Bagian 3

558 21 3
                                    

"Kau sudah siap?" tanya Damar sambil menggenggam erat tanganku.

"Ya, aku siap," jawabku mantap, hari ini aku akan dipertemukan dengan seseorang yang selalu muncul di mimpiku, melakukan terapi pertamaku setelah hasil pemeriksaanku menunjukkan perkembangan yang positif.

Aku juga sudah mulai bisa mengingat beberapa hal, perkembangan yang sangat bagus menurut Dr. Dyah, hingga akhirnya diputuskan bahwa hari ini aku akan menemui seseorang yang kemungkinan besar bisa menjadi kunci ingatanku kembali.

Tak lama pintu terbuka dan aku melihat seorang wanita tinggi semampai, berambut cokelat panjang sebahu, dengan wajah yang sangat mirip denganku, membuatku terkesiap sejenak, Damar yang menyadari perubahan sikapku langsung memeluk lenganku, sementara tangannya yang satunya semakin erat menggenggam tanganku.

Kami sangat mirip, terlampau mirip, dan seketika itu juga sekelebat ingatan datang, menari-nari dengan tak wajarnya di hadapanku. Bagaimana dulunya kami bersikap layaknya sepasang anak kembar yang tak terpisahkan, kami selalu berada di kelas yang sama, mempunyai beragam benda yang sama, memiliki teman yang sama, kebiasaan-kebiasaan yang sama, tak pernah ada rahasia di antara kami, hanya 1 hal yang membedakan kami, aku tidak pernah bisa bermain seperti dirinya, tubuhku ringkih, aku tidak bisa terlalu lama berada di paparan sinar matahari, aku berpenyakitan sedangkan dia sehat.

Semua tiba-tiba berubah saat dia mengikuti kelas akselerasi di waktu SMP dan langsung masuk SMA sedangkan aku masih berada di SMP tanpa memberitahukanku sebelumnya. Aku marah, pasti, karena aku merasa di khianati, tetapi aku tidak pernah memusuhinya, aku selalu mendukungnya jika memang itu yang diinginkannya. Sejak saat itu dia tidak pernah menganggapku saudara kembarnya lagi, dia selalu memandang penuh kebencian kepadaku, dan melarangku mendekatinya apapun alasannya.

"Aku benci kamu!! Aku capek selalu menjagamu, kau beban bagiku!! Mamah dan Papah jahat!! Mereka membedakan kita, padahal jelas-jelas kita ini saudara kembar, tetapi mereka lebih menyayangimu dibanding aku!! Aku tidak pernah mengharapkan seorang adik yang lemah sepertimu!! Lebih baik kau tidak usah lahir sekalian!! Aku ini Kakak kembarmu, bukan pengasuhmu!! Mulai sekarang kau jaga dirimu sendiri!!" teriaknya kembali terngiang di kepalaku dan membuat kepalaku sangat nyeri, aku meringis dan dengan segera Damar memanggil Dr. Dyah yang berdiri tak jauh darinya, dan kemudian semuanya gelap.

**********

POV Third Person

"Tidak apa-apa, ini reaksi yang normal, dia akan siuman tak lama lagi," jelas Dr. Dyah setelah selesai memeriksa Aileen yang pingsan begitu melihat saudara kembarnya, Anindhita Maheswari.

"Apakah kita terlalu memaksanya?" tanya Damar cemas tanpa mengalihkan pandangannya dari Aileen, mengelus tangannya dengan sayang.

"Saya paham perasaan Anda, tetapi berdasarkan pengalaman terhadap kasus serupa, keberanian pasien sangat dibutuhkan jika dia benar-benar menginginkan ingatannya kembali, karena terkadang, pasien takut jika dia diingatkan kembali pada kenangan yang tidak ingin dia ingat. Ny. Aileen mempunyai keberanian itu, saya yakin ingatannya akan kembali," jelas Dr. Dyah.

**********

Aileen POV

"Kau, pergi dariku!! Menjauh dariku!! Aku benci kamu, aku tidak mau melihatmu lagi!!" teriaknya dan mulai melempar barang penuh emosi.

"Maafkan aku, Kak," pintaku

"Berhenti memanggilku Kakak, aku bukan kakakmu atau aku akan menamparmu!!" ancamnya dan aku langsung terbangun, tersadar bahwa itu semua mimpi, menyadari bahwa tadi aku sempat pingsan setelah bertemu dengan Kak Dhita.

"Kau sudah sadar, sayang?" tanya Damar khawatir.

"Mana Kakak?" tanyaku begitu mendapati kami hanya tinggal berdua dan hari sudah menjelang malam.

"Mereka semua sudah pulang," jawab Damar sambil mencium buku-buku tanganku.

"Damar, mengapa kau memilihku dan bukan memilih Kakak?" pertanyaanku membuat Damar langsung menegang, dan menatapku tanpa berkedip.

"Apa kau sudah ingat semuanya?" tanyanya senang.

"Tidak, aku belum mengingat semuanya, tetapi aku ingat kau selalu bersama Kakak, dan kakak selalu menatapmu dengan tatapan sayang, aku tahu, kakak sangat mencintaimu, tetapi kenapa kau memilihku? Aku lemah, tubuhku ringkih, tetapi Kakak sehat, dia mampu menemanimu dalam setiap kegiatanmu," jelasku sambil memperhatikan raut wajah Damar, dia terlihat tidak senang,

"Aku memilihmu, karena hatiku yang memilihmu. Kalian memang memiliki wajah yang sama, tetapi hanya kamu yang mampu memiliki hatiku, hanya kamu yang dipilih oleh hatiku, dan aku sudah pernah menjelaskan semua ini kepadamu. Aku selalu senang jika Dhita mengajakku ke rumahnya, karena itu berarti aku bisa bertemu denganmu walaupun hanya bisa memandangimu dari taman saat kau bermain piano, aku selalu mencuri-curi pandang terhadapmu ketika aku melewatimu yang sedang asyik bermain sendiri di kamar tanpa menghiraukan keberadaan kami."

Damar menghela nafas frustasi dan melanjutkan, "Hanya kamu yang mampu membuat hatiku berdegup kencang ketika kita berdekatan, hanya kamu yang bisa membuat duniaku jungkir balik tak karuan, hanya kamu, Aileen Maheswari," jelasnya mantap tanpa mengalihkan tatapannya terhadapku membuatku tak mampu merespon apapun, aku seperti melayang.

"Sekarang sebaiknya kau tidur, besok kau sudah boleh pulang, kita akan pulang ke rumah, dan jangan berpikir macam-macam," perintahnya sambil mengelus keningku yang berkerut, "1 hal yang harus kau yakini, kau adalah Aileen Maheswari Daniswara, istri sah Damar Damar Daniswara, tak peduli akan terjadi apa esok hari, yang jelas kau adalah istriku, milikku," lanjutnya sambil mencium keningku dan memelukku.

**********

"Lakukan rutinitas seperti biasa, jangan memaksakan otak Anda bekerja terlalu keras, jika kepala terasa nyeri, sebaiknya Anda langsung memeriksakan diri, 1 minggu lagi kita akan bertemu dan melihat perkembangan Anda," pesan Dr. Dyah sesaat sebelum aku meninggalkan rumah sakit. Seluruh keluarga datang, kecuali Kak Dhita, dan tanpa diberitahu pun aku tahu, dia tidak akan mau datang.

Kami berjalan beriringan menuju lobby, ketika melihat mobil sedan mewah hitam terparkir di depan lobby rumah sakit, seketika sekelebat bayangan itu datang lagi, aku melihat diriku berada di belakang kemudi, panik karena mendapati mobilku di dorong dari belakang, dan sebelum aku menyadari apa yang terjadi tubuhku sudah terpelanting ke luar, dan semuanya menjadi gelap.

"Sayang, kau baik-baik saja?" tanya Damar menghilangkan bayangan, setengah memelukku dia mencoba menahan berat badanku karena tiba-tiba kakiku terasa lemas.

"Tidak apa-apa, maafkan aku," jawabku untuk menenangkan diriku sendiri dibanding Damar.

"Apa kau menginginkan kita menaiki mobil yang lain?" tanya Damar menyadari keenggananku memasuki mobil itu.

"Apakah boleh? Aku tidak ingin masuk ke mobil itu," pintaku.

"Tak apa, itu memang bukan mobil kita, mobil kita ada di belakang mobil itu," jelas Damar tanpa bermaksud menertawaiku yang salah melihat mobil, ketika aku melihat ke arah yang dimaksud Damar, aku melihat mobil sport modif keluaran terbaru terparkir rapih. Dan setelah berpamitan dengan seluruh keluarga, kami masuk ke dalam mobil.

"Apakah mobil seperti itu yang aku bawa ketika kecelakaan?" tanyaku setelah kami meluncur menjauh dari rumah sakit, Damar menggenggam tanganku erat mencoba menguatkanku dan mengangguk.

**********

Serpihan WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang