Bagian 2

551 19 2
                                    

Terimakasih yang sudah polbek, terimakasih yang sudah berkenan baca, terimakasih pula yang sudah vote.. terimakasih banyaakkkk *peluk satu2*  ;D

**********  **********  **********  **********  **********  **********  **********  **********  **********  *******

POV Third Person

“Apa kau sudah menanyakan hal ini kepada Dokter? Apakah wajar dia mengalami muntah seperti itu, sementara,” tanya Ira kepada Damar tanpa mampu meneruskan kalimatnya, saat merasa yakin Aileen sudah tertidur karena pengaruh obat yang diberikan suster.

“Sudah Mah, dan Dokter mengatakan ini hal yang wajar, tubuhnya masih beradaptasi, kemungkinan besar dia masih akan merasakan hal ini selama beberapa hari ke depan karena pengobatan yang sedang dilakukannya,” potong Damar tanpa melepaskan pandangan sayangnya ke arah Aileen, istrinya, yang sedang tertidur pulas tanpa bisa mengingat apapun sebelum kecelakaan itu.

“Apa kau tidak perlu ke kantor? Kau sudah hampir 2 minggu meninggalkan kantor, pergilah jika memang kau harus pergi, biar Mamah yang menjaganya sementara kau pergi,” saran Ira kepada menantunya yang tak pernah mau meninggalkan anaknya, bukannya dia tidak senang, tetapi dia tidak mau melihat usaha yang sudah dirintis dari nol oleh keluarga menantunya harus hancur karena kecelakaan yang menimpa anaknya.

“Mamah tidak usah cemas, aku sudah mengurus semuanya,” jelas Damar sambil tersenyum, dia mengerti kecemasan Ibu Mertuanya, dia paham betul bagaimana keluarga istrinya, mereka selalu memikirkan orang lain terlebih dahulu, terkecuali 1 orang itu.

**********

Aileen POV

 “Ny.Aileen Maheswari Daniswara,” aku menoleh mendengar namaku dipanggil, “Bagaimana keadaan Anda hari ini?” tanya Dr. Dyah ramah sambil tersenyum simpul, yang masuk ke dalam kamarku diikuti suster ketika Damar membantuku merapikan rambutku.

 “Baik, Dok,” jawabku.

 “Sudah pasti, karena kau dirawat oleh orang yang sangat menyangi Anda,” ujar Dr. Dyah sambil melirik ke arah Damar, dan aku tahu arti lirikan itu, Damar memang sangat telaten merawatku, aku tidak meragukannya dan tiba-tiba saja aku merasa pipiku merona merah.

 “Baiklah, baiklah, aku tidak akan menggodamu lagi, bisakah kau tinggalkan kami, Tn.Damar?” pinta Dokter dan tak lama Damar meninggalkanku setelah mencium keningku.

 “Suamimu itu benar-benar sosok suami sempurna, kau beruntung sekali Ny. Aileen,” goda Dokter Dyah, jika saja Dokter Dyah belum berumur, aku yakin dia pasti akan bertingkah seperti kebanyakan suster-suster muda yang merawatku, aku tidak menyalahkan mereka, Damar memang sangat tampan, dan aku hanya bisa tersenyum, “Baiklah, kita akan melihat perkembanganmu, apa kau masih suka merasakan sakit di kepalamu?” tanya Dokter sambil memperhatikan rekam medisku.

 “Um, sudah tidak terlalu sakit, tetapi masih sedikit terasa ketika sekelebat bayangan itu datang, terutama ketika terbangun karena mimpi yang terasa sangat nyata” jawabku sambil meringis membayangkan rasa sakitnya.

 “Dan apakah itu sering?” tanya Dokter Dyah sambil mengamati perubahan reaksiku.

 “Mimpi itu masih terus datang, Dok, tetapi kalau sekelebat bayangan tidak terlalu sering.”

 “Mimpi itu apa masih dengan wanita yang sama?” tanya Dokter Dyah penuh selidik.

 “Ya, selalu dengan wanita yang sama, pagi ini aku memimpikan wanita itu dengan pakaian SMAnya melarangku keluar kamar, dia takut aku mengganggu acara dengan teman-temanya, sedangkan aku masih memakai seragam SMPku, dan matanya selalu menyorotkan kebencian terhadapku. Aneh bukan? Dia sudah SMA sedangkan aku masih SMP,” Jelasku sambil mengernyit tak mengerti dan menoleh ke arah Dr.Dyah yang masih antusias memperhatikanku.

“Lalu kemarin siang aku bermimpi wanita itu menyuruhku untuk tetap bermain piano di ruang tengah dan melarangku bermain bersama dia dan teman-temannya di lantai atas, saat itulah pertama kalinya aku bertemu dengan Damar, setidaknya itu yang aku rasakan ketika mimpi itu datang,” lanjutku sambil mengingat kembali mimpiku.

“Jangan terlalu dipaksakan, ingatanmu pasti akan kembali jika waktunya telah tiba, untuk saat ini kita masih harus melakukan pemulihan terhadap luka-lukamu, dan jika perkembanganmu semakin membaik, beberapa hari ke depan kita akan memulai terapi kita,” jelas Dokter Dyah menutup pemeriksaannya pagi ini, tak lama aku melihat Damar masuk didampingi oleh sepasang suami istri paruh baya dan mereka tersenyum padaku. Oh, aku ingat, mereka Ayah dan Ibu Mertuaku.

“Hai, Sayang, bagaimana kabarmu?” sapa Ibu Mertuaku lembut sambil mengecup keningku, sedangkan Ayah Mertuaku tersenyum ramah tak jauh dari Damar berdiri.

“Baik,” jawabku ragu-ragu harus memanggilnya apa, aku lupa.

“Mom, kau biasa memanggilku dengan sebutan Mom seperti Damar, dan lelaki di samping suamimu adalah Suamiku, kau biasa memanggilnya Dad,” jelas Ibu Mertuaku sabar. Sekarang aku paham darimana ketampanan Damar itu berasal, karena Ayah dan Ibunya terlihat sempurna walaupun berada di usia senja mereka. Oh, konyol sekali, aku pasti sudah mengetahuinya dulu.

“Aku ke ruangan Dokter dulu sayang, sementara kau ditemani oleh Mom dan Dad,” pamit Damar setelah mencium keningku. Terkadang aku merasa mereka terlalu berlebihan memperlakukanku, hei, aku hanya lupa ingatan sementara -ku harap- bukan penderita kanker yang sudah di vonis meninggal oleh Dokter, aku menggelengkan kepalaku.

**********

POV Third Person

"Jadi, wanita yang muncul di mimpi Ny. Aileen itu ada?” tanya Dr. Dyah saat Damar berada di ruangannya sesuai permintaan Dr. Dyah.

“Benar, Dok. Lalu apa yang harus kami lakukan selanjutnya?” jawab Damar gusar.

“Sebaiknya kita mulai memperkenalkan wanita itu kepada Ny.Aileen. Karena jika menurut Tn.Damar dia adalah orang yang terakhir terlihat bersamanya sebelum kecelakaan itu, dia bisa merangsang ingatannya kembali, ditambah lagi wanita ini selalu muncul dalam mimpi Ny.Aileen,” jelas Dr. Dyah yakin

“Baiklah, akan saya bicarakan kembali kepada keluarga saya, terimakasih penjelasannya Dok,” tak lama Damar meninggalkan ruangan Dr. Dyah dan langsung menuju kamar perawatan Aileen dengan hati gamang. “Apakah dia mau? Benarkah keputusan yang ku ambil ini?” tanya Damar dalam hati.

**********

  “Apa Dokter mengatakan seperti itu, Adit?” tanya Fani Daniswara cemas, Ibu Damar, saat Aileen sedang menjalani pemeriksaan CT-Scan, mereka terpaksa melakukan rapat keluarga dadakan hari ini.

 “Iya, Mom. Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang?” Damar tak kalah cemas memikirkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi.

 “Jika memang ini demi kesembuhan Aileen, saya akan berusaha keras membujuknya,” putus Ira Wardhana yakin.

 “Ya, jika memang ini satu-satunya jalan, saya setuju,” dukung Putera Wardhana, Ayah Aileen.

 “Semua pasti akan baik-baik saja, Adit, kau tidak usah cemas,” ujar Sandhy Daniswara, Ayah Damar, menenangkan Damar sambil memegang bahu anaknya.

**********

Serpihan WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang