Sekedik

7.1K 716 95
                                    

Kuntilanak itu mengganggu lagi. Kali ini kertas-kertas gambaranku yang menjadi korbannya.

Waktu aku baru pulang ke kos, kamarku tidak sama lagi seperti terakhir aku tinggalkan. Banyak barang yang sudah berpindah ke tempat yang tidak seharusnya. Seperti akuarium kecil yang kutaruh di dekat night table, akuarium itu kini berada di atas TV. Pecah. Ikan mas yang ada di dalamnya telah mati, dan menjadi hantu di dalam akuarium pecah itu. Dampak yang paling parah adalah meja tempat aku biasa menggambar, karya setengah jadiku rusak tersiram tinta.

Aku memejamkan mata, fokus sedalam mungkin agar bisa memanggil Sammy. Aku butuh bantuannya. Sammy? Sammy? Di mana dia saat aku membutuhkan—

"Kenapa, Vid?"

"Bantuin saya," bisikku, pura-pura merapikan kertas-kertas yang ada di atas meja. Agar kuntilanak itu tidak sadar kalau aku sedang mencari tahu keberadaannya di kamarku. "Di mana kuntilanak itu sekarang? Dia ngeganggu saya lagi, Vid. Yang ini sudah keterlaluan."

"Yang bikin kamu koma itu juga keterlaluan."

"I know. Apapun yang dia lakuin keterlaluan. Saya udah capek. Kalo dia emang butuh sesuatu sama saya, harusnya dia muncul saat saya manggil dia. Tapi dia malah selalu sembunyi. Tell me, Sam. Where is she?" Aku mulai mengedarkan pandangan ke seluruh kamar kosku. "Ada?"

Sammy berdeham. "Ada. Di atas lemari kamu.Lagi duduk sambil nyisir, senyum ke arah kamu."

"Kamu butuh apa?" tanyaku, bukan pada Sammy, tapi pada kuntilanak itu. "Kenapa kamu ganggu saya terus? Kenapa kamu nggak mau menunjukkan wujud kamu di depan saya? Jawab!"

"Vidi," tutur Sammy ketakutan. "Matanya berubah merah, dia kayaknya marah sama kamu."

Aku tidak peduli. Aku terlalu lelah terus menghindari kuntilanak ini. Sudah terlalu sering dia menggangguku. Telah setahun lebih ini dia melakukannya, dan aku mau dia berhenti. Aku ingin hidup yang tenang, tidak ada gangguan semacam ini. Aku tahu tugasnya ada di dunia ini hanyalah untuk mengganggu orang yang masih hidup. Kenapa harus aku? Memangnya hanya aku yang punya kutukan ini, hmmh? Masih banyak di luar sana. Ganggu saja yang lain, jangan aku!

"VIDI!" seru Sammy makin ketakutan. "Tangannya udah terjulur, Vid. Dia kayak mau nyekik kamu. Lari, Vidi! Lari! Jangan diem aja di situ! Emangnya kamu nggak sayang sama nyawa kamu sendi—LARI, VID!!!"

"Nggak bisa," desisku susah payah. "Badan saya kaku!"

Entah apa yang terjadi, tetapi aku yakin apa yang Sammy katakan benar. Leherku sangat dingin, lambat-laun rasa dingin itu berubah menjadi cengkraman. Menekan keras jakunku. Aku susah bernapas. Aku dicekik. Aku mencoba menarik diri, menggerakkan sedikit saja badanku untuk berpindah lalu aku bisa berlari keluar kamar. Tidak, badanku malah semakin kaku. Rasa dingin itu menjalar ke dadaku. Menusuk tepat ke paru-paru. Perih dan menyakitkan.

"Vid, a—aku ng—nggak bi—bi—bisa napas," kata Sammy patah-patah.

Kepalaku mulai pusing, tubuhku terangkat ke udara. Kakiku bergerak gelisah, mataku mulai berkunang-kunang. Apa aku akan mati? Sammy? Tidak! Aku tidak boleh membawa orang lain bersamaku jika aku harus mati di tangan setan. Lagi pula, kenapa setan ini bisa menyentuhku? Apa artinya?

"Minggat you sana kuntilanak gilingan!"

Aku terhempas jatuh ke lantai. Memegang leherku yang nyeri dan panas. Aku terbatuk beberapa kali. Aku juga bisa mendengar Sammy mengatur napasnya. Di kepalaku kembali diisi pertanyaan-pertanyaan tentang kuntilanak itu. Kalau sudah begini, aku makin yakin kalau hidupku dalam bahaya besar. Aku harus menyelesaikan masalahku dengan kuntilanak tersebut. Aku harus mencari tahu caranya.

GitakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang