Enam - DO

8.4K 499 3
                                    

Emora menangis sesenggukan di dalam kamarnya. Ia tidak ingin berhenti sekolah, tapi apa gunanya kalau pihak sekolah sudah mengeluarkan ultimatumnya. Ia dan Bian di-DO dengan tidak hormat. Orang-orang yang membencinya tertawa melihatnya keluar dari gerbang sekolah. Mereka puas karena si kambing hitam yang selalu mereka cemooh sudah over, finish dan KO.

Banyak hal positif yang dapat diambil pelajarannya dari pen-DO-an kepsek. Emora tidak akan diremehkan teman-temannya lagi. Ia juga terbebas dari pembullyan yang mereka lakukan. Tapi ia tidak punya teman lagi sekarang. Apa yang harus ia lakukan?

"Sayang, buka pintunya. Ibu mau bicara," suara lemah lembut Jelita membuyarkan tangisan Emora.

Surat keputusan kepsek sudah berada di tangan orangtuanya. Pulang dari rapat, Emora langsung memberikannya tanpa penjelasan. Ia yakin ibunya sangat mengkhawatirkannya.

Dengan menyeret langkahnya, Emora membuka pintu. Wajah sumringah Jelita terpampang jelas di depan matanya membuat Emora semakin sedih.

Emora mendahului ibunya duduk di pinggiran ranjang. Sebelah kakinya terangkat ke atas membentuk sudut lancip. Jelita mengikuti Emora duduk. Beliau tersenyum maklum seraya membelai wajah putrinya.

"Apa yang kamu pikirkan?"

"Nggak ada, Bu."

"Sedih?"

"Sedikit."

"Marah?"

"Sedikit."

"Benci?"

"Lumayan."

"Senang?"

"Lumayan."

"Sayang ibu?"

"Sangat."

"Ayo peluk ibu," Jelita merentangkan lengannya disambut pelukan dari Emora.

"Ibu nggak marah?"

"Tidak."

"Emora harus ngapain?"

"Jadilah istri yang baik."

"Tapi cuma pernikahan sirih. Emora nggak yakin bisa berhasil."

"Yakinlah. Jika takdirmu memang seperti ini ya sudah jalani saja. Toh berbuat apapun tidak akan berubah. Ibu benar kan?"

"Tentu aja. Ibu selalu benar."

Jelita melepas pelukannya, "Senyum dong."

Emora tersenyum bahagia. Pelukan ibunya benar-benar membuatnya tenang. Ia bangga mempunyai ibu sebijak ibunya.

"Temui Nak Bian di luar. Dia sudah menunggu lama."

"Dia di sini?"

"Sejak kamu pulang."

"Bu, apa perasaan bisa berubah?"

"Tentu saja, Sayang. Ibu dulu tidak terlalu mencintai ayahmu. Tapi sekarang ibu sangat mencintainya. Dengan berjalannya waktu semuanya akan berubah. Indah pada waktunya. Percayalah!"

"Iya, Emor percaya ibu."

®

"Sudah baikan?" tanya Bian cemas.

Emora keluar dari kamarnya dengan mata sembab, untunglah pancaran matanya tidak seburuk ketika kepsek memberikan keputusan. Dengan malas Emora duduk di hadapan Bian dan tanpa banyak bicara menyeruput teh hangat milik Bian.

Bian tidak memprotesnya. Perlakuan Emora membuatnya terharu. "Apa yang kamu rasakan?"

"Menurut kamu?"

1-TRAP-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang