"Naiklah, aku akan segera menyusul." setelah mengucapkan kalimat tersebut Reno bahkan tidak perlu menunggu lama hingga Ella maupun Jingga membuka pintu mobil dan beranjak pergi.
Setelah yakin Jingga sudah benar-benar keluar, Reno menahan lengan Ella yang masih berada dikursi penumpang tepat disebelah pria itu.
"Ada apa?" singkat, padat, dan tanpa ekspresi. Reno yakin dirinya sudah sangat menyakiti hati gadis itu namun ia tidak yakin bagaimana cara memperbaikinya.
"Setelah acara usai, ada sesuatu yang ingin kukatakan." Ella hanya diam, menatap Reno sekilas sebelum menarik lengannya paksa dan benar-benar pergi dari hadapan pria itu.
Jingga bisa merasakan aura membunuh dari sisi sebelah kanannya, Ella terlihat sangat mengerikan saat ini. Sejujurnya ia masih tidak percaya bahwa gadis mungil disebelahnya itu benar-benar berbeda dari waktu mereka masih sama-sama berada di sekolah menegah. Entah apa saja yang sudah dilalui gadis itu namun keceriaan juga ikut musnah dari dalam diri Ella sama seperti yang terjadi pada kakak kesayangannya itu setelah kecelakaan lima tahun lalu.
Suara tembakan terdengar tidak jauh dari tempat mereka berpijak. Namun belum sempat Jingga mencerna apa yang telah terjadi, Ella sudah menghilang dari sisinya. Gadis itu berbalik arah dan mulai berlari menyusul Ella yang sudah lebih dulu mendatangi sumber suara.
Ella terus berlari tanpa peduli suara teriakan Jingga yang menyuruh gadis itu berhenti atau setidaknya memperlambat langkah kakinya.
Dari kejauhan Ella sudah bisa melihat Reno yang sedang berhadapan dengan seseorang yang mulai jatuh berlutut dihadapan Reno namun tidak lama kemudian terdengar suara tembakan kedua yang berasal dari pria itu.
Seketika itu juga langkah Ella terhenti, begitu pula dengan Jingga yang kini sudah berdiri disamping Ella sepenuhnya belum sadar apa yang terjadi dengan sang kakak. Kedua gadis itu kini melihat pria yang sama-sama mereka cintai itu tersenyum kearah mereka -mungkin lebih tepatnya meringis menahan sakit- sebelum mendorong tubuh penembaknya hingga jatuh tanpa ada perlawanan. Tanpa sadar Ella pun sudah luruh ke lantai, lemas dan tanpa daya. Tidak ada suara yang terucap.
Siapapun bisa melihat bahwa bidikan Reno lebih akurat daripada si penembak bila dilihat dari kondisi keduanya, dimana si penembak kini sudah benar-benar meregang nyawa sementara Reno masih bisa berdiri tegak.
Air mata Ella tidak berhenti menetes, pandangannya mulai kosong saat melihat Reno mengumam sesuatu.
"Maaf." satu kata, banyak makna, terucap dari mulut pria itu sebelum Reno menutup mata dan menyusul si penembak yang tergeletak begitu saja dijalanan."Tidak!" jeritan Ella pun menggema dipelataran parkir tersebut, Jingga bahkan tidak bisa menahan Ella yang kini mulai bangkit dari tempatnya dan berjalan gontai mendekati Reno, pria yang sangat dicintainya meskipun tidak pernah ada kata yang terucap.
Ella tidak mendengar Jingga yang mulai berteriak memanggil pertolongan ataupun beberapa orang yang mulai berdatangan karena tertarik oleh suara tembakan sebelumnya. Gadis itu tidak peduli terhadap sekitarnya, pandangannya hanya tertuju pada Reno yang masih terpejam.
"Bangun!" Ella mulai menggoyang-goyangkan tubuh Reno pelan
-mendorong-berbisik-terisak- terus dan berulang-ulang hingga kesadarannya sendiri mulai menghilang.Hal terakhir yang masih bisa Ella sadari hanya suara teriakan dari beberapa orang khususnya Jingga. Karena Ella yakin, suara Jingga merupakan suara paling memilukan yang pernah didengar Ella dan yang paling tidak ingin didengarnya. Suara penderitaan melihat sang kakak yang kemungkinan besar akan meninggalkan sang adik untuk selamanya.
****
Happy waiting readers, this one will be very slow update. ;)
Love,
Ramanianandha
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinderella's Beast
Storie d'amore*Sequel of Cinderella's Stepsister* Tujuh tahun sudah berlalu sejak ia mengetahui semua kebenaran tentang hidupnya, kini Ella yang genap berusia dua puluh lima tahun kembali ke negara asalnya setelah puas melarikan diri dari kenyataan. Berharap dapa...