Bissmillahirrahmannirrahim

34.5K 783 16
                                    

Aku nasehatkan kepada para bapak (kepala rumah tangga), terkait putra-putri mereka, bertakwalah kepada Allah dalam mengurusi mereka. Karena ketika bapak mampu menikahkan putrinya maka dia wajib menikahkannya, sebagaimana dia wajib memberi pakaian, memberi makan, minum, tempat tinggal kepadanya, dia juga wajib menikahkannya. (Al-Liqa As-Syahri, volume 28, no. 2)

~°~


Kulangkahkan kaki memasuki gerbang rumahku, setelah lelah seharian bekerja di mini market.
"Assalamu'alaikum." Salam kuucapkan ketika aku mulai memasuki rumah.

"Wa'alaikumussalam," terdengar jawaban dari dalam. Itu suara ibuku.

"Sudah pulang, Ndo?" tanya Ibu, ketika aku akan memasuki kamarku.

"Iya, Bu. Bapak kemana, Bu? Tumben sepi?" tanyaku, karena mendapati rumah ini sepi. Biasanya kalau jam segini bapak masih duduk-duduk di teras rumah.

"Oh, Bapak lagi ke rumah temannya dulu, waktu masih mengajar. Katanya sekalian silaturahmi, ke tempatnya Pak Aji." Ibu duduk di tepi ranjangku.

Aku hanya mengangguk mendengar jawaban Ibu, "Karin mandi dulu yah, Bu." Aku meraih handuk yang ada di gantungan sebelah pintu kamar mandi.

"Ya sudah, Ibu juga mau ke dapur. Mau nyiapin teh buat Bapak kalau nanti pulang." Ibu beranjak bangun dari duduknya, melangkah pergi meninggalkan kamarku.

Aku segera memasuki kamar mandi untuk segera membersihkan tubuhku yang berpeluh dengan keringat.

~°~

Dua puluh menit kemudian, aku selesai mandi dan sudah rapi. Aku bergegas keluar dari kamar, duduk di ruang tengah menyalakan televisi mencari tayangan yang bagus.
"Rin! Adikmu belum pulang?" tanya ibu dari dapur, karena mungkin ibu mendengarku menyalakan televisi.
"Belum, Bu. Mungkin sebentar lagi. Ini masih jam empat." Aku masih mengganti tayangan televisi sembari menjawab pertanyaan Ibu.

"Assalamu'alaikum," terdengar salam dari luar. Yang aku tahu itu suara Bapak.

"Wa'alaikumussalam," jawabku, masih menatap layar televisi.

"Kamu sudah pulang, Ndo?" tanya Bapak ketika beliau sudah berdiri di sampingku. Kini Bapak beranjak duduk di sofa sebelahku. Aku segera bergeser memberi tempat duduk untuk Bapak.
"Sudah, Pak. Bapak dari mana?"

"Dari rumahnya Pak Aji. Ada syukuran, anaknya pulang dari Yaman."

"Oh." Aku hanya mengangguk, masih menatap layar televisi. Setahuku, anaknya Pak Aji yang masih belajar di Yaman adalah Bang Yuda. Kakak kelasku dulu di Madrasah. Hebat juga kalau dia sampai lulus belajar dari Yaman. Bapak juga akrab dengan Pak Aji, bapaknya Bang Yuda dari dulu.

"Kamu kenal Nak Yuda kan, Ndo?" tanya Bapak.
"Kenal, Pak. Tapi dulu, waktu Karin masih di Madrasah. Karin juga sudah lupa, Bang Yuda sekarang seperti apa," sahutku santai, masih menatap layar televisi.

Bapak meraih remote televisi yang tergeletak di atas meja, dan tiba-tiba mematikannya. Aku menoleh ke arah Bapak.

Bapak menatapku serius, "Ndo, dengerin Bapak. Bapak mau ngomong serius sama kamu."

Aku menatap Bapak dengan tatapan bingung.
"Ada apa sih, Pak? Tumben banget Bapak mau ngomong serius sama Karin?" tanyaku bingung.
"Gini loh, Ndo. Kamu mau tidak Bapak jodohkan dengan Nak Yuda?"

Maharku Surah Ar-Rahman (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang