1

17 3 0
                                    

Aku berjalan gontai menuju kamar tidur. Undangan itu tergeletak dengan mengenaskan. Aku belum siap melihatnya bersanding dengan pria lain. Kenapa ia menolakku? Apa kurangnga diriku ini? Di umur 24 tahun aku pria yang mapan. Bahkan sejak umur 20 tahun aku sudah bisa hidup mandiri.

Aku masuk kamar mandi dan menyalakan shower. Ku biarkan diriku dihujani air. Aku frustasi karena ini. Aku lemah sekarang, aku butuh seseorang yang dapat menopangku saat ini. Semakin lama tubuhku melemas di bawah pancuran shower ini. Hingga aku terjatuh di lantai, pandanganku mulai mengabur dan sebelum semuanya menggelap aku melihat sosok wanita yang menghampiriku.

---

Aku terbangun dari tidurku. Aku mencium bau khas rumah sakit di sekelilingku. Kepalaku terasa pening. Benar aku ada di rumah sakit. Ruangan serba putih dengan beberapa peralatan medis.

"Kau sudah bangun?" ujar seorang gadis kepadaku. Aku hanya menyerngitkan dahi. Siapa dia?

"Aku tetangga barumu. Tadinya aku ingin bertamu untuk menyapa tetangga baruku. Yang kudapati malah kondisimu yang mengenaskan. Tcktck." ceriwisnya.

"Bukan urusanmu." ujarku ketus. Kenapa ia tidak membiarkannya saja? Lebih baik aku mati saja daripada menghadapi kenyataan ini.

"Kau ini, bukannya bilang terimakasih. Dasar om om jutek." ujarnya lagi. Ingin sekali meremas wajah mungilnya itu tapi apa daya tenaga entah hilang kemana.

"Terserah kau saja. Seharusnya kau lebih sopan kepada yang lebih tua." tegurku. Ia hanya menanggapinya dengan cengiran di wajahnya.

Tak lama kemudian seorang dokter datang bersama seorang suster. Suster muda itu menatapku dengab tatapan err lapar. Aku tahu diriku ini bisa dibilang tampan.

"Hmmp.. Percuma jika tampan tapi mengenaskan." sindir gadis tadi seakan ia membaca pikiranku.

Suster dan dokter tadi hanya tersenyum mendengar sindiran dari gadis tadi. Sungguh kali ini aku benar benar kesal. Siap dia sebenarnya? Gadis kecil yang tak sopan. Aku melotitinya agar ia berhenti menahan tawa.

"Tuan Ryan kondisi anda sudah cukup membaik. Mungkin besok anda sudah diperbolehkan pulang." ujar Dokter setelah memeriksaku.

Setelah dokter pergi, gadis itu menghampiriku dengan senyumannya. Aku hanya menatapnya datar.

"Terimakaaih telah menolongku. Kau boleh pergi jika mau."

Ia menggeleng, "Tidak, aku ingin disini saja. Aku sendirian di apartemen." tolaknya.

Aku hanya mengiyakan saja asal ia tidak menggangguku. Sebenarnya bosan juga jika harua disini sendirian, tapi aku tak mungkin menghubungi keluargaku yang di Jogja untuk kesini. Aku tak ingin merepotkan mereka. Terutama Ibu, dia sungguh over protectif kepadaku. Padahal kedua kakak perempuanku, Ibu tidak sampai segitunya.

"Om, kita belum kenalan ya." ujar gadis itu. aku hanya mengiyakan saja. Anggap aku mencoba membalas pertolonganya.

Namanya Dina, umurnya enam tahun lebih muda dariku, dia memutuskan tinggal sendiri di Jakarta. Di sini ia yang lebih banyak bercerita aku hanya mendengarkan saja. Ternyata ia juga berasal dari Jogja. Ia sering menceritakan adiknya yang masih TK. Adiknya sama denganku anak terakhir dan satu satunya anak laki laki di keluarga. Entah kenapa mendengarnya bercerita aku merasa tertarik. Bukan perasaan tertarik lawan jenis tapi seperti kehangatan keluarga yang dua tahun ini aku tinggalkan. Hingga aku mataku mulai terasa berat dan mengantuk.

"Kakak ngantuk ya? Biasanya kalau adikku mau tidur aku nina bobo in." ujarnya. Tanpa aba aba tangannya mengelus kepalaku.

Entah kenapa aku tak bisa menolaknya. Tangannya bagaikan obat bius. Sambil menyanyikan lagu anak anak itu, ia membelai lembut rambutku. Sentuhan yang kurindukan. Mungkin selama ini aku sudah terlalu jauh melangkah meninggalkan keluargaku. Belaian ini mengingatkanku pada masa kecilku dulu. Entah dulu siapa yang sering mengelus rambutku seperti ini. Dina tidak hanya menyanyikan lagu nina bobo tapi juga tembang dolanan lagu khas Jawa. Hingga akhirnya mataku sepenuhnya terpejam menuju alam mimpi.

Keesokannya aku sudab diperbolehkan pulang. Dina seperti tidak pernah lelah untuk menemaniku. Walau baru mengenalnya dan perkenalan yang buruk di awal aku merasa nyaman di dekatnya. Aku heran, aku tidak merasakan debaran debaran cinta lawan jenis yang ada malah rasa sayang saudara. Ia seperti gadis kecil bagiku. Anggap aku sudah gila karena ini terlalu cepat bagiku untuk akrab dengan orang lain.

Setelah sampai di apartemen kami memesan delivery order untuk makan. Aku memutuskan cuti tiga hari dengab alasan sakit. Dan sekarang sebagai awal cutiku aku bersama Dina memutuskan untuk movie marathon sampai kami tertidur di depan tv.

"Kak, bangun sholat subuh" rengek Dina mencoba membangunkanku.

"Ih kamu berisik, gak sopan tau ganggu orang tua tidur." ujarku malas.

"Gimana mau dapet jodoh kalau bangun aja molor. Subuhan itu pentung tau kak." cerocosnya lagi.

Emang sih selama ini aku jarang sekali subuhan karena bangun kesiangan. Padahal sewaktu kecil aku sering ke masjid waktu subuh. Apa karena cinta aku menjadi melupakan pada Penciptaku? Dengan langkah gontai aku mengambil wudhu dan sholat berjamaah dengan Dina. Tadi ia sempat mengambil mukena di apartemennya dan meminta berjamaah denganku.

Aku tak merasa setenang ini setelah mendapat undangan sial itu. Dalam diamku aku termenung memikirkan nasibku saat ini. Apa yang harus kulakukan kedepannya? Apa aku harus berdamai dengan hatiku saat ini?
_____
Syukron udah mau baca. Maaf kalo bahasanya masih abal abal.

Don't forget to coment please.

Chimashi

INCEPTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang