Psikopat

8K 438 2
                                        

Aku tidak pernah membayangkan hidupku akan berakhir konyol seperti ini. Aku menyesal pernah memiliki mimpi ini. Aku selalu merutuk jika mengingatnya. Aku terlalu naif dahulu.

Dua tahun sudah usia pernikahanku, hari demi hari sudah semakin kelihatan watak asli suamiku.

Dia gila, psikopat, hypersex, tidak punya hati. Wajah tampannya hanyalah kamuflase dari kebiadapan. Aku membencinya setelah sempat mengaguminya.

"Kau gila?" Tanyaku. "Dia ibuku bagaimana kau melarangku mengiriminya surat" tanyaku.

"Dia adalah istri penghianat" bentaknya.

"Berhenti memanggil ayahku penghianat" erangku.

"Anak penghianat" ejeknya. Aku menarik napas panjang, aku sudah tidak berani memukul. Semenjak kejadian malam itu aku mendapat banyak kecaman dari para bangsawan.

Semua amarahku kukeluarkan dalam bermain pedang. Itu membuatku lebih baik. Semenjak kejadian malam itu. Keluarga kerajaan mengijinkan selir pangeran Herald masuk ke kuil pangeran.

Jadilah kuil ini menjadi tempat prostitusi pribadi bagi pangeran. Tak jarang Herald melakukan itu diluar kamarnya. Terkadang di ruang makan, ruang tamu, taman dan itu menjijikkan.

Aku menarik napas panjang. Kembali aku berkutat pada buku buku. Aku baru mendapatkan banyak buku dari cendakiawan cendakiawan muda. Satu yang paling kusuka, namanya Rafael Polkins. Dia adalah seorang filsuf yang mengarang buku tentang melahirkan dan tata caranya. Banyak perumpamaan dibuku itu, dia banyak memasukkan istilah istilah dalam bahasa Belanda. Mungkin dia adalah cendakiawan Belanda.

Ketika suara desahan bergetar hingha kamarku. Aku selalu membaca didalam lemari. Dan itu menyenangkan, ditemani lentera dan choklat.

"Kau masih mengirimi ibumu surat?" Tanya Permaisuri.

Aku mengangguk dengan angkuh. "Itu larangan. Ketika kau berumah tangga kau bahkan tidak berhak kembali kekeliargamu sebelumnya" ujar permaisuri.

Aku menggeleng mencemooh. "Aku melakukan apa yang aku suka dan tidak suka" ujarku ketus. Lalu berjalan pergi membawa buku bukuku.

"Ikutilah aturan sebagai seorang calon permaisuri" ujar permaisuri penuh penekanan.

Bibi Yovia datang siang itu. Dia datang membawa pesan dari ibu. Aksesku mengirim surat telah di blokir oleh kerajaan. Hanya Bibi Yovia satu-satunya jalan aku bisa berkirim surat dengan ibu.

"Bukankah itu gila bibi. Aku disuruh untuk melepaskan ikatanku dengan ibu dan berto" ceritaku. Kami berbicara di taman istana belakang. Aku bisa bebas berteriak, paling hanya tukang kebun yang mendengarkan.

"Kau terlalu tempramental Puteri" ujar Bibi Yovia dia duduk dengan santai sedangkan aku berdiri berjalan mondar mandir.

"Apa kurangnya loyalitasku. Aku banyak belajar disini, meninggalkan kehidupan masa mudaku. Menjadi orang paling konyol yang membuarkan rumahnya menjadi ladang prostitusi suaminya. Sudah berapa kali dalam seminggu ini aku menerima perlakuan kejam orang itu. Orang yang kalian sembah sembah. Dan sekarang mereka ingin aku melepaskan hubungan dengan keluarga. Itu tindakan bodoh, Bodoh sekali" aku memaki.

"El" potong bibi Yovia.

"Aku lelah bibi." Seketika aku terdiam. Hanya itu yang ingin kuungkapkan.

"Kenapa harus ada permaisuri, jika raja tidak menghargainya?" Tanyaku ditengah tangis. Bibi memintaku duduk, dan mengusap air mataku. "Aku berharap aku adalah istri seorang pendeta sekarang". Bibi memelukku dan menepuk pundakku menenangkan tangisanku.

Bibi Yovia pulang. Dia membawa banyak pakaian untuk keluarga kerajaan serta membawa surat dari ibu dan untuk ibu. Setelah bibi pulang, aku segera masuk ke istana pangeran.

Ketika aku naik tangga kekamarku. Aku melihat seseorang yang meronta, dia adalah pilifa. Memang akhir akhir ini aku jarang melihatnya.

"Its okey?" Tanyaku.

Pilifa tidak menjawab. Diatas aku melihat Herald yang hanya duduk di bangku hnya dengan beralaskan selendang. Dia duduk dengan membawa segelas bir di tangan kanannya.

Pilifa menghempas tanganku. Aku tidak begitu yakin apakah pilifa memang agak gemukan atau apa. Tapi aku memaksa untuk memegang perutnya ketika aku menyadari bahwa darah sudah membanjiri kakinya.

Akhirnya Pilifa ambruk. Tepat ditangga terakhir. Aku membuka roknya. Betapa terkejutnya aku ketika ada sesuatu didalam sana. Sesuatu yang bergerak gerak di mulut kemaluan Pilifa.

"Tolong... Tolong" terakku. Tapu tidak ada orang yang mau mendekat. Tidak ada yang berani mendekati gundik Herald.

"Ini kelahiran Sung sang" ujarku. Aku pernah melihat gambar ini di buku Rafael Polkins.

Tanpa berpikir panjang. Aku segera melebarkan kaki Pilifa. Bau tidak sedap segera tercium, air ketubannya telah lama pecah.

"Its will okay pilifa. Tetaplah tersadar" ujarku memberi semangat. Pilifa segera mengeden. Suaranya parau. Aku membantunya untuk mengatur napas.

Aku segera memasukkan tanganku ke kemaluan Pilifa. Menyentuh beberapa tempat agar kaki kanan bayi ini keluar bersamaan.

Kaki kanannya telah keluar. Ketika Pilifa hampir kehilangan kesabaran. "Sedikit lagi" ujarku menyemangati.

"Aaaaaahhhhhhh" teriak Pilifa.

Dan aku melihat jenis kelamin bayi ini. Dia adalah lelaki. Dengan cepat namun berlahan badan dan kepala sang jabang bayi terlihat. Tangannya sejajar dengan kepalanya. Ketika kepalanya keluar suara tangisan segera terdengar.

Aku tersenyum bahagia.

JEDAAAAAARRRR

suara senapan terdengar. Aku terkaget.

JEDAAAAAAAARRRR

aku menganga. Jantungku rasanya mau copot. Tidak ada lagi suara tangisan bayi. Ditanganku bukanlah lagi bayi yang hidup. Tapi sebuah bangkai bayi dengan perut dan bagian dada hampir semerawut.

Dihadapanku Pilifa tersenyum. Matanya terbuka lebar, seketika darah langsung membanjiri kakiku. Gaunku sudah penuh dengan darah.

Dari atas aku melihat seseorang yang menatap dengan tatapan kosong. Tatapan kami bertemu, tanganku masih memegang bangkai malaikat ini.

Aku menjadi sesak. Ketakutan segera muncul didalam diriku. Dia benar benar psikopat. "Bersihkan tempat ini" ujarnya enteng lalu pergi. Para pelayan langsung mengambil bayi ditanganku yang bahkan tali pusarnya belum kupotong.
Aku segera berlari. Tubuhku bergetar. Aku tidak tahu apa yang kupikirkan tentang Herald sekarang. Aku pernah mengatakan dia Psikopat, tapi aku baru tahi kalau dia benar benar Psikopat.

Aku menangis. Ada bahaya yang mengintaiku, dan bahaya itu adalah Pangeran Herald suamiku.

Nevertheless (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang