3. Kemurahan Hati Sang Putra Mahkota

389 36 5
                                    

Halo,

Amy disini, maaf untuk keterlambatan part 3. Aku bener-bener ngerjain draft ini setengah-males-setengah-bersemangat, karena nyatanya aku belum dapet mood nulis yang buat aku cepet upload. Jadi mungkin ini agak berantakan. Part selanjut entah kapan, tapi aku usahakan secepatnya.

Enjoy :)


"Mr. Heater, walau kau murid baru, kau harus bisa menyesuaikan diri dan mencerna pelajaranku dengan baik. Untuk sekarang, aku memaklumi kelakuanmu karena ini hari pertama kau belajar di kelas, lain waktu, tidak ada menguap dan mengantuk, kau mengerti Mr. Heater?" ucap Mr. Federic penuh penekanan, seolah-olah aku memang salah besar kepadanya.

Kututup mataku sejenak dan menganguk, "aku mengerti, Sir."

"Bagus, sampai ketemu minggu depan." sosoknya yang jangkung dengan rambut tipis itu menghilang dari pandanganku, menembus murid-murid yang berlalu-lalang.

Dan ini sudah kedua kalinya aku dapat peringat di hari pertama, bahkan aku tidak lagi merasa terkejut kalau mereka punya banyak peraturan mengikat dan membuatku sesak dengan aturan-aturan itu.

Dan lagi, aku merasa ide gila kakakku telah menjerumuskanku ke dalam masalah.

Seluruh tubuhku mengirim sinyal yang sama, lelah. Satu kata itu menggambarkan keadaanku dan rambut pendekku bisa-bisa rontok karena stres dengan banyak pekerjaan rumah, belum lagi penyamaran yang membuatku kewalahan. Apa jadinya jika suatu saat nanti mereka membongkar rahasiaku, membakarku hidup-hidup di alun-alun kota karena telah berbohong sepang hidupku? Aku bergidik, jangan sampai. Berharap saja aku punya pilihan kedua, jati diriku tidak akan terungkap dan perang melawan para hitam segera berakhir, jadi selesai sudah sandiwara menyebalkan ini. Dan aku malas terus menjadi sosok yang kakakku dan ayahku inginkan.

Sepanjang lorong, aku berjalan gontai melewati pilar-pilar yang menampilkan hutan-hutan dan sinar matahari yang menyorot terang hari ini. Masih ada banyak waktu untuk pergi makan siang, dan aku perlu merapikan diriku, setidaknya aku tidak terlalu menjijikkan dengan penampilanku yang sekarang. Aku berbelok ketikungan dan masuk ke asrama salamander, pintu-pintu berjejer disana, dan aku setidaknya hafal dimana kamar asramaku.

Kukeluarkan kunci cadangan di saku tunikku, dan memutarnya di lobang kunci. Saat aku masuk dan wangi maskulin yang kutahu berasal dari bagian kamar Malyen membuatku rileks setidaknya, kututup pintu kamarku dan segera menguncinya.

Efek ramuan pembesar suara Lorein mungkin akan berakhir beberapa menit lagi, jadi aku membuka botol besar itu dan meneguknya dalam sekali tegukan. Rasa pahit bercampur aroma rempah-rempah di dalamnya membuatku ingin muntah, tapi aku tak bisa, ramuan ini terlalu berharga untuk berceceran di lantai, lagipula jika tidak ada ini, aku akan berakhir menjadi daging gosong di alun-alun.

Lalu suara berderit pintu terbuka, aku menoleh dan buru-buru menyembunyikan botol itu di bawah kasurku saat cowok yang sekarang kutahu namanya, Malyen, melangkah masuk, menatapku sekilas sebelum menghampiri lemarinya, mengambil beberapa buku tebal dari sana.

"Aku bukan monster, Heater, jadi jangan tegang." katanya, lalu buru-buru berjalan kearah pintu. "Dan tolong, jangan menatapku seperti itu." lalu suara keras pintu tertutup langsung membuat pundakku turun bersamaan dengan desahan yang keluar dari mulutku.

Entah mengapa rasanya dia tidak terlalu ramah untuk kujadikan teman, setidaknya dia cukup tidak peduli denganku hingga aku tidak perlu khawtir cowok itu mencurigaiku.

•••

Dentingan perangkat makan perak di aula makan sangat memekakakkan telinga, Ben memotong daging asapnya dan bergumam. "Jadi kau sekamar dengan Malyen Wagner?"

Warlock AcademyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang