six
Pagi hari ini Hanny memutuskan untuk absen dari sekolahnya. Entah kenapa dari semalam Hanny muntah-muntah, dan perutnya melilit. Adrian bilang mungkin karena Hanny terlalu banyak mengkonsumsi sambel saat makan.
Hanny merebahkan tubuhnya sejak tadi pagi di kasur. Rasanya ia tidak sanggup beranjak dari kasur, bahkan untuk mengambil minum saja susah.
"Selamat siang, anak bandel. Gak sembuh-sembuh kan sakitnya? Emang enak."
"Abaaang!"
"Makanya jangan bandel kenapa sih, susah banget di bilangin." Adrian meletakan nampan berukuran sedang di nakas. Dengan tubuh Hanny yang meringkuk seperti bayi di bawah selimut, Adrian membawakan Hanny semangkuk bubur dan teh.
"Ih bawel lo mah, adeknya sakit bukannya di manjain gitu."
"Ya siapa suruh susah di bilangin, jadi repot kan gue." Adrian mengambil bubur yang ia bawa lalu mengaduknya agar tidak terlalu panas. "Sarapan dulu ya."
Hanny hanya mengangguk lemas. Sebenarnya Hanny memang tidak di perbolehkan untuk mengkonsumsi makanan yang pedas karena Hanny suka sakit perut bahkan sampai muntah-muntah sesudahnya. Namun, karena Hanny memang keras kepala ia tidak pernah mau menuruti itu semua, tetap saja Hanny makan pedas.
"Buka mulutnya, aaaa..."
"Haah...hah, p..pan..ash, Bang!" Hanny menelan paksa bubur yang masih panas lalu mengambil air mineral untuk menghilangkan panas di rongga mulutnya.
"Maaf, maaaf. Yaampun, maafin abang! Pelan-pelan minumnya.." Adrian terkekeh pelan. "Tadi perasaan gue cobain udah anget, kenapa masih panas ya."
"Lidah Abang udah kayak batu gak berasa apa-apa. Panas tau! Gue rasa itu bubur beneran dari panci gak lo kipasin dulu deh.."
Adrian tertawa kecil. "Iya, maaf gue tadi buru-buru takut lo udah laper."
Setelah kejadian itu, Adrian lebih berhati-hati saat memasukan makanan ke dalam mulut Hanny. Hingga tidak sampai 30menit makanan Hanny sudah habis.
"Gue mau ke kantor abis ini, lo di rumah aja gak apa-apa kan? Ada Bi Anin juga."
Hanny mengangguk sambil mengecek ponselnya. Hanny menghembuskan nafasnya perlahan dan mendecak kesal. "Ahelah!"
"Kenapa?"
Tanpa berbicara apa-apa, Hanny langsung menyerahkan ponselnya ke Adrian. Adrian dengan sigap mengambil ponsel Hanny dan membaca pesan yang baru saja ia terima.
"Ck, yaudah lah." Adrian menghembuskan nafasnya kasar, percuma ia berharap. Toh, harapannya pun akan sia-sia.
"Hah, ini nih yang gak gue suka."
"Buat gue, yang penting lo sama Andrew hadir di pernikahan gue nanti. Gak usahlah ngarepin Papa sama Mama dateng, karena kenyataannya merekapun gak bakalan bisa dateng."
Hanny sadar, bukan hanya ia yang menderita disini. Bahkan Adrian pun juga. Orangtua mereka terlalu egois, bahkan di saat ketiga anak mereka yang beranjak dewasa orangtua mereka tidak ada disisi mereka.
"Tapi, ini pernikahan lo, Bang. It will be weird if there's no our parents, ntar siapa yang jadi wakil keluarga saat lo ijab kabul?"
"Andrew bisa kok." Jawab Adrian santai. Adrian menyuapi buah untuk Hanny, sambil menonton serial televisi scream queens, acara kesukaan mereka berdua.
"We always be there for you, Abang gak usah khawatir."
"Harus lah." Adrian mengusap pelan kepala Hanny. Bagi Adrian, Hanny dan Andrew adalah orang yang paling ia cintai di dunia ini. Adrian akan melakukan apapun untuk membuat kedua adiknya bahagia, apalagi Hanny. Meskipun pernikahan Adrian akan di laksanakan beberapa hari lagi, Adrian tidak begitu khawatir saat membaca email dari kedua orang tuanya bahwa mereka belum yakin bisa datang, toh buat Adrian yang terpenting adalah Andrew dan Hanny berada di sisinya. "Oh ya, Jessy nanti mau kesini, mau jenguk lo. Dia khawatir banget loh pas Abang kasih tau lo muntah-muntah, sampe-sampe dia izin hari ini gak ke kantor." Adrian menggelengkan kepalanya, calon istrinya itu memang sangat perhatian pada Hanny, bahkan lebih perhatian pada Hanny dibandingkan dengan Adrian sendiri.
Hanny mengangguk pelan. Bagi Hanny juga Adrian dan Andrew adalah orang terpenting dalam hidupnya, tidak ada yang lain. Mau tidak mau, mereka bergantung satu sama lain, karena bagi mereka orang tua mereka tidak pernah menujukan keeksistensian mereka dalam hidup Hanny, Adrian, atau Andrew.
***
"Woi! Curang lo-"
"Anjir, lo yang curang! Eh ini apaan sih, woi stik ps gua! Anjir, Faldy, lo gila yang woi balikin! Shit, gue kalah!"
Untuk ke 3 kalinya, Faldy berbuat curang membuat kepala Aldo mendidih bukan main.
"Woi! Ketua kelas macem apa lo! Curang dih najis!"
"Hahahaha, sekali-kali, Do. Kan yang ngajarin lo juga." Kata Faldy sambil merebahkan tubuhnya ke sofa. "Aww! Sakit bodoh!"
"Gak pernah, bodoh! Dah sana bikinin gue makanan kek apa kek, gue laper."
"Dih, siapa lo nyuruh-nyuruh gua?"
"Babu."
"Anjir! Songong!"
"Aw! Sakit bodoh!"
"Bikin sendiri sana ah, gue males."
"Anjir, tuan rumah macem apa lo?! Gue bilangin emak lu bodo amat!"
"Dih, najong mainnya ngaduan."
"Duuh, kalian apasih ini teriak-teriak? Tante lagi telfonan sama Papanya Faldy jadi ga konsen deh." Tante Wina a.k.a Ibu dari Faldy tiba-tiba datang keruang tengah menghampiri Faldy dan Aldo.
"Ini nih, Tante, Faldy pelit gak ngasih mak-" Faldy dengan sigap menutup mulut Aldo.
"Hehehe, gak ada apa-apa kok, Ma."
"Faldy, kenapa lagi ini, hm?"
"Faldy mau makan dulu ya, Ma, sama Aldo. Daah, Mama." Dengan senyum yang mencurigakan, Faldy langsung menggiring Aldo ke ruang makannya.
"Oalah, gih sana. Makan yang banyak ya, Do. Kalo kurang bilang aja, nanti Tante masak lagi."
Dengan memasang wajah kemenangan Aldo tersenyum lebar. "Oke, Tante!"
"Dasar bocah kelaperan."
"Hahahaha, gue belum makan tadi pagi makanya laper coy!"
"Yaudah sono gih makan."
Dalam 20 menit lauk-pauk yang di masak oleh Wina habis sudah di santap Faldy dan Aldo, tidak tersisa sedikitpun.
"Eh, Do, btw, lu gak minta maaf tuh sama temennya Caca?"
Aldo langsung menatap Faldy tidak percaya, kenapa Faldy masih aja mengungkit-ungkit hal tersebut. Ini sudah ke 3 kalinya Faldy menanyakan hal yang sama pada Aldo. Dan rasanya Aldo ingin menyumpal mulut Faldy dengan buah jeruk yang ada di genggamannya sekarang.
"Lu gak denger yang tadi gue bilang?"
"Denger, tapi seharusnya lo gak gitu. Tendangan lo kenceng tau, gue yakin Hanny kesakitan."
"Gak mungkin, Dy. Kalo dia kesakitan dianya aja yang lemah,-"
"Kalo gak kesakitan gak mungkin sekarang dia gak masuk sekolah,-"
"Hah? Apaan?!"
"Caca bilang dia gak masuk hari ini. Gue takutnya dia geger otak, Caca sama Nadia mikir juga kayak gitu, tapi gak tau juga."
Mata Aldo melebar lagi. Ia tidak abis pikir, mana mungkin tendangannya bisa menyebabkan Hanny geger otak. Perasaannya ia tidak menendang dengan kencang.
"Ah, lo bercanda."
"Mana bercanda. Gue cuma takut aja, Do. Dia itu sahabat gue dari kecil, sahabatnya Caca juga gue gak mau dia kenapa-kenapa. Abangnya nitipin dia ke gue."
Dan untuk kesekian kalinya mata Aldo melebar. Ia kembali tidak abis pikir. Bagaimana mungkin Faldy adalah sahabat Hanny? Oh, rasanya otaknya ingin meledak saja. Salah sudah keputusannya memilih SMA Bakti Jaya di tahun terakhirnya ini.
[Tuan dan Nona Kesepian]
April, 6th 2016
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuan dan Nona Kesepian
Fiksi RemajaAldo Hadiutama, lelaki yang sempurna. Tubuh atletis, wajah tampan, populer, kaya raya, tetapi punya gengsi yang tidak terkalahkan. Si kapten futsal yang memiliki dua wajah yang berbeda, di depan keluarga dengan sejuta senyuman palsu dan cuek, dingin...