Cancer

82 2 0
                                    

juliateliza

Hari ini aku berjalan sendirian dilorong sekolah, melihat gadis itu, debaran di jantung ku semakin cepat, entah rasa apa yang sedang tumbuh di hati ku ini.

Lidia Avisa, anak kelas 11 yang terkenal sangat dingin, bahkan mungkin ia tidak memiliki teman, bukan, bukan tidak memiliki, namun dia memilih untuk tidak menjalani pergaulan selayak nya, ia memilih sendiri.

Aura dingin nya sangat terpancar dari wajah nya yang pendiam, aku pun sangat jarang melihat dia berbicara, apalagi tertawa.

Namun, sekilas informasi yang aku ketahui tentang dirinya, ia jago di dalam bidang musik atau kesenian, menurut pengamatan ku ini ya.

Aku berjalan dengan pandangan lurus ke depan, tapi tidak sadar bahwa aku telah menabrak seseorang dan membuag barang yang dibawanya berhamburan, seketika lamunan ku buyar semua.

Aku menoleh ke orang yang tanpa sengaja sudah ku tabrak. "Maaf ya" ucap ku singkat sambil membantu mengambil barang barang yang telah jatuh berserakan.

Orang itu hanya mengangguk lalu melesat pergi, entah kemana tujuan nya.

Orang itu, yang sangat sering bermain di dalam benak ku. Tergugu sebentar, aku melanjutkan perjalananku menuju kelas.

Yah, aku mencintai diam-diam dan mungkin akan terluka diam-diam.

Sebentar, biar ku hitung dulu sudah berapa lama aku menjadi pengagum rahasia. Kalau bahasa gaulnya sih secret admirer.

Dua tahun, aku menyukainya sejak MOS dulu hingga sekarang. Betah sekali rasa ini. Pemikiran liarku terganggu, akibat kedatangan Megalodon yang menatapku nyalang.

Dia guru BK, sedangkan aku dan kawan-kawan selalu memanggilnya Megalodon. Gempal, sangar, sangat mirip eh.

"Abinaya! Mau sampai kapan kamu berdiri disitu?!" bentak Bu Dian.

Aku menoleh sebentar, beradu pandang dengan Bu Dian yang menatapku nyalang. Sebelum satu botol air mineral kosong mendarat mulus di kepalaku. Aku melesat cepat, sembari meneriakkan kata mautku:

"Ampun!"

* * *

Baru kali ini aku menyesal menjadi kakak kelas. Oh Lidiaku sayang, tunggu pangeranmu datang.

Penjelasan matematika yang diterangkan gak ada sama sekali yang nyangkut diotakku. Aku menyenggol bahu Ardan, si ketua kelas dengan tatapan maut. Ardan mendecak kesal, lalu buru-buru tutup mulut saat melihat isyarat yang kuberikan.

Aku menyodorkan buku coret-corettan milikku yang berisi tulisan ceker ayam. "Menurut lo, kalo gue nembak dia, diterima kagak?" dia mengulang pertanyaanku. Aku mengangguk mantap.

Menarik nafas, melirik sekeliling sebentar aku berdeham. "Dua tahun gue suka sama dia diem-diem. Apa salah kalo gue mau jadiin dia milik gue?" tanyaku kesal.

Ada setitik harapan dihatiku. Hanya setitik, bukan koma, tanda tanya, dan tanda seru.

Ardan menghela nafas, "gue doain yang terbaik dah. Haha," dia tertawa lepas. Membuat guru matematika memelototiku.

Aku tersentak, berpura pura terkejut, ada baik nya kalo guru mengira ia berbicara sendiri dengan tembok, gak ada salah nya bukan?

Dasar idiot.

"Jadi..gimana?" tanya Ardan dengan volume yang lebih kecil

"Hm, sebenernya kalau main tembak tembak tuh gaenak, Apalagi kita belum kenal satu sama lain," ucap ku sebentar sambil melirik handphoneku yang berdering norak.

BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang