Making Plans and Surprise

19 1 0
                                    

Kicauan burung di taman menjadi penyambut pagi hari Liz di Manchester ini. Setelah di kemo Liz bercanda-canda di taman bersama Will dan Jen. Memang semenjak sembuh dari traumanya, Jen tidak lagi menjadi pasien Rumah Sakit Bridgewater. Sekarang Jen hanya menjadi tamu jenguk atau mungkin bisa dibilang menjaga orang sakit selama dua puluh empat jam, karena dia menemani Liz dirumah sakit sama seperti Will.

Hari ini adalah tanggal 11 Desember dan artinya dua hari lagi adalah hari ulang tahunnya yang ke sembilan belas tahun. Memang umur segitu tidak bisa lagi dibilang remaja, melainkan remaja yang mulai tumbuh dewasa dan mulai mencari kehidupannya sendiri. Tapi tidak dengan Liz, dia merasa tidak akan pernah dewasa karena ia masih belum mengarti apa artinya cinta dan ia masih menyukai tokoh kartun Doraemon. Walaupun memang selera musiknya sudah menunjukkan kedewasaannya dia.

Namun Liz sendiri tidak menyadari kalau ia akan segera berusia sembilan belas tahun yang artinya dia sudah tiga tahun mengidab Leukemia. Waktu berlalu sangat cepat dan Liz mampu bertahan selama tiga tahun adalah suatu keajaiban. Karena biasanya pengidab Leukemia tidak dapat bertahan hidup lama.

Seperti biasa, hari-hari Liz di rumah sakit tidak ada perkembangan selain berjalan-jalan ditaman dan berfoto serta bercanda ria dengan Will atau Jen. Liz sangat ingin keluar untuk menghirup dan melihat keadaan Manchester diluar dinding rumah sakit yang sangat tinggi itu.

Hari itu ada yang dirasakan aneh oleh Liz, karena kedua orang tuanya tidak datang untuk menjenguk Liz atau menanyakan kegiatan apa saja yang Liz lakukan. Menelpon saja tidak.

“Will, mama dan papa kemana? Kok mereka tidak datang ya?” tanya Liz kepada Will yang sedang membaca buku sambil meminum kopi miliknya.

Will melirik adiknya itu yang sedang makan makanan rumah sakit dengan wajah lemas. “Mungkin ada urusan yang tidak bisa ditinggalkan. Makanya mereka tidak mengunjungimu,” balas Will cuek dan melanjutkan baca.

Dengan jawaban Will yang cuek itu juga membuat Liz semakin lemas. Ia kesal mengapa semua orang terlihat cuek malam itu. Ia juga tidak melihat Jen sejak sore tadi. “Kalau Jen kemana? Aku tidak melihatnya sejak sore tadi,” tanya Liz lagi dengan memasang wajah penuh harap.

“Ia sedang mencari makan. Mungkin makanan di rumah sakit tidak lagi nyaman diperutnya,” jawab Will tanpa melihat wajah sang adik itu.

Liz mendengus kesal mendengar ucapan sang kakak. Namun seketika ia tersenyum seperti mendapatkan sebuah ide scemerlang. “Kalau begitu tolong telepon dia untuk membelikanku ayam, aku juga bosan dengan makanan rumah sakit ini,” ucap Liz dengan penuh semangat.

Will melirik dan memperhatikan adiknya itu dengan tatapan kesal, “Sudahlah, kau makan saja makanan itu. Kau tidak boleh makan makanan apapun selalin itu, kalau kau ingin sembuh makan saja itu. Tidak usah banyak kemauan!”

Seketika Liz diam tanpa kata-kata lagi. Baru kali ini ia melihat sikap sang kakak berubah terhadap dirinya. Memang Liz banyak sekali keinginannya, tapi tak pernah Will menanggapinya seperti itu. Kata-kata itu memang tidak diucapkan Will dengan membetak tapi kata-katanya seperti membentak secara halus.

Setelah menghabiskan makanan, Liz segera meminum obat yang sudah disiapnakn suster untuknya. Tak lama kemudian seorang suster datang dan membereskan piring makanan Liz. Will juga sudah selesai membaca bukunya dan berjalan kearah Liz.

“Lebih baik kau tidur sekarang, tidak baik kalau terlalu sering tidur malam. Selamat malam,” ucap Will sambil mengecup ujung dahi sang adik. Liz merasakan kenyamanan dan tidak ada ketegangan lagi saat Will mencium dahinya itu.

Will meninggalkan Liz keluar dan ia mematikan lampu kamar Liz agar Liz bisa tidur dengan nyaman. Will keluar untuk menemui Jen yang sudah menunggunya di restaurant rumah sakit. Ia menemukan Jen sedang duduk dipojokan kursi restaurant dengan seorang pria. Awalnya Will tidak suka dengan pemandangan itu, namun setelah ia melihat laki-laki itu rasa tidak sukanya menghilang.

“Hai Jen. Apa kabar kau Ni?” sapanya kepada dua orang yang ada dihadapannya itu. Ya, Jen dan Niall. Laki-laki itu adalah Niall.

“Hai Will, bagaimana keadaan Liz?” balas Jen dan mempersilahkan Will untuk duduk disebelahnya.

Will tersenyum puas, “Aku berhasil membuatnya kesal tadi. Aku hanya memberitahunya untuk tidak banyak permintaan dan dia juga menanyakan kenapa mama dan papa tidak datang menjenguknya,”

“Semoga saja dia tidak benar-benar marah, aku ingin membuatnya terkejut nanti,” ucap Niall.

“Oh iya, kapan kau sampai disini Niall? Bukankah kau masih memiliki jadwal tur dengan One Direction?” tanya Will kepada Niall yang baru saja menanggapi ucapannya itu.

Niall terkekeh, “Jadwal tur 2012 sudah selesai dan kami –para personil One Direction diberikan waktu liburan Natal selama tiga minggu, jadi aku memutuskan untuk ke Manchester untuk menemani Liz. Nanti personil yang lainnya juga ingin kesini, namun mereka mengunjungi kampung halamannya dulu dan menemui orang tua mereka masing-masing. Sebelum ke sini aku juga kembali ke Ireland, setelah dua hari berada di Ireland aku kesini. Nanti aku akan kembali lagi ke Ireland,” jelas Niall yang sesekali menyeruput kopinya itu.

Will mendengarkannya dengan serius, karena baru kali ini ada seorang laki-laki yang rela membuang uangnya hanya untuk membuat sang adik senang. Karena Manchester dan Ireland cukup jauh jaraknya dan itu sangat mudah bagi Niall untuk berpindah-pindah ke dua kota yang sangat jauh jaraknya itu.

Moments [HOLD ON]Where stories live. Discover now