Satu

35 2 0
                                    

Handphone ku terus bergetar diatas meja disamping ranjang yang walaupun sempit namun cukup nyaman untukku melepaskan kesadaran menuju alam mimpi. Entah untuk keberapa kalinya dia bergetar, yang pasti benda itu benar-benar menggangguku saat ini.

Ku raih handphone butut buatan cina yang walaupun jelek namun benda ini cukup berguna untuk menghubungi keluarga, teman-teman, bahkan masih mampu kugunakan untuk mencari hal random  di google atau sekedar membuka facebook dan twitter

Ku lihat tidak ada nama pemanggil di layar handphone, hanya sederetan angka yang tidak kukenal siapa pemiliknya. Kuputuskan untuk tidak mengangkat telfon yang sejak tadi membuat handphone ku bergetar dan mengganggu tidur siangku.

Terakhir kali aku mengangkat telfon dari nomor yang tidak kukenal, tubuhku bereaksi tidak semestinya. Nafasku seperti tersangkut di tenggorokan, dadaku sesak, dan keringat dingin berkumpul di dahi dan telapak tanganku. Mungkin kalian berpikir aku memiliki gangguan pernafasan atau penyakit sejenisnya, tapi tidak. Satu-satunya hal yang membuatku seperti itu adalah teror dari mantan pacarku, errr sedikit koreksi.. karena aku tidak pernah menganggapnya sebagai pacar maka kukatakan saja itu sebagai "teror dari orang sakit jiwa yang menganggapku sebagai pacarnya", nah sepertinya kalimat itu lebih tepat.

Selang beberapa saat, handphone ku berhenti bergetar. Aku beranjak dari tempat nyaman yang kurasa memiliki gravitasi lebih besar daripada bumi pada saat cuaca sedang dingin seperti sekarang ini.

Kubuka jendela kamar. Udara sejuk dan beberapa aroma petrichor tercium olehku. Hujan telah reda dan meninggalkan jejak basah di dedaunan luar kamarku.

Aku menyukainya.
Sejuk dan mengingatkanku pada saat aku kecil.

Biasanya ketika hujan turun, aku selalu memiliki cara untuk menyelinap keluar dari rumah dan berlarian ditengah hujan bersama Evan sahabatku.

Biasanya kami baru mau kembali kedalam rumah setelah melihat ibuku atau ibu Evan membawa payung dan sapu sambil berteriak pada kami.
Kalau kalian berpikir para ibu itu berniat untuk menyapu ditengah hujan, kalian salah. Lebih tepatnya mereka mengancam akan memukul kami dengan sapu jika kami tidak segera menghentikan aksi mandi hujan a la aktor india yang kami lakukan. 

Evan.

Aku merindukannya.

Dia adalah sahabatku sejak popok pertama kali menyentuh bokong kami. Kami selalu bersama. Selain karena rumah kami yang berdekatan, kami juga pergi ke sekolah yang sama sejak taman kanak-kanak. Namun setelah lulus SMA Evan memutuskan untuk berkuliah diluar negeri.  Mungkin nanti aku akan hubungi dia lewat skype.

Gedoran di pintu kamar membuyarkan lamunanku, membawa kakiku untuk melangkah menuju pintu dan menyambut tamu yang sudah kutahu pasti siapa.

Aku membuka pintu sebelum dia berteriak dan membuat keributan dirumah kost ini.

"Ajaib banget kamu buka pintu setelah gedoran pertama" ucap orang yang tak lain dan tak bukan adalah sahabatku yang lain, Tya.

Dia lalu menerobos masuk kamarku dan duduk di atas kasur kemudian meraih remote untuk menyalakan TV. 

"Waalaikum salam, Tya" jawabku kemudian merebahkan diri disebelahnya.

"Hehehe.. lupa tadi belum salam." Aku hanya membalasnya dengan tersenyum.

Tya adalah teman kuliah yang sejak hari pertama masuk kuliah langsung menobatkan dirinya sendiri  sebagai sahabatku. Setidaknya itu yang dia katakan berulang kali.

Tidak sepertiku, Tya memiliki rambut hitam panjang yang diluruskan dan bentuk tubuh yang bisa membuat laki-laki yang melihatnya menelan ludah. Tya selalu percaya diri dengan tubuhnya. Pakaiannya pun jauh dari kata tertutup. Kalau saja Tya memakai make up yang sedikit tebal dan berdiri di pinggir jalan, mungkin aku akan salah mengira dia sebagai wanita tuna susila yang sedang menunggu pelanggan. Oke, mungkin pikiranku sedikit jahat. Sorry  Tya.

CIRCLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang