Chapter 3

165 19 6
                                    

Pemandangan yang kulihat pertama kali begitu mataku terbuka adalah sekumpulan manusia yang digiring menuju lubang berukuran 2 × 4 meter. Yang diseret paksa dengan tubuh penuh luka. Yang ditarik dengan tali yang terikat di leher layaknya anjing peliharaan. Rintihan terdengar begitu menyanyat hati. Namun percuma saja. Semakin mereka berontak, semakin kejam siksaan dari pasukan berseragam.

Adegan selanjutnya mereka didorong ke dalam lubang maut itu. Gertakan terdengar menggelegar dari tempatku, disusul suara lecutan yang membuatku bergidik merasa ngilu.

Apa ini?

"Ini di mana? Dan s-siapa mereka? Mengapa mereka disiksa?"

"Tahun 1966, di Indonesia. Anggota PKI (Partai Komunis Indonesia) dan orang-orang yang diduga komunis. Kau tahu tragedi 1965-1966?" ujarnya dengan pandangan tetap lurus ke depan.

Aku hanya menggeleng kepala. Masih tak percaya jika sekarang aku berada di tahun 1966.

"Tahun 1965-1966 merupakan tahun berdarah di Indonesia. Dimana terjadi pembantaian besar-besaran terhadap orang-orang yang dituduh komunis pasca terjadinya Gerakan 30 September. Korban pembunuhan massal ini jauh lebih besar dari jumlah penduduk Hiroshima dan Nagasaki yang tewas terkena serangan bom atom Amerika Serikat (AS). Diperkirakan lebih dari setengah juta orang dibantai dan lebih dari satu juta orang dipenjara dalam peristiwa tersebut," jelasnya dengan tenang.

"Pembersihan ini merupakan peristiwa penting dalam masa transisi ke Orde Baru. Partai Komunis Indonesia (PKI) dihancurkan, pergolakan mengakibatkan jatuhnya presiden Soekarno, dan kekuasaan selanjutnya diserahkan kepada Soeharto," lanjutnya.

"Kok aku baru tahu ya sebegitu banyaknya korban pembantaian itu?"

"Iyalah. Karena pembantaian ini hampir tidak pernah disebutkan dalam buku sejarah Indonesia, dan tidak banyak mendapat perhatian dari orang-orang,"

Yang dimuat dalam buku sejarah saja tidak semua aku tahu. Apalagi yang tidak termuat, Lirihku.

"Apa?" ia menoleh padaku.

"Eum.. Enggak. Bukan apa-apa,"

Saat mataku memandang ke depan, seketika tubuhku merinding, ngilu. Perutku melilit. Ingin menjerit tetapi suaraku tertahan.

Sebilah pedang yang tajam, dengan permukaan mengilap itu berhasil memisahkan kepala dan tubuh, bukan hanya seorang tapi tiga orang. Memperlihatkan darah yang mengucur deras dari potongan itu. Aku yakin siapa saja yang melihatnya secara langsung akan histeris.

Anyir darah samar-samar tercium olehku yang berdiri sekitar 500 meter. Tanganku refleks menutup hidung. Perutku terasa melilit, mual.

Akhirnya aku menyerah, tak kuat. Berlari ke pohon yang tak jauh di belakangku.

Kukeluarkan semua yang ada di perutku. Nafasku tersengal-sengal. Keringat dingin mulai bercucuran.

Terdengar langkah kaki mendekat.

"Kau baik-baik saja?" is merangkul bahuku.

"Y.. Ya," jawabku masih dengan nafas tak beraturan.

"Aku.. Aku ingin pulang," pintaku.

"Oke. Tapi kau percaya kan aku ini Time Traveler?" Ia tersenyum miring. Menyebalkan!

Setelah beberapa detik Si Manusia Aneh itu melakukan ritualnya seperti saat ia membawaku, tibalah kami di kamarku. Ia lalu memapahku ke kasur.

"Oh iya. Siapa namamu?" tanyanya.

"Vale."

"Vale siapa?"

"Valerie," jawabku.

Kuamati ia sedikit terkejut sesaat setelah aku menjawab. Lalu buru-buru berkata,

"Oh Valerie. Eum maaf ya, sudah membuatmu seperti ini,"

"Tak apa,"

Hening beberapa saat sebelum ia memintaku menunjukkan jalan keluar. Kebetulan di kamarku ada pintu yang terhubung langsung dengan balkon. kuperingatkan bahwa jika lewat sana maka nanti harus melompat karena kamarku berada di lantai dua. Dan ia tak masalah akan hal itu.

"Tunggu!" cegahku sebelum ia keluar pintu. Aku tidak bisa mengantarnya, karena tubuhku masih lemas. Kurasa besok aku tak bisa berangkat ke sekolah.

"Siapa namamu?"

Ia tersenyum, lalu berkata,
"Eustace. Kau bisa panggil aku Yus. Kita akan bertemu lagi nanti!" lalu tubuhnya menghilang di balik pintu.

***

TIME TRAVELER : "Change the World"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang