Prolog

22K 776 6
                                    

"Manis banget."

"Mau dong jadi pacarnya."

"Eh, ngomong-ngomong udah punya pacar belum yah?"

"Kalau udah gue nggak akan nolak jadi selingkuhannya."

Gila tuh orang, Emora menggerutu dalam hati. Cakep sih tapi kan satpam. Masa iya diembat juga?

Bian, satpam baru di sekolah Emora mendadak jadi artis. Wajahnya yang manis dan cool membuat kaum hawa tidak menolak untuk menikmatinya. Ada saja celotehan mereka tentang Bian. Memang dilihat dari penampilannya, Bian masih terlalu muda untuk memakai seragam putih hitam dan tongkat. Bian lebih cocok jadi anak SMA ketimbang satpam.

"Mora, lo kenapa bengong?" Rasti menyikut lengan Emora yang entah sejak kapan melamun, "kepincut juga sama satpam ganteng itu?"

"Nggak. Gue heran, tuh cowok kan seumuran sama kita, kok mau jadi satpam?"

"Ya butuh duit kali. Bodo amatlah. Yang penting sekarang kita nggak bakalan males kalo ke sekolah. Abis satpamnya manis banget gitu." Rasti senyum-senyum sendiri, genitnya keluar kalau ada barang baru.

"Yuk!"

Rasti melongo, "Kemana?"

"Kantinlah. Nggak makan lo?" Emora menyipitkan matanya, "jangan bilang lo mau diet gara-gara tuh cowok?"

"Kirain lo mau ngajakin kenalan." Rasti terkikik, "gue bisa gila nih."

"Emang."

Emora bukannya tidak suka Bian. Dari segi manapun, Bian cukup mempesona untuk dijadikan pacar. Tapi rasanya tidak mungkin kalau dia bermimpi yang bukan-bukan. Tipenya bukan satpam meskipun satpam berwajah manis.

"Mora," panggil Rasti.

"Apalagi?" Emora baru akan menyantap nasi gorengnya, "jangan ganggu gue kenapa sih?"

"Tuh, satpam ganteng kita ada di sini," Rasti benar-benar merusak acara makan siang mereka. Memangnya tidak ada topik lain selain satpam baru itu?

"Terus?" Emora mengacuhkan ucapan Rasti, "kita harus goyang dumang gitu? Kenapa sih kamu nggak bisa biasa aja. Dia juga bukan artis."

"Hai, boleh gabung?"

Emora mendongak, ternyata satpam ganteng yang dibicarakan Rasti sudah ada di depannya dengan nampan berisi mangkok dan gelas, "Lo ngomong sama kita?"

Bian mengangguk, dia pikir cewek SMA di depannya tidak terlalu heboh seperti lainnya, makanya dia menawarkan diri untuk bergabung.

"Boleh kok, Kak. Ayo duduk!" Rasti dengan sigap mempersilahkan Bian duduk.

Emora melotot, memangnya tidak ada tempat kosong? Dia melirik kanan-kiri, semua tempat duduk penuh kecuali miliknya dan Angel. Angel tampak tidak suka dengan pilihan Bian, musuh bebuyutannya itu mengayunkan tinju ke udara seolah berkata, "Awas aja lo berani rebut target operation gue."

Emora tidak peduli, bukan dia yang minta Bian untuk bergabung.

Rasti menyenggol kaki Emora, "Jangan bengong doang."

"Hei, emangnya gue harus ngapain? Teriak-teriak?" Sungut Emora kesal, volume bicaranya sengaja ditinggikan.

Bian terkekeh, dia selalu bisa tertawa melihat seseorang yang tingkahnya aneh, "Nggak masalah. Kalian nggak perlu heboh juga. Aku kan bukan artis."

"Nah dia aja tau. Ngapain lo yang sewot?" Emora tersenyum senang mendapat dukungan, dia menyendok besar-besar nasi gorengnya. Cewek itu tidak pernah jaim di depan semua orang, meskipun di depannya ada Bian yang justru malah terlihat sangat sopan.

Rasti yang gemas dengan sikap acuh tak acuh Emora menendang kaki kiri Emora keras-keras sampai korbannya menjerit, "Lo kenapa sih? Gue salah apa sama lo? Bonyok nih kaki gue."

"Jaim dikit kenapa sih sama cowok ganteng. Lo bikin malu aja."

"Lo tuh yang bikin malu. Aneh banget tingkahnya. Orang dia juga manusia biasa bukan malaikat," gerutu Emora.

Bian tergelak, bagimana bisa ada orang secuek Emora. Cewek-cewek lain malah berusaha menjaga image. Emora memang berbeda dari kebanyakan orang di luar sana dan sejujurnya Bian kesulitan untuk membaca pikiran gadis itu.

"Hai, kak Bian," sapa dua cewek centil dengan gaya yang mengesalkan. Emora mendesah keras, membuat orang itu melototinya.

"Dasar, cewek nggak laku." Sembur salah satu dari mereka.

"Biarin aja sih, La," protes yang lain. Mereka tersenyum manis pada Bian, sambil berkedip-kedip.

"Kelilipan lo?" Emora menyahut, tapi matanya sibuk mengamati nasi goreng. Pura-pura cuek dengan tindakan dua sejoli yang menurutnya sangat me-ma-lu-kan.

"Kurang ajar banget sih lo?"

"Ngeselin nih anak."

"Hajar aja, La." Teman-teman di sekitar meja Emora mulai berdiri mengelilingi mereka. Bian mulai tidak nyaman, dia merasa was-was. Kenapa perempuan lebih cepat terhasut?

Emora memutar bola matanya, lalu melihat semua orang dengan tatapan sinis, "Main keroyokan nih?"

"Udah ah, Mor. Ngapain juga ngeladeni mereka?" Rasti menengahi.

Bian berdiri, "Kalian ini murid sekolah apa murid panti asuhan? Nggak malu dilihatin orang?"

"Tapi kak dia tuh yang mulai."

"Lo aja kali," sungut Emora, "yuk, Ras, gue mau ke toilet pengen muntah."

"Lo?"

Lala, cewek yang berniat menyerang Emora mengerang, tanpa diduga dia mendorong tubuh Emora sampai membentur meja.

"Auu, gila lo?" Emora mengaduh, tangan kirinya memegang pinggang. Rasanya pasti sakit sekali, dan Emora tidak akan tinggal diam. Dia menyerang balik dengan lebih keras sampai Lala membentur dua meja sekaligus.

"Emora!" Bian menahan Emora yang bersiap menerjang Lala, "kamu mau bunuh dia?"

"Lo belain dia?" Tunjuk Emora geram.

"Udah, Mor," Rasti menenangkan.

"Aku nggak belain siapapun," Bian kebingungan.

Teman-teman pembela Lala menyoraki Emora, lalu Angel yang sejak tadi hanya diam menerobos kerumunan, "Lo ya Mor, nggak bisa apa sehari aja nggak bikin masalah? Gue sampai bosen."

Lala sudah berdiri, wajahnya memerah karena menahan emosi. Perut dan punggungnya sakit, mungkin memar di beberapa bagian, "Lo troublemaker. Gue benci banget sama lo."

"Plis, nggak perlu menyalahkan siapapun. Kalian harus introspeksi diri." Bian angkat bicara.

"Nggak perlu belain gue. Lo sama aja." Emora meninggalkan kerumunan disusul Rasti yang ikut-ikutan kesal dengan sikap semua orang. Dari dulu Emora yang selalu dikambinghitamkan padahal sahabatnya hanya menjadi bahan bullyan. Emora bahkan berniat pindah dari sekolah tapi karena dirinya niat itu dibatalkan.

"Mora, tunggu! Lo mau kemana?" Rasti buru-buru menahan Emora yang berlari keluar gerbang.

"Bawain tas gue, Ras. Gue nggak mood belajar."

"Tapi Mor, habis ini pelajaran Bu Siska. Lo nggak mau dihukum kan?"

"Gue capek, Ras, capek. Kenapa harus gue sih?"

"Gue juga nggak ngerti. Sabar aja Mor," Rasti memeluknya.

Emora terisak pelan, beban yang ditanggungnya selama hampir dua tahun masih menumpuk. Ia tidak mengerti apa yang mereka inginkan, "Gue mau semua orang menghargai gue. Kenapa sih mereka nggak pernah ngerti?"

"Sabar, Mor, mereka pasti nyesel udah ngebully lo."

Emora belum tenang, dia masih menangis dalam pelukan Rasti. Sementara tak jauh dari sana, Bian merekam baik-baik percakapan dua cewek itu.

*

Hai² gimana nih? Kira² cukup nggak ya buat ngegambarin gimana karakter Si Pemeran Utama? Voment ditunggu ya. Salam kenal.

1-TRAP-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang