1. Flashback.

88 11 6
                                    

3 tahun yang lalu.

Kelas 2. Sekarang aku kelas 2. Uh, senang sekali bisa jadi kakak kelas.

Ah, ya. Sekarang aku mengikuti ekstrakulikuler Jurnalistik. Senang sekali. Yah, walaupun aku merupakan tipe orang yang pemalas.

"Woy! Sya!" aku menoleh kesamping. Hampir saja aku merosot dan jatuh. Ugh membayangkannya saja membuatku merinding.

"Apasih Lang?!"

"Lo ikut eks apa?"

"Jurnalist. Napah?"

Gilang menahan tawanya. "Jurnalist? Gak salah? Seorang Tiara Anastasya yang pemalasnya minta ampun gitu ikut jurnalist? Wuahahaha"

Aku memutar kedua bola mataku dengan malas. "Diem ato gue sumpel tuh congor!" ancamku dengan menimang-nimang Lks matematika yang kubawa.

"Ampun qaqa." ucapnya sembari menangkupkan kedua telapak tangannya didepan wajahnya. Aku merinding mendengar suara alay bin jablaynya si Gilang.

Betewe, Gilang itu teman satu perjuangan (kata-katanya ngambil di sosmed'-'). Mulai dari awal MOS sampai sekarang dia satu bangku denganku. Gilang bukan kapten futsal, kapten basket atau apalah-apalah. Dia hanya seorang cowok biasa yang banyak fansnya -banyakan aku deng. Hehe-. Kata adik-adik kelas, Gilang itu, cool, misterius, susah ditebak, dingin, pokoknya cool deh. Cih! Jika saja adik-adik kelas itu tau sifatnya disaat bersamaku, pasti semua pujian akan ditarik. Jika sedang bersamaku, sifat Gilang mirip tante girang kurang belaian. Yah, alay bin jablay gitu lah.

"....eh Sya! Lo denger gak sih?" suara kesal Gilang membuyarkan lamunanku.

"Apah? Muka lo gausah dibikin ekspresi kayak gitu. Tambah jelek."

"Anjrit lo nyet!"

Pletak!

"Anjir Lang. Sakit bego." aku mengusap-usap ubun-ubunku yang di jitak oleh Gilang.

"Eh nyet. Lo kok mau masuk jurnalist sih? Lo kan males bin jabang bayi gitu."

Aku melirik sinis kearah Gilang. "Semua orang butuh perubahan bego"

"Perubahan? Trus ini yang lo bilang perubahan? Semakin malu-maluin tau gak lo!" Gilang membalas kesinisanku.

Betewe lagi, aku menghindari amukan pak Redho karena aku belum mengerjakan pr matematika. Ah ya. Kita sedang di atas genteng sekolah. Biasanya kalau begini pak Redho serta guru-guru lainnya luluh. Tidak akan memberikan hukuman kepadaku. Kalau Gilang pasti dan tentu saja disuruh oleh gurtak (guru botak) itu menyusulku dan membujukku untuk turun. Tapi, yah. Namanya sahabat. Dia malas juga menyuruhku untuk turun. Alasannya, takut singa marah, dan adanya dia yang didorong dari atap.

"TIARA ANASTASYA!! TURUN NAK! ADUH... NANTI KAMU JATOH. TASYA TURUN! JANJI DEH BAPAK GAK KASIH HUKUMAN BUAT KAMU. ADUH TASYAAH" kulihat kebawah. Pak Redho dengan kepala mengkilatnya berteriak dan mengundang siswa untuk melihat ada kejadian apa. Aku hampir tertawa. Kepala botak mengkilatnya seperti kaca yang memantulkan sinar matahari.

Aku turun kebawah dengan lincah.

"Tasya.. Astaga. Kamu ini suka sekali bikin bapak jantungan. Gilang.. Makasih ya.." ucap guru itu.

"Loh kok bapak gak dirawat dirumah sakit kalo jantungan?" tanyaku. Semua orang terbahak. Kecuali bapak botak didepanku ini. Wajahnya merah padam.

"TASYAAAAA!! SINI KAMU!"

"KAAAAABBBBUUUURRR!",

Dan aku, Pak Redho, juga beberapa guru BK bermain kejar-kejaran.

Dasar bapak-bapak. Masih sok kuat main kejar-kejaran. Lawan Tiara Anastasya lagi.. Ckck.

👧👦👧👦👧👦

Budayakan vote and comment.

Chat.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang