Penggitan

14K 944 175
                                    

Kabut.

Hanya itu yang bisa aku lihat. Di mana-mana hanya ada kabut. Tidak ada aroma, tidak seperti asap yang keluar dari pembakaran. Kabut ini tetap terasa mencekam. Menutup pandanganku ke depan, yang bisa aku lakukan hanya berdiri di sini, meremas kuat-kuat kaus yang kukenakan. Ini tidak bagus, ini tidak baik. Aku melakukannya lagi. Aku selalu melakukannya.

Keheningan yang tadi ada di sekelilingku diinterupsi oleh dengungan-dengungan aneh. Lalu, aku pun mulai mendengar jeritan-jeritan minta tolong. Awalnya hanya beberapa puluh meter di belakangku—mungkin. Setelahnya, makin mendekat. Makin mendekat. Dekat. Dekat. Dekat.

"Tolong!" bisik suara serak dan berat itu di telingaku.

Aku menoleh, menatap seorang lelaki setengah baya mengenakan baju compang-camping, dengan darah yang keluar dari dalam telinganya dan kedua matanya. Bibirnya pun pecah, namun tak ada darah di sana. Bibir itu kembali bergerak.

"Tolong saya!"

Tangannya yang pucat dan bengkok mencoba meraih kausku. Aku menyingkir. Bukannya mundur dengan sempurna, aku malah menabrak sesuatu. Satu sosok lainnya muncul, seorang nenek-nenek. Ada konde di belakang kepalanya. Wajahnya tak mengeluarkan darah. Dia seperti makhluk hidup pada biasanya. Tetapi, jika diperhatikan lagi, di bagian pundak nenek itu terdapat sebuah lubang besar. Seperti dikapak. Aku mundur ke arah lain.

Sosok-sosok itu ada di mana-mana sekarang. Aku menegang di tempatku berdiri. Biasanya aku tidak pernah takut dengan sosok mereka. Namun, aku ada di tempat yang tidak seharusnya orang hidup tempati. Atau datangi. Atau apapun itu, seperti kata Ayah. Sosok-sosok yang minta tolong di sini adalah milik jin. Milik setan-setan jahil yang bisa kita namai sebagai: Kuntilanak Merah, Genderuwo, Kun—oh, tidak! Salah satu setan itu muncul di sana, wajahnya yang hancur menyeringai penuh kemarahan padaku. Aku harus pergi dari sini.

Kembali ke tubuhmu, Vidi !

Kembali ke tubuhmu sekarang juga!

"BURUAN BALIK, VIDI!" bentak suara di dalam kepalaku. Itu Sammy. Aku tidak sendirian.

Maka aku pun mulai berlari. Berlari. Berlari. Terus berlari. Ini bukan mimpi. Ini astral projection yang seharusnya tidak bisa aku lakukan lagi karena aku sudah menaruh tulisan doa-doa itu di bawah bantalku. Sudah enam minggu doa-doa itu berhasil, kenapa sekarang tidak?

"Vidi kamu nggak capek?" tanya Sammy—seseorang yang bisa melihat sudut pandangku. Aku tidak bisa menceritakannya sekarang (soal Sammy). Aku sedang sibuk berlari. "Vidi?"

"Capek!" jawabku dengan napas berburu. Ini memang capek, seperti ada api yang membakar paru-paruku. Aku ingin kembali. Kemudian... aku memang kembali. Itu tubuhku.

"Loncat Vidi! Loncat masuk ke tubuhmu!" seru Sammy, membuatku ingin mencekiknya jika kami bertemu lagi kapan-kapan. Dia sangat berisik. Fuck!

Aku pun loncat masuk ke dalam tubuhku.

Aku tersentak bangun saat itu juga.

***

"What was that?" tanya Sammy. Suaranya setengah takut, setengah lega. Sudah hampir enam bulan ini kami dekat. Bukan dalam artian yang bagus, tentu saja. Aku tidak suka ada seseorang yang bisa melihat apa yang aku lihat. Meski Sammy adalah orang yang baik dan murah senyum, aku tidak mau dia selamanya ada di mataku.

Oke, mari kuceritakan secara singkat dan padat soal Sammy. Sammy adalah cowok enam bulan lalu. Maksudku, aku mengenalnya enam bulan yang lalu. Aku tiba-tiba bisa melihat apa yang dia lihat. Aku melihat dia yang sedang ada di dalam kelas, menatap dosen yang sedang menerangkan sesuatu. Melihat dia menonton serial-serial TV di laptopnya. Yang paling parah dan menjijikan adalah... melihat dia sedang menikmati dirinya sendiri. Coli, maksudnya. Aku benci aktivitas itu.

GitakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang