Dengan wajah lugu dan senang dalam hati aku mengikuti langkah ibu di depanku. Suasana sekolah yang aku lihat sangat menyenangkan. Anak dengan ibu atau bapaknya. Ada sedang mengunyah sosis. Yang lain lomba masukin upil ke dalam mulut anak yang lagi mengunyah sosis. Mungkin inilah pelajaran pertamaku di sekolah, "jangan mengunyah sosis di depan orang yang lagi ngupil"
"Bang, ini bangku kamu, ya. Nanti jangan pindah-pindah lagi." Ucap mami menunjukan satu bangku tempatku duduk menimba ilmu selama beberapa waktu.
Aku kagum dengan kursi baruku. Tampak keren dengan coretan-coretan di atasnya. Aku duduk dengan tenang di situ. Sedangkan yang lain sedang merengek kepada ibu mereka untuk meminta pulang.
"Ma' pulang. Aku tak maok sekolah. Gurunya tua, jelek, nanti aku dimakan, ma' takut." Teriak sang anak semakin keras.
"Eh, kau harus sekolah. Tadak ma' kasi duet maen PS agik kau, ye!!!" Ancam ibu muda itu kepada anaknya sambil sesekali melirik ke arah guru yang sedang mengarahkan calon anak didiknya. Mungkin ibu muda itu berharap agar sang bu guru "seram" tidak mendengar perkataan anaknya, atau "dia" akan benar-benar memakan anak didiknya itu.
"Oke anak-anak, kita hari ini kita akan belajar membaca." Seru ibu tua di depan kelas dengan wajah yang "tried to having fun but ezackly scaried" karena pengaruh wajah tuanya.
"Ambil pensilnya anak-anak!!! Kita menulis, ya! Kalian tulis apa yang di depan." Seru ibu itu lagi. Para orang tua yang duduk di samping anaknya pun bergegas melakukan apa yang diperintahkan guru di depan. Sementara anaknya asik jilatin upil mereka. Mungkin yang sebenarnya belajar adalah orang tuanya. Anaknya hanyalah kedok mereka untuk menutupi bahwa mereka "tidak bisa membaca".
Mami hanya memberi arahan dari depan pintu kelas. Aku pun mengambil benda yang diperintahkan oleh bu guru -sambil memperhatikan instruksi mami.
Anak di sebelahku yang memiliki postur tubuh lebih gendut daripadaku juga dibantu oleh orangtuanya.
"Nah, pensilnya dipegang, Bang." Tuntun ibunya. Dari panggilannya aku bisa tau bahwa dia adalah sorang anak pertama - sama seperti aku.
Ibu guru mulai mencontohkan caranya berhitung di depan kelas.
"1... 2... 3... 4... 5... 6... 7... 8... 9... 10... anak-anak, sekarang tulis ini di buku kalian!!!" Perintah bu guru. Setelah itu dengan cekatan dia memeriksa anak didiknya satu-satu. Apakah mereka bisa atau tidak.
Aku menulis satu persatu dengan susah payah di buku kotak besarku. Sesekali aku contek teman sebangkuku.
Astaga!!! Dia tidak ada di bangkunya. Ke mana dia? Mataku pun memburu, mencari ke mana dia pergi. Rupanya dia sedang jalan-jalan. Aku tidak bisa mendeskripsikan dengan jelas ke mana dia melangkah. Yang pasti sekarang dia seperti autis yang menghayal jadi pilot.
Yang aku lihat serius belajar di sini adalah ibunya sedang anaknya pergi entah ke mana.
"Bisa, nak?" Terdengar suara yang tidak asing di telingaku. Aku menoleh ke kanan dan melihat bu guru di sampingku memeriksa apa yang sedang aku kerjakan. "Ya, bagus. Ini berapa?" Tanya bu guru menunjuk ke salah satu angka.
"Satu..." jawabku seperuh bersemangat.
"Ini?" Tanyanya lagi menunjuk angka di sebelahnya.
"Dua..." begitu seterusnya hingga angka terakhir yaitu 6.
"Lanjutkan ya, nak!" Ujarnya dengan suara khasnya. Aku kini memandangnya sebagai ibu peri yang hampir pensiun. Tidak secantik ibu peri pada umumnya. Wajah abstrak namun memiliki watak yang baik layaknya seorang peri.
***
Pelajaran hari itu selesai dan ditutup dengan sebuah bacaan khas pulang sekolah. Walau pun aku seorang kristen, tapi aku mengikuti apa yang mereka katakan walau tak mengerti.
"Pulang yuk." Mami membawaku menuju "Oplet" - angkutan umum di tempatku yang bentuknya sama dengan "angkot" pada umumnya, hanya saja notabene pintunya dibelakang - sedikit yang di samping. Kebetulan sekolahku di belakang pasar dan pangkalan oplet tidak jauh dari sekolah.
Dalam oplet mami mengajukan beberapa pertanyaan kepadaku. "Gimana belajarnya tadi?" Tanya mami. Balasan yang mami terima hanya anggukan dariku.
"Gurunya baik nggak sama kamu?" Tanya mami kembali.
"Baik. Tapi mukanya seram." Jawabku polos. Mami tertawa kecil mendengar jawabanku.
***
Kerasnya Ibu Guru!!!Semakin bertambahnya hari, materi pembelajaranku semakin sulit. Semangat belajarku mulai mengendor. Maklum, anak kecil ketika masih hangat-hangatnya, belajarnya semangat. Sudah seperti diiming-imingi permen kaki. Tapi, ketika suasana semakin mencekam, semangat itu hilang seperti permen kaki yang semakin lama semakin habis.
Materi kali ini adalah perkalian. Materi semester 2 ini lumayan menyulitkanku. Guru di sekolah memang tidak terlalu memaksa, tetapi ibuku, sang guru di rumah sangat mendesakku untuk menghafal perkalian.
Malam itu adalah malam di mana besok ulangan umum kenaikan kelas. Ulangan untuk kelas 1 SD memang tidak sulit. Untuk matematika, mungkin hanya soal penjumlahan, pengurangan atau perkalian mendatar. Itu pun boleh memakai sempoa. Jadi bisa dibilang tanpa belajar pun kita bisa mengisinya.
Namun hal itu bertolak belakang dengan mami. Baginya, kalau sudah yang namanya ulangan, itu berarti kita akan berperang. Dan kalau menghadapi perang, harus ada persiapan.
"Nando...!!!" Mami memanggilku yang sedang menonton TV bersama adikku waktu itu.
"Iya, mi...!" Sahutku menghampiri mami. "Napa ma'?" Tanyaku.
"Kamu duduk. Hafalkan perkalian 1 sampai 3." Perintah mami menyodorkan naskah perkalian di belakang sampul bukuku.
Untuk perkalian satu semua berjalan dengan lancar. Hingga yang kedua. "2 kali 3 sama dengan 5, du...!"
"Itu tambah Nando, bukan kali. Ulang lagi dari 2 kali 1." Perintahnya lagi. Aku mengikuti apa yang dia katakan.
Semakin dengan perkalian 3, tempoku semakin melambat. Emosi mami pun semakin meningkat. Dia seringkali geram dengan aku yang sering salah menyebutkan hasil dari perkalian.
"3 kali 3 sama dengan... ehm... ehm... ehm..."
Braaakkkkk...!!!
"Sama dengan berapa???!!!" Tanya mami dengan hentakan meja.
"Mami udah mami. Kasian Nandonya!" Seru papi yang lagi menonton TV.
"Dari pada dia nggak naik kelas. Mending nangis sekarang dari pada nangis nanti." Ucap mami.
"Jahat. Muke cantek tapi jahat. Mami, ni." Bisikku dalam hati. Aku hampir menangis. Tapi itulah resiko belajar. Kita tidak bisa sukses jika kita tidak belajar. Dan kita tidak bisa belajar tanpa resiko. Dan kalau sudah berbicara resiko, kita akan mengalami sakitnya menerima resiko.
Jadi, jika kita ingin sukses, kita harus mampu merasakan sakitnya resiko.
-DAN-
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lexury School & Class
RandomBanyak kelas yang sudah aku masuki. Setiap kelas punya rasa masing-masing. Aku menganggap semua sekolah dan semua kelasku itu MEWAH. I present it for You All. "My Lexury School & Class" My true story... *** Maaf karena beberapa dialog menggunakan ba...