Aku tak merasa setenang ini setelah mendapat undangan sial itu. Dalam diamku aku termenung memikirkan nasibku saat ini. Apa yang harus kulakukan kedepannya? Apa aku harus berdamai dengan hatiku saat ini?
___
" Kak ini ada undangan pernikahan temennya kakak kok di buang?" teriak Dina yanh ada di dapur.
Seketika diriku menegang. Kenapa undangan itu masih ada? Aku sudah memutuskan untuk tidak datang kepernikahannya. Mungkin ini jalan terbaik untuk melupakannya.
"Kak, apa ini yang membuatmu frustasi?" tanyanya. Aku hanya terdiam tak menanggapi.
"Oke kalo kakak nggak mau cerita aku nggak maksa kok. Gimana kalo kita jalan jalan hari ini? Aku mau nunjukkin tempat yang bisa buat kakak lupain masalah kakak." ujarnya. Aku menyerngitkan dahi melihag wajahnya yang meminta jawaban dariku sambil menaik turunkan alisnya.
___Dan...disinilah kami di sebuah Panti Asuhan dengan kondisi gedung yang mulai lapuk. Apa maksudnya membawaku ke sini? Aku mengekorinya masuk. Ia dengan akrabnya berbincang dengan ibu panti dan anak anak yang ada di sini. Aku yang jarang berada di tempat ini merasa canggung dan kaku. Selama dua tahun ini aku merubah diriku menjadi pria dingin yang tak mengenal tempat seperti ini.
Dina menatapku memberi tanda untuk ikut bermain bersama anak anak yang ada di sini, tapi aku menggeleng. Saat aku sedang duduk bermain handphone pintarku seorang anak laki laki datang menghampiri.
"Wah Om keren, mainannya bisa di sentuh kayak gitu." ujarnya takjub dengan hp ku ini.
"Ini bukan mainan dek, tapi ini Handphone." jelasku lembut.
"Hehe Raka nggak tau Om han han apa itulah Om. Di sini jarang ada mainan baru. Kapan ya ada mainan baru kayak punya Om gitu."ujarnya.
Aku tersenyum miris mendengarnya. Dulu aku seumurnya memilik banyak mainan milikku sendiri tanpa harus membaginya dengan orang lain. Menjadi anak bungsu dan jarak umur yang jauh dengan kedua kakakku menjadikan diriku anak yang dimanja. Jika liburan seperti ini, keluargaku akan mengajakku pergi berlibur. Huh, kenapa aku menjadi teringat masa kecilku? Apa aku merindukan mereka?
"Ayo Om kita main bola. Masak Om mau di sini terus." ajak anak bernama Raka tadi. Ia menarik tanganku. Aku hanya pasrah mengikuti ajakannya.
Benar bermain bersama mereka membuatku lupa dengan masalah yang ada. Apa sudah saatnya aku melupakannya? Tapi aku yakin wanita itu bisa jadi milikku.
"Tcktck.. Kakak kenapa melamun lagi? Liat anak anak udah pada masuk rumah kakak malah berdiri gak jelas di sini." ujarnya. Kebiasaan melamunku kembali, hingga aku tidak sadar jika aku sudah sendirian di perkarangan ini.
Aku mengukuti Dina masuk ke dalam rumah panti. Aku tidak tau kenapa mereka tiba tiba masuk. Saat memasuki sebuah ruangan aku melihat anak anak sudah duduk bersila mendengarkan seorang perempuan berhijab sedang membacakan dongeng. Wanita itu memiliki paras cantik dan sorot mata yang lembut. Aku menatapnya tertarik. Hingga tidak sengaja pandangan mata kami bertemu. Tanpa aku sadari aku tersenyum dan membuat wanita tadi tersenyum membalasku lalu menunduk tersipu.
Menarik, batinku. Dia tidak berani menatapku lagi. Bahkan malu saat aku perhatikan. Padahal biasanya para wanita yang tanpa malu menatap diriku memuja. Aku terus memperhatikannya berdongeng. Lagi lagi aku mengingat masa kecilku dulu yang sering mendengarkan dongeng dari kakakku, tapi aku lupa kakakku yang mana.
"Sudah jangan di tatap terus. Bukan mahramnya kak." ujar Dina tiba tiba di sampingku. Ia tampak menahan tawa melihat tindakanku ini. aku menatapnya tajam untuk berhenti meneetawaiku.
"Siapa dia?" tanyaku pada Dina. Sedari tadi aku memperhatikan wanita itu tanpa lelah sambil bersender di dinding belakang anak anak.
"Cie yang mulai penasaran.. Cantikan diakan dari wanita yang kamu puja itu." Godanya lagi. Aku pun mencebik kesal. Kenapa ia harus mengungkit wanita itu lagi.
" iya iya jangan cemberut dong kak. Namanya Kak Lila. Kata ibu panti ia sering ke sini dan menjadi relawan. Nanti kenalan yuk." ajaknya. Aku hanya mengangkat bahu menanggapinya.
"Dasar irit ngomong." kata Dina sebelum iya menghampiri wanita tadi, yang telah selesai bercerita.
Mereka langsung akrab dan tampak sedikit bersendagurau. Lalu Dina menatapku dan memberi tanda untuk mendekat. Dengan perasaan gugup aku pun mendekat.
"Ini kak kenalin. Namanya Kak Lila. Kak Lila ini kakakku, namanya Kak Ryan."ujarnya. Aku reflek menoleh ke Dina protes dengan pernyataannya tentang statusku sebagai kakaknya. Dia yang kutatap malah mengeluarkan senyuman khasnya. Lalu aku beralih menatap Lila yang tampak tersenyum melihat tingkah kami.
" mm, Hai namaku Ryan." ujarku sambil menjulurkan tangan.
" Saya Lila. Maaf jika saya menolak berjabat tangan karena anda bukan mahram saya." ujarnya lembut. Dina yang melihat uluran tanganku di tolak menahan tawanya. Yang kuhadiahi dengan tatapan tajam.
"Kak Lila sudah punya suami belum?" ujar Dina to the point. Dasar anak ini.
"Mm belum dek. Memangnya kenapa?" tanyanya sedikit malu. Entak kenapa aku merasa lega mendengar statusnya.
"Yaudah biar Kak Ryan bisa jabat tangan sama Kak Lila, kalian coba ta'arufan aja trus kalo cocok nikah." crocos Dina asal. Langsung ku tonyor kepalanya. Lila yang melihat tingkah kami kembali tersenyum.
"Maaf ya ADIK aku kalo ngomong asal." ujar ku sedikit kesal dengan ucapan Dina. Lagi lagi gadis itu hanya tersenyum polos.
"Kalian lucu ya." itulah jawaban yang aku dapatkan dari Lila. Bagus, harga diriku jatuh di hadapan wanita cantik ini gara gara gadis menyebalkan di sampingku.
Setelah kejadian tadi kami memutuskan untuk melupakan ucapan Dina dan kami bertiga asik bercerita dan bermain dengan anak anak lagi. Sebenarnya selama berbincang aku dan Lila hanya sesekali berbicara selebihnya gadis kecil itu yang banyak bercerita.
"Aku merasa prihatin dengan anak anak di sini. Baru sedikit orang mau berdonatur." ujar Lila tiba tiba.
" kenapa sedikit kak?" tanya Dina.
" aku juga tidak tau. Beruntunglah kalian yang masih memiliki keluarga. Jangan pernah menyianyiakannya. Karena disini mereka saja sangat merindukan kehangatan keluarga." ujarnya lagi. Aku merasa tersindir. Benar katanya, aku sudah cukup lama meninggalkan keluargaku. Padahal mereka sebenarnya selalu ada untukku. aku hanya terdiam mendengar ucapannya itu.
Aku dan Dina akhirnya pulang dari panti saat hari mulai senja. Hari ini aku mendapat pengalaman baru dan tersadar dari masa gelapku. Rasanya aku ingin sekali menelpon Ibu sesampainya di apartemen.
Sesampainya di apartemen, Dina kembali ke apartemennya sendiri. Dan aku mencoba memberanikan diri menelpon Ibu. Aku sedikit takut kalau Ibu marah padaku.
Nada sambung sudah terdengar dan sebuah sura lembut menyapaku di sebrang sana.
"Asslamualaikum, maaf ini siapa ya?" tanya ibuku di sebrang sana.
"Walaikumusalam bu, ini Iyan." jawabku. Terdengar Ibu berlari dan memanggil Ayah.
"Ya Allah nak, ibu sama ayah rindu padamu. Bagaimana kabarmu di sana?" tanya ibu lagi.
"Alhamdulillah baik bu. Ibu sama keluarga yang di sana gimana kabarnya?" tanyaku balik.
" kami di sini baik nak." jawab Ibu.
"Pulanglah nak. Sudah cukup lama kau konflik dengan hatimu. Berdamailah dan pulang ke keluargamu nak. Kami selalu menunggumu di sini." sambung Ayah tiba tiba.
Apa sudah saatnya aku pulang?
KAMU SEDANG MEMBACA
INCEPTION
ChickLitKisah seorang pria frustasi yang ditinggal nikah cinta pertamanya. Hingga akhirnya seorang gadis misterius datang dalam kehidupannya. Siapa gadis itu? Apa ia mampu mengubah pria itu?