Langit senja yang berwarna keoranyean membawa suasana tenang dalam jiwaku, di tambah kepakan burung-burung yang membentuk siluet hitam di langit terlihat seperti gambar pada lukisan. Sewaktu umurku sepuluh, Mum membawaku kesebuah galeri seni karya seniman jaman dulu, yang kebanyakan mereka lukis untuk memperindah suasana sebuah ruangan, dan sejak saat itu aku ingin sekali belajar semua tentang seni. Walau kali ini semua itu tampak seperti ingatan kecil yang pecah berkeping-keping lalu menghilang.
Di Hawthrone, aku punya keluarga kecil yang harmonis. Ayahnya yang penyayang, dan ibu yang selalu menyisir rambutku setiap malam ketika menjelang tidur disertai nyanyian lembutnya yang tidak bisa kutirukan, lalu seorang kakakku sebagai pelindung dan selalu ada disisiku yang mengajarkanku cara berkuda dan menemaniku memetik bunga di padang rumput di belakamg rumah kami, juga Lorein yang menjadi tangan kanan Dad dan teman dekat Kyle semasa kecil. Sekilas, hidupku benar-benar terdengar indah, tapi nyatanya jika sekarang aku memikirkan hal itu, semuanya tampak seperti mimpi yang susah kuraih.
Dihalaman belakang sekolah, terdapat sebuah lapangan besar yang menghadap kesebuah danau dengan hutan lebat yang terlihat gelap di makan senja. Mataku menemukan sosok Gideon yang tengah bersandar di pohon sambil mengasah pedangnya yang terlihat begitu mengkilap.
"Kau tahu? Aku benci seorang yang telat." kutatap ekspresi datarnya, "duduk."
Kujatuhkan bokongku di atas rumput setinggi mata kaki, lalu mendesah, "kupikir kau senang membuat pengecualian, Yang Mulia." setengah dari diriku berfikir kalau embel-embel yang Mulia terdengar begitu konyol. Salahkan versi lain diriku.
Pandangannya menemuiku, aku berusaha untuk tidak memutuskan kontak mata kami sampai dia menyeringai dan tertawa, "dengar Kyle, pelajaran pertamaku tidak terlalu sulit sebenarnya, hanya perlu kau dengarkan baik-baik. Aku tidak suka bertele-tele, jadi, hari ini aku hanya ingin kau fokus pada sihir dalam dirimu, tarik energi itu dari bumi, ciptakan bola sihir kecil. Dan saranku, fokuslah, sihir tidak semudah yang kuduga. Paling tidak, gunakan konsentrasimu."
Tiba-tiba diriku merengut ragu, bagaimana jika dia tahu warna sihir nyentrikku? Tapi jika keadaan benar-benar memaksa dia mungkin harus tahu. Ya Tuhan, ini tidak akan berjalan baik.
"Gideon, aku tak bisa." kupaksakan nada memohon di ucapanku.
"Kau belum mencoba apapun."
"Dengar aku—"
Gideon menyela dengan cepat, "lakukan saja." rahangnya mengeras, entah mengapa siluet ketampanannya menambah berkali-kali lipat. "Tidak ada bantahan, kau mengerti?"
•••
Kepalaku berdenyut nyeri, tenagaku di buang habis-habisan tadi. Dan kabar baiknya, sihirku tidak muncul sama sekali, dan Gideon berusaha lebih keras lagi sampai akhirnya dia kesal dan mengakhiri pelatihan itu saat jam menunjukkan pukul tujuh. Tapi kabar buruknya, masih ada lusa dan lusanya lagi untuk berlatih dengan putra mahkota menyebal yang satu itu.
Aku mendesah di kasurku, menengelamkan kepalaku dalam-dalam. Masa bodo soal tugas, sungguh, aku benar-benar merasa tidak lagi peduli.
Tubuhku terasa kaku seperti sebatang ranting yang rapuh, aku hanya ingin kembali menjadi Cheryl. Gagasan itu terdengar begitu sempurna, mungkin aku bisa pergi dari tempat ini diam-diam, menyusup dalam kegelapan malam, dan pergi berkuda sampai ke Hawthrone tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Dan esoknya, Kyle Heater---yang sebetulnya bukan benar-benar Kyle yang itu, akan menghilang selama-lamanya.
Bagus sekali kalau sampai begitu. Tapi ketika aku mengingat betapa ketatnya penjagaan sekolah ketika malam, aku mengerut di dalam selimut dan berusaha membawa pikiranku beristirahat di alam mimpi ketika---lagi-lagi, gebrakkan pintu terdengar begitu nyaring hinga nyaris membuatku meloncat dari dipan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Warlock Academy
FantezieCover by : @Alicehaibara Cheryl Heater menggantikan posisi kakaknya yang akan pergi ke Akademi. Dia masuk ke sebuah Akademi Sihir Warlock yang berisi lusinan penyihir laki-laki yang memang Akademi itu khusus anak laki-laki. Cheryl yang seorang perem...