunan buku didalam kotak itu dengan seksama.
Kenapa tidak terpikir daritadi!
Dengan mudah kutarik jurnal itu dan hal itu langsung membuat susunan buku dikotak melonggar, benar dugaanku kalau sampul buku-buku itu telah merekat satu sama lain.
Hampir kutaruh jurnal itu kalau saja beberapa lembaran awalnya tidak terjatuh kelantai. Aku jadi sedikit panik, jelas aku tahu ini bukan salahku tapi tetap saja aku merasa tidak enak.
Secepat mungkin kurapihkan kembali lembaran-lembaran itu, mencoba menyusunnya lagi dengan rapih. Aku sedikit termenung pada tulisan yang ada dibuku ini, sangat rapih dan sedap dipandang mata.
Kutatap lagi jurnal itu dengan seksama, sungguh aku tidak bohong jika kubilang jurnal ini tidak menarik sama sekali dari luar.
Hanya ada satu tulisan besar ditengah sampul jurnal itu, semuanya menggunakan huruf kapital.
ANWIL.
Kebanyakan halamannya sudah mulai terlepas, bisa saja kuperbaiki jika ada waktu nanti.
Tapi untuk saat ini aku terlalu penasaran untuk menunggu sampai saat 'nanti' itu. Kukerlingkan mataku ketika mulai membuka sampul buruknya. Membayangkan akan menemui tulisan mengenai hari-hari membosankan gadis remaja atau puisi picisan.
Tapi ternyata tebakanku itu melesat. Lidahku terasa kelu saat membaca dua kalimat utama pembuka jurnal.
Aku Anwil. Aku Gay.
Mereka bilang aku bencana nasional.Segera kututup cepat-cepat jurnal itu. Gila! Kenapa buku semacam ini bisa ada pada Mbah Mari, ini jelas bukan buku yang bisa dibeli ditoko, aku sangat yakin jurnal ini berisi pengalaman pribadi.
Kutimbang-timbang apakah aku perlu membaca buku ini lagi dengan konsekuensi melanggar ajaran orang tuaku sejak kecil, yaitu melangkahi privasi orang lain? Sungguh, aku belum pernah merasa sedilema ini sebelumnya.
Makin kurenungkan, makin kuat pula keinginanku untuk melanjutkan membaca jurnal itu. Ah! Persetanlah dengan nasehat Ayah, rasanya aku masih bisa lebih nakal dari sekedar tetap minum air es saat sedang batuk.
Tanganku sedikit bergetar karena terlalu antusias, mataku kembali menscan dua kalimat itu dengan seksama sebelum terhujam pada selembar uang kertas pecahan seribu rupiah yang ditempel menggunakan solatip putih, dan aku baru sadar kalau uang itupun mempunyai tulisan. Senyumku sedikit tersungging aneh karena kalimat singkat itu.
Jadi lengkapnya seperti ini.
Aku Anwil. Aku Gay.
Mereka bilang aku bencana nasional
Aku sih oke aja.Lebih mirip jawaban singkat-atau ketidakpedulian? Yang pasti hal itu membuatku mendengus geli. Tanpa pikir panjang kututup jurnalnya dan langsung memasukkannya kedalam tas. Aku tidak sabar untuk menghabiskan hari minggu yang membosankan ditemani temuan luar biasaku hari ini.
Anwil, persetan kalaupun benar kamu seorang Gay. Aku sangat yakin kisah hidupmu akan membuatku lupa diri untuk setidaknya beberapa hari kedepan.
Hey Folks, ketemu lagi nih kita :)
Secara personal ini salah satu project yang saya kerjain dengan sangat serius, jadi semoga kalian suka yaa. Tinggalkan jejak di komen yaps.
Cerita ini akan saya upload setiap hari senin, supaya seninmu ada sesuatu yang ditungguu-Pede amat gua wkwkwk.
Mari mengobrol sebagai teman, saling sharing dan ngobrol santai. Vote sangat dihargai, makasih udah baca sampai akhir, sampai ketemu di chapter selanjutnya. PEACE OUT XX
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost Journal of Gay
Ficção Adolescente"Aku Gay, mereka bilang aku bencana nasional." Itulah kalimat pembuka singkat dari sebuah Jurnal yang Jorah temukan tanpa sengaja. Jurnal pribadi yang ditulis langsung oleh seorang pria bernama Anwil tentang kehidupannya sebagai Gay dilingkungan ya...