Dua Puluh - Penyelesaian

11.7K 462 0
                                    


Pernikahan bukan sesuatu yang gampang. Jelas. Emora sampai kesulitan tidur karena memikirkan ini itu. Bian tidak mau menggunakan jasa WO. Ia mau melakukannya dengan tangannya sendiri. Yah meskipun ada campur tangan keluarga dan kerabat dekat mereka yang dengan senang hati mengulurkan bantuannya, dua mempelai masih saja kerepotan.

Seperti hari ini, rencananya mereka akan menyewa gedung dan mencari catering yang sesuai dengan kantung Bian. Biar gimana juga Bian pihak laki-laki, ia punya ego untuk menanggung tujuh puluh persen lebih dari semua anggaran yang dikeluarkan. Meskipun Suherman dan Jelita bersikeras ingin meringankan bebannya tapi ia tetap menolak.

"Saya akan berusaha keras untuk membiayai pernikahan ini, Pak, Bu. Kalian tidak perlu cemas. Saya laki-laki, saya pasti sanggup." Begitu ucapan Bian ketika orangtua Emora memberinya dana.

Suherman dan Jelita tentu saja tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya bisa membantu jika Bian setuju untuk dibantu. Makanya hari ini Emora malas membantah ucapan Bian. Ia digiring kemana-mana untuk mencari catering yang sesuai dengan keinginan Bian. Awalnya Emora membantah karena Bian terus saja menggiringnya dari satu tempat ke tempat lainnya tanpa tahu yang dibawa sudah lelah luar biasa. Tapi setelahnya Emora hanya bisa diam karena Bian memberinya ancaman.

"Kalau mau yang nggak ribet nggak usah nikah sama aku. Cari aja cowok kaya yang bisa dengan gampangnya pesan catering mahal."

Bukan maksud Bian untuk memarahi Emora. Ia juga sudah lelah mencari informasi dan mendatangi tempat catering rekomendasi teman kantornya. Hasilnya masih sama. Mereka memberinya harga yang jauh dari perkiraannya. Menu yang ditawarkan memang menggiurkan tapi tetap saja itu pemborosan. Emora tidak mengerti betapa susahnya mencari yang pas, makanya ia sedikit meledak.

"Kamu capek?" tanya Bian akhirnya.

Emora diam. Ia takut salah bicara lagi.

"Ra, kamu capek ya?" ulang Bian dengan nada jauh lebih lembut.

Emora mengangguk lemah. Ia menghela napas kasar, "Cari makan ya!"

Bian mengusap tulang pipi istrinya itu, "Maafin aku ya. Aku udah bentak kamu tadi. Sekarang kita istirahat ya sekalian cari makan siang. Kamu laper kan?"

"Banget."

Bian terkekeh melihat ekspresi kelaparan Emora. Ia tidak menyadari jika sikapnya keterlaluan. Untunglah Emora masih bisa menerima, kalau tidak bisa gagal pernikahan mereka.

Bian membawa Emora ke warung lesehan tak jauh dari tempatnya. Ia memesan nasi uduk dengan telur balado sememtara Emora lebih suka nasi putih dengan tumisan buncis dan telur dadar. Mereka makan dalam diam. Emora yang paling semangat menyantap makanannya karena perutnya benar-benar keroncongan. Ia menghabiskan nasinya dengan cepat. Bian sampai kewalahan menyaingi kecepatan makan Emora.

"Kamu laper banget apa emang rakus?" gurau Bian. Ia mendorong piringnya ke depan, ia juga sudah selesai menghabiskan makan siangnya.

"Laper banget sih iya tapi mungkin lebih tepat kalo dibilang rakus." Emora menyeringai. Ia tidak malu mengatakan hal itu di depan suamimya. Buat apa menutupi kekurangan di depan orang yang sebentar lagi akan menjadi suami sahnya. Lebih baik diperlihatkan dari sekarang supaya nantinya suaminya tidak kabur dengan wanita lain.

Memikirkannya saja membuat Emora menyesal. Ia yakin Bian bukan tipe seperti itu. Buktinya ia rela menunggunya sampai sejauh ini. Kalau tidak mungkin saja ia sudah memacari orang lain yang juga mencintainya.

"Bian? Kamu Bian kan?" tanya seseorang ketika Bian akan membalas ucapan Emora.

Emora menatap wanita yang berdiri di samping Bian dengan sengit. Siapa wanita itu? Kenapa ia kenal Bian? Emora semakin kesal karena begitu melihat wanita yang menyapanya, Bian segera berdiri dan menatapnya lama seolah mereka memang saling kenal.

1-TRAP-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang