Aku menarik napasku panjang. Aku tidak melanjutkan tulisan suratku pada ibu. Disudut balkon aku menatap cakrawala.
Ini yang kuinginkan. Duduk dalam tahta. Harusnya aku bahagia, mimpiku menjadi nyata.
Tapi kenyataannya.
Tidak.
Aku tidak bahagia.
"Putri saatnya keluarga kerajaan makan siang" ujar Pilifa, dia adalah asisten juga orang yang paling kupercaya. Dia seumuran denganku, kami baru menginjak 16 tahun. Dia hangat, dan kami lansung menjadi teman baik saat itu.
Tempat dudukku paling dekat dengan raja dan permaisuri. Itu adalah sebuah kehormatan, tapi merupakan tekanan bagiku. Aku pernah salah mengambil sendok dan guru etikaku memarahiku habis habisan.
Pernikahanku sudah berjalan 2 minggu. Masih banyak yang harus ku pelajari. Bermain piano, belajar bersolek, belajar bahasa. Dan banyak hal, ada banyak referensi buku. Raja membuatkan rak buku besar dikamarku. Beliau juga memberiku hadiah sebuah samurai dengan ukiran bunga.digagangnya. Ketika aku bosan aku akan kelapangan belakang kamarku dan berlatih pedang.
Aku tidak lagi naik kuda. Guru etikaku melarang keras untukku menunggang kuda. Tapi aku sering mencuri kesempatan, masuk kedalam hutan dan mencari ketenangan. Ada danau berwarna indah didalam sana.
Aku belum pernah bertemu Herald semenjak pernikahan kami. Dia selalu bangun pagi sebelum aku bangun dan pulang malam setelah aku tidur. Dan di istana aku sudah mati karena bosan.
"Dia tidak dirumah lagi?" Tanya Raja.
Aku mengangguk. Melanjutkan makanku dengan hati hati. "Kau sudah menjadi seorang istri. Bagaimana kau bisa membiarkan suamimu pergi. Aku yakin kau belum membahagiakannya" omel ibunda ratu. Dia yang mendidikku paling keras.
Aku menunduk dan melanjutkan makanku. Aku tidak menyukai kehidupan istana, terlalu penuh dengan aturan. Mereka dingin dan suka mencemooh. Di kalangan bangsawan wanita yang dicerita hanya harta, gaun dan perhiasan. Tidak ada ilmu ekonomi, ilmu sains ataupun penyakit. Makanya aku selalu menghindar untuk berkumpul dengan mereka.
"Puteri El" panggil permaisuri saat makan siang telah usai.
Aku meberikan hormat dengan mengembangkan rok gaunku. "Akupun dari keluarga Manov. Ayahmu adalah sepupu jauh ibuku" cerita permaisuri.
Aku tersenyum. Pantas saja Permaisuri memiliki mata kehijauan yang sama denganku. Dan wajahnya sangat mirip dengan bibi Yovia. Bedanya bibi yovia gendut sedangkan permaisuri kurus langsing.
"Tidakkah terlalu kasar jika menyuruh lelaki tidur diluar dan kita beristirahat di istana yang mewah ini" tanya permaisuri kami duduk di ruang tamu utama. Aku tidak tahu maksudnya.
"Kita adalah pendamping anakku" ujar permaisuri.
Pendamping
Siang itu permaisuri bercerita banyak. Suka dukanya menjadi puteri hingga menjadi permaisuri.
"Seorang pemimpin membutuhkan bahagia juga anakku. Biarkan pangeran membawa kebahagiaannya diistana ini" ujar Permaisuri ketika aku berpamitan kembali keistanaku.
Waktu berlalu dan aku makin kebosanan dikelas etika ini. Guru mengoceh seenaknya sendiri.
Bahagia
Apa kebahagiaan pangeran Herald?
Aku banyak berpikir tentang itu. Hari semakin malam, aku tidak bisa tidur. Aku bosan.
Angin malam memanggilku. Aku bangkit dan dengan menggunakan piama aku keluar dari istana. Aku menyuruh penjaga mengambil kuda.
Kuda putih milik pangeran. Aku menaikinya, dan berjalan pelan mengelilingi air mancur di taman istana pangeran.
Cetom cetok cetok
Suara kaki kuda.
Sembari kuda berjalan aku berpikir dengan keras. Apa kebagiaan pangeran.
Dari ujung sini aku melihat ada dua sejoli yang berjalan mendekat. Mereka berpautan, sangat mesra. Beberapa kali mereka berciuman. Makin dekat dan makin jelas.
Aku hendak melambaikan tangan. Aku kenal wanitanya, dia adalah Pilifa. Rupanya dia sudah punya pacar. Aku terkikik berniat mengguyoninya.
Dan ketika aku sadar. Ternyata lelaki itu adalah....
Herald
Pangeranku.
Aku berdiam mematung. Aku tidak tahu apa yang kurasakan, tapi hatiku ngilu seperti ada yang mengirisnya. Pemandangan apa itu?.
Aku mencoba untuk menatap mereka dengan berani. Tangan Herald berulang kali menyentuh bagian sensitiv piliva. Dan Piliva tersenyum senyum nakal.
Entah mengapa. Amarahku tersulut. Aku turun dari kuda dengan kasar. Angin membantuku berjalan lebih dekat.
Aku menampar Pilifa.
"Apa yang kau lakukan" teriak Herald."Wanita jalang. Pelacur" teriakku sembari menangis.
Praakkkkkkkk
Herald menamparku. Aku tersungkur jatuh. Tamparannya kuat mungkin dia sedang dalam kondisi mabuk.
"Aku sudah memperingatimu aku tidak suka gangguan" ujarnya sempoyongan.
Aku segera bangkit dan memukul pipi Herald. Dia pun tersungkur. Dia bangkit lagi, dan hendak membalas pukulanku. Namun seorang prajurit menghentikannya.
Tengah malam itu diadakan sidang mendadak. Aku masih menggunakan daster putih panjang dengan wajah yang berantakan.
"Apakah kau bodoh" teriak permaisuri.
"Oh" aku berani menjawab amarahku memuncak.
"Kau berani menjawab ketika kau salah" bentaknya.
"Apa? Aku salah. Herald milikku dan apakah aku bisa menerima kalau dia bersama wanita lain?" Tanyaku membentak.
Pipiku ditampar oleh raja. Baru kali ini aku melihat raja sekasar ini. "Lihatlah posisimu" ujar raja. "Kau hanya pendamping resmi." Sambungnya dan itu menyakitiku.
Kalimat itu begitu dalam. Aku seorang putri calon permaisuri dan aku hanya pendamping raja.
Ibu kau tahu keluarga kerajaan sangatlah ramah. Mereka baik denganku dan aku bahagia berada disini. Kuharap kau juga bahagia disana.
Sekian suratku, ada kelas yang harus aku ikuti. Salam terhangat dari anakmu yang sedang merindukanmu.
Princess El.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nevertheless (Complete)
Ficción histórica"Bagaimana jika kebahagiaanku adalah malapetaka bagiku?" El tidak pernah membayangkan mimpinya sedari kecil akhirnya terjadi. Takdir membawanya menjadi seorang permaisuri kerajaan Swedia yang akan dipimpin oleh seorang Raja yang berhati dingin, kej...