01.

66 12 1
                                    

Hari ini di kelas X-6 sedang berlangsung pelajaran Bu Nina, guru yang terkenal sangat jutek oleh murid-murid.
Anindya bersama ketiga temannya Childa, Ana, dan Salwa memperhatikan dengan baik apa yang di ajari oleh Bu Nina, guru Bahasa Indonesia mereka yang mengajar dari kelas X-6 sampai kelas X-12, bisa dibayangkan jika mereka tidak memperhatikan saat pelajaran Bu Nina.

"Chil, itu bacaannya apaan sih? Gajelas banget abisan tulisan Bu Nina" tanya Salwa kepada Childa yang sedang mencatat tulisan Bu Nina dari papan tulis. Childa termasuk murid terpandai dalam pelajaran Bahasa Indonesia tak heran ia selalu dimanfaatkan teman sekelasnya saat ujian Bahasa Indonesia berlangsung.

"Itu Wa, ejaan yang di sempurnakan blablabla" jawab Childa sambil menjelaskan panjang lebar kepada Salwa agar Salwa juga mengerti.

"Ah lo gimana sih Wa, tulisan segitu bagus lo masih ga bisa baca juga" saut Ana sambil meledek Salwa yang super ribet dari belakang tempat duduk Salwa dan Childa.

"Gue mah jujur Na, tulisan Bu Nina tuh gajelas. Orang lo aja ga nyatet makanya lo bilang tulisan Bu Nina bagus" Salwa menjawab dengan kesal ledekan Ana. Karena Ana memang sering sekali meledek Salwa yang super ribet dan lemot.

"Eh udah dong, masa gitu aja ribet. Nyatet aja terusin nanti kita kena semprot Bu Nina lagi. Emang kalian mau?" tutur Anin kepada mereka bertiga agar menyelesaikan perdebatan sepele itu.

Dan benar saja, Bu Nina menegur mereka berempat karena membuat kebisingan di kelas disaat yang lain sedang fokus mencatat.

"Itu kalian ngapain berempat ngerumpi aja kerjaannya? Udah ngerasa paling pintar?" kata Bu Nina sambil menunjuk ke arah mereka berempat dengan wajah penuh kekesalan.

"Sekali lagi saya liat kalian bercanda atau mengobrol, silahkan kalian keluar dan tidak usah mengikuti pelajaran ibu lagi sampai semester akhir!" lanjut Bu Nina dengan tegas membuat murid-murid X-6 tersentak dan takut.

***

Berbeda hal nya dengan kelas X-8. Hari ini adalah pelajaran Pak Hasan, guru agama khusus di kelas X-8. Pak Hasan sosok guru yang amat baik, mungkin hampir tidak pernah marah mau bagaimana pun ulah murid-muridnya.

"Assalamu'alaikum anak-anak, sebelum memulai pelajaran alangkah baiknya kita membaca do'a terlebih dahulu" perintah Pak Asep sebelum memulai pelajaran.

Murid-murid X-8 pun berdo'a secara seksama.

Setelah berdo'a Pak Hasan mulai pelajaran dengan mengabsen daftar hadir murid-murid kelas X-8. Ya benar saja, saat Pak Hasan memanggil nama Marshall Danendra Ricardo, anak itu belum muncul batang hidung nya di kelas.
Teman-teman sekelas Marshall sudah hafal dengan sifat Marshall sehingga mereka tidak heran jika Marshall belum hadir di kelas meskipun jam menunjukkan pukul 07.30 pagi.
Pak Hasan menanyakan keberadaan Marshall kepada teman sebangkunya, Asyraf.

"Asyraf, kemana kawan karibmu si Marshall?" tanya Pak Hasan dengan ciri khas logat sundanya sekaligus dengan kacamata yang dikenakannya yang hampir jatuh.

"Saya ga tau pak, mungkin macet di jalan" jawab Asyraf dengan kaku karena ia telah berbohong kepada Pak Hasan, supaya Marshall tidak dihukum Pak Hasan. Meskipun Pak Hasan tidak pernah marah kepada muridnya, namun perlakuannya menjadi berbeda ke Marshall.

15 menit kemudian, ada seseorang bertubuh tegak, tinggi, berkulit hitam manis, baju yang acak-acakan dan tidak dimasukkan sesuai peraturan sekolah, tidak memakai dasi, dan celana yang sangat kecil menyerupai legging banci perempatan sekolah.

Dan benar saja, itu Marshall. Cowok yang diidamkan cewek-cewek SMA Bumi Pertiwi karena ketampanan dan kebaikkan nya kepada cewek-cewek.

"Dari mana saja kamu Marshall? Kamu tidak melihat ada saya mengajar disini? Kamu masuk enak saja semau kamu. Salam tidak, permisi juga tidak" ocehan Pak Hasan hanya diibaratkan sebagai angin pagi yang berhembus di telinga Marshall alias masuk kuping kanan keluar kuping kiri.

NostalgiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang