1.11: Bye, Bella.

373 37 16
                                    

Aku sangat menyayanginya, sungguh. Dialah cinta pertamaku, dan bahkan akan menjadi cinta terakhirku. Hatiku retak dengan kelakuannya namun lain hal dengan rasa yang kumiliki padanya.

Bingung? Aku amat bingung. Sedih? Apa lagi. Bahagia? Aku bahagia Ia telah disisinya. Jadi, apa lagi yang harus aku takutkan?

"Ayo pulang," suara itu memecahkan keheningan yang aku buat sendiri. Badanku tidak bergeming, aku masih terpaku dengan pemandangan yang aku lihat.

Sesedihnya kematian, tapi tidak mungkin bisa sesedih ini. Ini terlalu berat, ini terlalu sakit, ini terlalu parah. Jari-jariku beregemetar saat ingin menangkapnya, tapi apa daya aku yang terlampau jauh dari orang disisinya.

"Papa, ayo pulang huee..."

Itu suara Dilka, aku menoleh mendapatkan anak kembar itu tengah menangisi apa yang aku lakukan. Dan tanpa sadar pula, airmataku jatuh melihatnya.

Dicka dan Dilka, hanya mereka yang aku miliki sekarang. Tidak ada wanita yang membangunkanku seperti saat aku bersekolah. Tidak ada pria yang rela melakukan apapun seperti saat aku membutuhkan bantua. Tidak ada lagi yang mengisi hatiku seperti dia yang pergi dariku.

"Udah papa jangan nangis lagi, Dicka sama Dilka kan masih sama papa. Jadi papa jangan nangis lagi," ujar Dicka sembari menghapus airmata dipipiku.

Kulihat hidungnya kembang kempis saat melakukannya, aku berusaha tersenyum untuk mereka yang menginginkan senyumanku. "Kok kalian jadi ikutan nangis sii?? Hahaha."

"Tadi aku nangis karena mama ninggalin aku. Tapi sekarang aku nangis karena papa, papa yang cinta sama mama lah yang bikin aku nangis." Sahut Dilka yang tangisannya sudah berhenti."

Aku menyeritkan dahiku, "memang kenapa?"

"Karena terlalu mencintainya. Sampai tidak tahu bahwa aku juga butuh dicintai, disayangi, jadi tolong berhentilah mencintainya."

Tawa hambar aku keluarkan dari mulutku. Aku tidak tahu bahwa anak berumur enam tahun seperti mereka telah mengerti urusan orang dewasa. Mereka memang anak-anakku, gen pintarku menurun pada mereka.

"Ayo! Kita ga boleh nangis lagi yah sayang! Kita kan kuat, lelaki itu ga boleh lemah!" Sahutku lalu berdiri, pemandanganku masih jatuh kedepan dimana mereka tercengang dengan apa yang aku dan anak-anakku katakan.

"Terima kasih Bella, sudah mengandungnya dan merawat mereka sampai sebesar ini. Terima kasih untuk segala yang kau lakukan pada mereka, kasih sayang begitupun cinta."

"Mereka juga anak-anakku, Kak."

"Bukan, mereka anak-anakmu lagi sekarang. Mereka milikku, hartaku, jiwaku. Aku tidak egois, dek. Namun untuk kali ini, aku tidak akan melepaskan orang yang kusayangi lagi."

"Dicko!"

"Ozzy, jaga Bella. Bawa Ia pergi, pergi menjauh dari hadapanku dan juga anak-anakku."

Aku segera membalikkan badan, dan meraih tangan-tangan mungil anakku untuk berlalu pergi meninggalkan sepasang suami-istri tadi. Serasa tidak ada pergerakan dari Dicka dan Dilka, aku menunduk melihat mereka yang menatap mamanya.

"Kami bukan Ozkeinzla lagi om,tante. Kami Fermandani, tolong ingat baik-baik," sahut Dicka.

"Dan kami percaya, papa kami tidak mempunyai istri dan kami... kami tidak memiliki orang yang telah mengandung kami. Ibu kami sudah tiada."

Setelah itu yang aku tahu, aku bahagia dengan kedua putraku. Gen ku menurun dengan pasti pada mereka. Meskipun aku tidak terlalu percaya dengan Dilka yang terlalu kecewek-cewekan, tapi itu tidak masalah.

****

Sepuluh tahun kemudian.

"Dicka! Dilka!" Teriakku menggelegar di lorong sekolah.

Disana aku melihat mereka berdua tengah merokok dengan badan lebam sehabis tawuran. Aku langsung terbang dari Singapore-Indonesia setelah mendapat telpon dari sekolah, yang ternyata anakku ikut tawuran.

Dengan langkah yang cepat aku menghampiri mereka yang baru menyadari kedatanganku, ditanganku sudah ada balok untuk memukul mereka berdua.

"Kalian berdua tuh-"

"Eitss jangan pukul dulu, aku bisa jelasin pah,"

"Apa lagi alsanmu hah-"

"Tunggu dulu pah, dengerin dulu."

Aku menghela napas lalu membuang balok asal. Aku melipat kemejaku keatas, dan melonggarkan dasiku, dan tidak lupa dengan jasku.

"Jadi apa yang kalian lakukan?" Ucapku setelah melempar jasku ke Dilka.

"Kemarin waktu pulang sekolah, aku mau nyamperin Dicka yang ngerokok diwarung depan sekolah-"

"Dicka!" Teriakku lagi, "piss pah!"

"Nah terus, ada Bella disitu mau hampirin kami di warung. Tiba-tiba dari dua arah berlawanan orang-orang pada lari terus pukul-pukulan dan yang papa tahu itu tawuran."

"Dan Bella masih ada disana, jadi aku sama Dilka langsung reflek kesana nolongin Bella tapi malah kena pukul. Jadi aku pukul balik lah seperti kata papa dulu, 'kalau kamu dibentak, bentak balik. Kalau kamu dipukul, pukul balik, bawa balok sekalian' jadi kan kita ikutin apa yang papa suruh lah." Lanjut Dicka.

"Kalau kamu dibentak, bentak balik. Kalau kamu dipukul, pukul balik, bawa balok sekalian." Aku mengulangi perkataan itu.

"Jadi gitu, bagus deh. Bella luka-luka ga?"

"Lecet dikit, tapi udah Dilka obatin."

"Tu-tunggu..." aku menggantungkan perkataanku saat menyadari bila Bella mendatangi anakku lagi dan lagi, "apa yang Bella lakukan?"

Dicka menatapku dengan alisnya yang terangkat-angkat, "dia mau enaena lagi sama papah! Hahaha," lalu Ia tertawa kencang dan diikuti oleh Dilka, baru saja aku ingin memukul mereka tapi ucapan Dilka membuatku mengurungkan niat.

"Dia bilang, apa kita ga kangen mama."

"Lalu, kalian jawab apa?"

"Yah gitu..." ucap mereka bersamaan, aku hanya menggelengkan kepala dengan sifat keras kepala mereka yany tidak pernah berubah.

Aku juga bila menjadi Bella dan menjadi orang yang mengandung mereka, pasti sakit setelah mendengar perkataan mereka yang memohok hati. Mulut mereka begitu pedas, lebih pedas dari cewek. Namun itulah daya tarik mereka.

"Dan kami percaya, papa kami tidak mempunyai istri dan kami tidak memiliki orang yang telah mengandung kami. Mama kami sudah tiada."

The End

Gua, Aku, dan SayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang