Prolog

22 1 0
                                    

Pukul 15.00, jam sekolah telah usai. Awan hitam tebal menggantung di langit. Menyiapkan tetesan-tetesan air langit yang akan turun. Angin semakin keras berhembus.

Gadis itu menatap langit sembari mengeluarkan sepedanya dari parkiran sekolah. Ia segera mengayuh sepeda hitamnya. Takut air langit akan turun semakin deras sebelum ia sampai rumah.

Semakin jauh dari pagar sekolah, semakin keras ia mengayuh. Satu butir air telah turun membasahi seragam putihnya. Sepedanya melaju di gang kecil, jalan menuju rumahnya ketika hujan semakin deras menerjangnya.

Ia segera menarik rem sepedanya. Di sebuah pagar kelabu. Ia telah sampai. Baju yang dipakainya telah basah kuyup. ia mendekati pagar dan mencoba memebukanya. Terkunci.

Dimana semua orang. Pikirnya kesal. Tubuhnya menggigil. Tas, baju, rambut semuanya basah.

"Ayah! Ibu!" panggilnya. Hening. Tidak ada jawaban seperti yang ia harapkan. Ia terduduk di depan pagar rumahnya. Membiarkan cipratan lumpur mengotori seragamnya. Semakin ia menunggu semakin lelah dan pikirannya semakin kacau.

Ia bangkit dari duduknya. Menggapai sepeda di sampingnya dan mulai mengayuhnya tanpa arah. Menikmati setiap tetes air hujan yang menerpa wajahnya. Setiap tetes air yang yang mengalir di lekukan wajahnya, menghapus rasa kesal dihatinya.

Dari kawasan padat penduduk hingga rumah-rumah yang dilewatinya semakin jarang. Ia tetap mengayuh sepedanya tanpa tujuan kemanapun. Hingga sepeda melaju diantara sawah yang membentang luas dari ujung ke ujung. Tapi hujan tidak kunjung berhenti. Ia menepis rasa dingin dan terus mengayuh.

Di ujung jalan orang-orang berkerumun. Mobil ambulan di tepi jalan dengan sirine yang mesih berdengung-dengung. Gadis itu segera mendekati kerumunan itu. Dadanya mulai berdentum-dentum keras. Firasatnya semakin tidak enak.

Sebuah mobil yang sudah ringsek. Mobil itu mobil yang sama dengan mobil yang selalu berada di garasi. Dadanya semakin sesak kala melihat plat nomer yang sudah remuk tetapi masih bisa terbaca. Plat nomer yang sama yang selalu tersemat di mobil orangtuanya.

Darah berceceran dimana-mana. Ia melihat ke dalam ambulan. Dua mayat tergeletak dengan bersimbah darah. Kedua mukanya sudah tidak jelas lagi. Tapi ia tau betul mereka siapa.

"Ayah...Ibu.."

Kota di Bawah PayungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang