Prolog.

16 5 0
                                    

Emily's POV.

Pesta Luke sudah selesai. Teman-teman Luke sudah banyak yang meninggalkan rumah ini. Okay, aku tak akan membantunya membereskan rumah. Ini acaranya. Acara dengan teman-temannya yang sudah diatas enam belas tahun itu. Aku mendesis. Ya, aku masih lima belas tahun. Aku tahu itu. Aku berjalan menuju tangga dengan lelah setelah pergi ke dapur untuk meminum segelas air sebelum tidur. Aku rasa aku akan tinggal malam ini.

Aku menggeleng pelan saat melihat ruang tamu Luke berantakan. Botol minuman berserakan. Mendesis jijik saat melihat cowok punk yang rambutnya seperti gulali itu tengah bercumbu dengan wanita, dan, oh, jangan lupakan desahan yang keluar dari mulut mereka. Aku memutar mataku, "Ewh!"

Luke sudah menyogokku dengan beberapa keranjang cokelat. Dan sepuluh kantung marshmallow. Itu agar aku tak mengadu pada Mum Liz, ibunya. Atas apa yang ia perbuat malam ini. Aku akan senang hati menutup mulutku. Mum Liz dan Dad Andy akan kembali dua hari lagi. Kakak-kakak Luke sedang keluar.

Aku berpapasan dengan Ashton saat akan menaiki anak tangga yang pertama. Ashton tersenyum manis padaku, menampakkan dimples-nya. Ia melepas ikat kepalanya, "Hai, Em!"

Aku tersenyum, "Hai, Ash! Kau menikmati pestanya?"

"Tentu saja."

"Tadi aku tak bisa hadir, kau tahulah," Aku tertawa renyah, ia juga ikut tertawa.

"Tak apa, Em. Apa kau lapar? Mau kubuatkan sesuatu, sweetheart?"

Oh, Ash.

"Oh, tidak usah, Ash. Aku akan kembali ke kamar Luke. Aku hanya ingin minum segelas air tadi."

"Kau akan bermalam, Em?" Ashton menaikkan alisnya.

Aku memutar bola mataku, "Tentu saja. Ini sudah malam, Javier juga tak bis—Oh! Aku belum memberi kabar padanya! Aku duluan, Ash! Selamat malam!" Aku berlari menaiki tangga, setelah mengecup pelan pipi kiri Ashton.

"Hati-hati, Em! Aku menyayangimu, Sweetheart!"

Aku tertawa pelan saat mendengar Ashton teriak mengatakan kalimat itu, "Ya, Ya, Ya! Aku juga menyayangimu, Ash!"

Aku membuka pintu kamar Luke yang sempat kutinggalkan tadi, lalu menutupnya dengan kaki, dan melompat ke atas ranjang Luke. Aku menyambar ponselku, menggulirkan layarnya beberapa kali. Menekan tombol dial dua dengan lama, dan mulai tersambung dengan Javier, kakakku.

Aku menempelkan ponselku di telinga kanan, menjepitnya dengan bahu kanan. Nada sambung mulai terdengar, aku memasang kaus kaki Luke dikaki kananku, lalu dikaki kiriku. Entahlah, aku suka memakainya jika aku sedang bermalam disini. Meski aku memakai hotpants hitam dan kaus putih kebesaran milik Luke, tapi nyaman saja jika aku memakai kaus kaki ini.

Suara berat Javier mulai terdengar, "Halo,"

Aku tertawa kecil, ia terbangun karena teleponku, dan tidak meneriakkan namaku seperti biasanya. Ia asal angkat.

"Kau terbangun, Jav?"

Bisa kudengar napasnya yang semula santai dan terdengar lelah, kini terkesiap, "Ini kau, Em?"

"Siapa lagi kalau bukan aku." Aku memutar bola mataku. Melihat jam dinding, lalu tertawa pelan karena sudah mengganggu acara tidur Javier. Pantas saja ia sudah tidur, ini jam dua dini hari.

"Ada lelucon, Em? Aku rasa tak ada yang lucu,"

"Tidak, Jav. Maafkan aku membangunkanmu jam segini. Aku bermalam di rumah Luke,"

Javier-ku tampak berdecak, "Aku sudah tahu, Em. Luke memberitahuku tadi sore."

"Oh,"

Terjadi keheningan beberapa saat, kukira Javier sudah tidur, saat aku akan mematikan teleponnya, Javier bersuara.

"Emily,"

"Ya?"

"Berhati-hatilah, aku mempunyai firasat buruk tentangmu, sayang."

Aku terdiam sesaat, "Aku akan berhati-hati, Jav. Terima kasih."

"Aku menyayangimu, Em."

Aku tertawa kecil, "Aku menyayangimu juga, Jav."

Lalu sambungan telepon terputus.

Aku tertawa kecil melihat wallpaper ponselku. Fotoku bersama Luke saat pesta kelulusan kakak kelas kami.

Luke. Luke Hemmings. Dia sahabatku, sahabat terbaik, kurasa. Aku menyukai iris birunya yang tampak serasi dengan dimples di pipinya itu. Apalagi saat aku tak bisa menahan jeritan kecilku saat Luke mengunjungi rumahku, dengan piercing berunya yang hot itu.

Aku menyukainya, kalian tahu?

Dan, Luke itu anak band. Kau tahu, kan, bagaimana fans fans itu jika sudah beraksi? Memang belum setenar Nirvana, tapi Luke selalu optimis akan keinginannya untuk Go International!

Dia baru saja putus dengan mantan kekasihnya, Aleisha. Kau tahu? Aku hanya gadis lima belas tahun yang terkena virus mematikan bernama friendzone. Aku mengurung diri tiga hari empat malam di kamar karena masalah itu. Saat aku keluar, aku hanya berkata bahwa aku sedang dating bulan dan mood ku yang down tiga hari berturut-turut.

Javier tahu. Dia tahu kalau aku menyukai Luke.

Ah, Dad memberiku hadiah berlibur ke Paris selama seminggu bersama Javier, tapi Javier mengatakan padaku kalau dia akan ke Inggris bersama teman-temannya. Aku akan mengajak Luke. Entah dia mau atau tidak. Akan kutanyakan nanti.

'Brak!'

Pintu kamar Luke dibuka dengan kencang. Aku terkesiap dan menoleh ke ambang pintu. Luke berdiri disana. Aku tersenyum padanya. Meletakkan ponselku di atas nakas. Lalu menghampirinya.

"Hey, Luke!"

Napas Luke tampak memburu. Rambut blonde kotornya tampak berantakan. Ia mendekatiku. Menyudutkanku di dinding. Memenjarakan aku dengan kedua lengan kokohnya. Bau alkohol menyeruak dari hembusan napas mulutnya. Dada Luke kembang-kempis tak beraturan. Luke yang lebih tinggi dari aku menatap dinding di atas-belakang-ku.

Dengan takut aku bertanya, "L-Luke? Ada apa?"

Oh! Dia meresponku!

Ia menundukkan wajahnya, hingga wajah tampan itu sejajar dengan wajahku. Mata biru lautnya menggelap. Aku merasakan aura yang berbeda disini. Luke tampak.. Bukan Luke.

"Emily," Bisik Luke serak.

Aku mulai gugup di tempat. Jantungku seperti sedang marathon. Sungguh. Aku tak suka bau alkohol semacam ini.

"A-Apa, Luke?"

Dan sepersekian detik kemudian, bibirnya sudah menyatu dengan bibirku. Menimbulkan sensasi aneh dalam diriku. Aku masih terdiam. Berusaha membalas tengkaran iblis yang ada di otakku untuk membalasnya.

Oh, sepertinya Luke menyadari aku tak membalas ciumannya. Ia menuntutku untuk membalas. Lipringnya yang menempel di kulitku sangat kontras dengan bibir panasnya. Cukup membuatku merinding akan sentuhan itu.

Tangannya yang kekar mulai bergerilya menyentuh seluruh tubuhku. Panas. Ya, aku merasakan panas yang sangat menyengat saat ini. Mataku mulai buram. Air mata-air mata di pelupuk mataku memaksa untuk terjun.

Aku ingin berteriak. Namun tak bisa. Tenggorokanku kering karena air mata yang mulai meluncur turun. Napasku terengah karena Luke yang kasar menciumku. Aku terus meronta-ronta, tapi tangan kekar yang tadi bergerilya kini sudah menahan tanganku agar diam. Inikah firasat buruk Javier?

Dan malam itu, malam yang merubah semuanya. Semuanya.[]

Hemmings Jr. × l.h ×Where stories live. Discover now