E-13

4.9K 474 13
                                    

"Hey, jangan lari dariku! Aku akan mengejarmu walau keujung dunia sekalipun!" Teriak laki-laki itu dan mulai mengejar perempuan yang berlari menjauh dari dirinya seraya tertawa dengan bunga Lotus hitam ditangannya.

"Bagaimana jika aku masuk kedalam lumpur menjijikan? Apa kau akan tetap mengejarku?!" Teriak gadis itu membalas ucapan laki-laki yang mengejarnya. Mereka terus tertawa bersama seraya berlari-larian, menunjukan pada dunia betapa bahagianya mereka saat ini.

Tiba-tiba tanah bergetar halus, burung-burung berterbangan dari dalam hutan dengan panik. Hewan-hewan berlarian keluar dari dalam hutan. Suara gemuruh terdengar dan semuanya tampak mendekat. Seketika tawa sang gadis mereda, hilang begitu saja. Ia diam ditempat sampai laki-laki bernama Qing itu menarik tangannya berlari menjauh dari padang bunga dekat hutan itu. Mereka berdua berlari dengan cepat menuju Istana dimana mereka tinggal. Semua orang langsung panik dan para pasukan petarung mulai siap melawan apapun yang datang.

Qing mengambil pedangnya sedangkan gadis tadi yang tak lain adalah Zeeli, mengambil panahnya. Para Orc datang dari arah depan, penyihir-penyihir hitam berterbangan dengan sapu terbangnya dan jubah hitam. Rambut mereka yang berwarna abu-abu dan putih, menambah suasana menjadi lebih buruk.

Pejuang-pejuang Evergenity dan makhluk lainnya mulai berlari dan menyerang. Begitu juga dengan Qing dan Zeeli. Berselang waktu yang cukup lama, gadis itu berteriak dan berlari kearah Qing, mencoba melindungi bagian belakang tubuh laki-laki itu. Alhasil, sebuah pedang milik salahsatu Orc, menghunus jantungnya.

"Zee!!" Teriak Qing dan menopang tubuh Zeeli. Ia menghunuskan pedangnya pada seorang Orc yang tadi menusuk Zeeli.

Qing memangku kepala Zeeli. "Zee, bertahanlah. Kau pasti bisa." Kata Qing menenangkan Zeeli yang mulai kesulitan bernafas. Cairan hangat mulai mengalir membasahi pakaian dan rumput dibawahnya.

"Aku mencintaimu Qing."

"Zee!" Qing terbangun dari tidurnya. Nafasnya terengah-engah. Hanya mimpi. Namun mimpi itu adalah gambaran masalalunya menjelang kematian Zeeli.

Ia bangkit dari kasurnya menuju jendela di sudut kamarnya. Ia menyibak tirai dan membuka jendela kaca dengan bingkai kayu itu. Angin malam langsung menerpa wajahnya, membuat rambutnya bergoyang-goyang. Langit malam yang kelam mengingatkannya pada gadis itu, cinta pertamanya. Seorang gadis pertama yang mampu meluluhkannya.

Bintang tak menampakkan wujudnya, langit seakan kosong seperti layar hitam. Cahaya Bulan berwarna perak yang menerangi malam itu, membuat semuanya tampak jelas dimalam hari. Suara pintu kamar Qing yang terbuat dari kayu berderit halus saat seseorang membukanya. Qing menoleh sedikit dan mendapati gadis berambut pirang masuk kekamarnya dengan keadaan agak kacau. Piyamanya kusut, rambutnya berantakan, dan wajahnya juga kelihatan sangat kelelahan. Gadis itu menutup pintu dibelakangnya dan berjalan mendekati Qing yang tetap diam walau sudah mengetahui kehadirannya. "Qing...aku bermimpi buruk. Aku takut.." suara serak Vea membuat Qing menatapnya, setelahnya mengacuhkannya lagi, tetap bersikap dingin seperti biasa.

"Mandirilah, kau inikan Putri. Jangan manja seperti itu." Jawab Qing dan pergi menjauh dari Vea. Suasana hati Qing juga sedang tidak enak karena mimpi tadi. Entah mengapa menurut Vea kalimat yang diucapkan Qing itu kasar. "Kau ini kenapa? Aku hanya ingin kau..menemaniku." kata Vea memelankan suaranya diakhir kalimat.

"Aku juga bermimpi buruk Vea, suasana hatiku sedang tidak enak. Pergilah kekamarmu dan jangan ganggu aku." Qing kembali berbaring dikasurnya. Ia sedang tidak ingin diganggu, tapi menurut Vea ucapannya atau bisa dibilang usirannya itu menyakitkan.

••

Ada apa dengan dia? Menyebalkan sekali. Aku hanya ingin dia menemaniku sebentar saja karena barusan aku bermimpi tentang dia yang dipenggal seorang Orc. "Jika kau ingin tahu, sebenarnya aku memimpikanmu yang mati dipenggal Orc. Aku kesini hanya ingin memastikan kalau kau baik-baik saja, dan ingin kau menemaniku sebentar. Tapi sepertinya aku mengganggumu, dan aku akan pergi untuk tidak mengganggumu lagi." Aku tidak peduli jika akhir kalimatku menunjukkan bahwa aku kesal. Aku pergi dengan kecewa dan kembali kekamarku. Aku duduk dikasur dan menghadap ke cermin besar dipojok ruangan. Aku terdiam menatap bayanganku, penampilanku benar-benar kacau.

Tunggu dulu, ada yang salah dengan bayanganku. Aku tidak tersenyum, tapi mengapa bayanganku dicermin menunjukkan kalau aku sedang menyeringai?

Ini salah. Aku tidak melakukan hal itu.

Tiba-tiba bayanganku tertawa dan aku langsung tersentak mundur menjauh dari cermin itu. "Hallo Vea? Kau takut padaku? Kemarilah sayang." Bayanganku itu berubah menjadi seorang gadis dengan gaun hitamnya, wajahnya terdapat luka cakaran dipipi kanannya, keningnya terdapat tato yang rumit. Rambutnya digulung keatas. Orang itu kembali tertawa dan keluar dari dalam cermin. Aku takut bukan main, ini fenomena teraneh dan ter-menakutkan sepanjang sejarah hidupku.

"Si-siapa kau? Pe-pergi!" Usirku, ia justru tertawa lebih kencang. Ia mendekat kearahku dan aku terus mundur. Sampai aku turun dari kasur.

Sial! Punggungku sudah menempel ditembok. Apa yang harus kulakukan? Aku ingin berteriak tapi rasanya pita suaraku hilang. Ia berhenti dan menyeringai jahat. Menampakkan tangannya dan kuku-kukunya yang tadi tertutupi tubuhnya. Aku tambah menegang saat ia menampakkan kuku-kukunya yang sangat panjang dan hitam. Terlihat tajam dan mengerikan.

"Bersiaplah Tuan Putri."

"Bersiap untuk apa? Da-dan siapa kau?!"

"Mati?" Jawabnya. "Dan aku adalah salahsatu penyihir hitam yang diutus Ratu kami untuk membunuhmu." Lanjutnya dan tertawa. Ia mengangkat tangannya, mengacungkan jari-jarinya yang runcing. Lalu berlari kearahku.

Aku ingin menghindar tapi ia sangat cepat, kecepatannya bagai cahaya atau Phoenix. Kuku-kukunya menancap di lengan kanan dan kiriku. Aku berteriak tertahan dan air mataku jatuh. Spontan aku merasakan perih dan nyeri yang luar biasa, apalagi saat ia tambah menekankan kuku-kukunya, seolah jaringan-jaringan di kulitku dirobek paksa dengan paku-paku beton.

Ia mencabutnya dan menusuk bahuku. Aku mengerang dan berusaha mendorongnya hingga ia menjauh dari diriku. Kepalaku berdenyut, cairan hangat mulai mengalir melewati bagian tubuhku lainnya. Aku mengerang, air mata kembali jatuh dari pelupuk mataku. Ini sakit sekali, aku tidak bohong.

Perempuan itu kembali berlari kearahku dan menusuk dada atas sebelah kanan. Aku berteriak lagi. Kini suaraku terdengar lebih keras. Tapi apa orang-orang di Istana ini ada yang mendengarku? Kamarku lumayan jauh dari jangkauan orang-orang, dan penjaga kamarku sudah kuusir dari depan pintu kamar karena menurutku ini adalah tempat privasi yang tak perlu di jaga, tapi aku menyesal melakukan hal itu. Sepertinya aku memang akan mati.

"Aarrghh!" Aku mengerang saat ia mencabut kukunya dan menjauh dariku. Aku jatuh berlutut dilantai, merasakan sakit luar biasa yang menjalar kemana-mana. Piyama polosku berubah warna menjadi merah setelah darah membasahinya.

Perempuan itu menjilati jarinya yang berlumuran darahku. Ugh sialan, itu menjijikan. Aku memegang dada atas kananku dengan kencang, berharap bisa menghentikan aliran darah yang terus keluar dari sana. "Aku tak menyangka, ternyata membunuh 'yang terpilih' semudah ini." Katanya dengan angkuh.

Ya Tuhan, tolong aku.

Pandanganku agak buram karena air mata. Samar-samar terlihat perempuan itu tersenyum miring menatapku yang mulai ambruk. "Aku tak sabar ingin menghabisimu. Matilah kau!" Teriaknya dan berlari kearahku, sedangkan aku hanya pasrah.

Kukunya menusuk perutku. Lalu dicabut lagi dan menusuk punggungku. Aku jatuh tengkurab dan samar-samar kudengar pintu di dobrak. Aku juga melihat sebuah kaki berlari kearah kami. Setelah itu aku tak melihat apapun dan mendengar apapun lagi.




•••

By Rainytale
Minggu, 8 Mei 2016

EvergenityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang