Aku membaca surat dari Ayahanda..., bukan, instruksi yang diberikan oleh Raja Diaz. Aku mengalihkan perhatianku pada benda yang ada di dalam peti kecil yang dikirim bersama surat. Selesai membacanya, aku membakar surat dua lembar tersebut lalu menutup peti kecil di hadapanku.
"Rana, bisakah kau menyimpan peti ini untukku?" perintahku pada satu-satunya gadis pelayan yang menemaniku ke kerajaan ini.
"Baik, Putri."
Aku memandang langit biru melalui jendela. Aku menyukai langit cerah karena membuatku merasa damai dan bebas. Tapi, tidak saat ini.
Ayahanda... Inikah yang kau inginkan?
***
Aku memutuskan untuk berjalan-jalan di taman. Tinggal terlalu lama di dalam kamar bisa membuatku gila.
Selama perjalanan menuju taman, pelayan dan pengawal yang kutemui memberi hormat padaku tapi tak seorang pun yang mengajakku bicara. Seperti yang kuduga. Situasi di sini tidak jauh berbeda dengan Kerajaan Losan.
Di taman Kerajaan Palloseo, banyak sekali macam bunga yang tumbuh dan dirawat dengan baik. Sungguh berbeda dengan Kerajaan Losan. Bunga-bunga tidak dapat bertahan lama karena iklim yang tidak menentu di negeriku.
Hanya beberapa macam bunga yang bisa kukenali. Ini mengingatkanku akan Ibunda. Dari Ibunda-lah aku belajar banyak mengenai bunga dan tanaman.
"Kau sungguh menyukai bunga ya, Putri Lausa?"
Aku berbalik dan menemukan sosok Kir, putra kedua Raja Mote, tersenyum lebar. Itu senyum bodoh yang selalu dia tunjukkan padaku.
"Ibuku sangat menyukai bunga...," gumamku tanpa sadar.
"Ya, Putri Lausa? Maaf, aku tidak mendengar perkataanmu barusan..."
"Tidak. Bukan apa-apa," kataku cepat. "Kau bisa berhenti memanggilku 'Putri Lausa'. Kita ini sudah bertunangan, bukan? Panggil saja Lausa. Aku juga akan memanggilmu Kir. Bagaimana?" Aku memberikan senyum terbaikku padanya.
"Baiklah, Lausa!" Senyum bodohnya makin lebar.
***
Aku menghirup wangi bunga Nabat di depanku. Tercium sedikit bau madu dari bunga putih kecil tersebut.
"Hei, hei, Lausa. Apa kau pernah melihat bunga Kilos?" tanya Kir.
Aku menatap Kir yang memandangku dengan pandangan berbinar-binar.
Aku benci sikapnya yang sok akrab dan polos. Kata-kata itu terlintas di benakku.
"Bunga Kilos?" Aku pura-pura berpikir sejenak, lalu menggeleng. "Tidak. Aku tidak pernah melihatnya." Wajah Kir semakin berbinar. "Bukankah itu bunga langka yang hanya ditemukan di Kerajaan Palloseo? Bunga yang mekar di malam purnama?"
Kir mengangguk penuh semangat. "Oh! Kau sudah tahu tentang bunga Kilos ya, Lausa? Bunga Kilos memang hanya ditemukan di kerajaan kami, tepatnya di Tanjung Gu'unze. Kapan-kapan aku akan mengajakmu ke sana untuk melihat bunga Kilos, Lausa. Kau pasti menyukainya!"
Sok akrab, polos, serta tidak bertanggung jawab, tambahku dalam hati. Mana mungkin seorang putra kerajaan berkeliaran malam-malam hanya untuk melihat bunga...
"Bunga Kilos pada dasarnya berwarna kuning. Tapi kalau kita beruntung, mungkin kita akan menemukan bunga Kilos yang berwarna jingga yang sangat langka. Bunga Kilos warna jingga sangat berharga karena punya khasiat untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Karena itulah bunga Kilos merupakan salah satu dari empat harta Kerajaan Palloseo," jelas Kir panjang-lebar.
"Empat harta Kerajaan Palloseo?" Mata Kir tiba-tiba berkilat mendengar pertanyaanku.
"Apa kau ingin tahu apa saja empat harta Kerajaan Palloseo, Lausa?" godanya sambil tersenyum penuh arti.
Rasanya aku ingin memukul wajah Kir yang sok itu. Bersabarlah, Lausa, ucapku dalam hati. Ini kesempatanku untuk mendapatkan informasi yang mungkin kelak berguna bagiku.
Aku mendekatkan wajahku ke wajah Kir dan memasang tampang tertarik, ingin tahu lebih. "Ya, ya. Ceritakan padaku, Kir. Kumohon."
Wajah Kir tampak memerah. Ia mundur selangkah lalu berdeham.
"Baiklah. Akan kuberitahu. Lagipula kau akan menjadi bagian dari Kerajaan Palloseo," kata Kir tersipu-sipu.
Ada rasa nyeri di dadaku saat mendengarnya. Aku segera mengenyahkan perasaan itu dan berusaha fokus pada cerita Kir. Aku mengangguk pada Kir, kembali pura-pura tertarik dengan ceritanya.
"Menurut kak Talza, ada empat benda yang menjadi harta Kerajaan Palloseo," kata Kir, memulai ceritanya dengan suara yang direndahkan. "Yang pertama adalah bunga Kilos seperti yang kusebutkan tadi. Yang kedua adalah Chouchaw."
Chouchaw? Apa itu? Aku belum pernah mendengarnya sebelumnya.
"Ah, Chouchaw itu hewan langka, yang juga hanya ditemukan di kerajaan kami. Chouchaw adalah kebanggaan Kerajaan Palloseo. Karena kemampuan Chouchaw yang istimewa maka ia menjadi salah satu harta Kerajaan Palloseo."
Keinginanku untuk memukul Kir kembali muncul. Cepat-cepat, aku menyilangkan kedua tanganku di belakang punggungku.
Aku tidak mengerti, pikirku. Tadi bunga... dan sekarang hewan yang disebut sebagai harta kerajaan?
Aku memperhatikan wajah Kir dengan seksama. Kir tidak kelihatan seperti bercanda.
"Bagaimana kalau besok kita pergi menemui Chouchaw?" usulnya bersemangat.
"Baiklah," jawabku. Aku juga penasaran dengan hewan yang satu ini. "Lalu harta kerajaan yang ketiga...?"
"Oh iya! Yang ketiga adalah Permata Soom. Kau mungkin sudah pernah melihatnya, Lausa," ujar Kir. "Permata Soom adalah permata yang ada di singgasana Raja Mote. Apa kau ingat, Lausa?"
"Maksudmu permata yang berwarna ungu itu?" Seingatku memang ada permata sebesar telapak tangan orang dewasa di kursi kerajaan Raja Mote. Yah, aku hanya melihat sekilas tapi memangnya siapa yang bisa tidak melihat permata sebesar itu di kursi raja.
"Benar!"
"Lalu apa keistimewaan Permata Soom?" tanyaku penuh harap. Mungkinkah permata itu...
"Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari Permata Soom. Itu hanya batu mulia biasa. Dan Permata Soom sudah ada sejak Kerajaan Palloseo dibangun." Penjelasan Kir menghancurkan imajinasiku akan Permata Soom.
"Dan harta kerajaan yang terakhir?"
Tiba-tiba Kir berdiri tegak, membusungkan dadanya. Sambil menunjuk dirinya sendiri, ia berseru, "Harta Kerajaan Palloseo yang terakhir adalah kami, anggota keluarga kerajaan!"
Setelah mendengarnya, aku pun memijit pangkal hidungku. Bukan ini yang kuharapkan.
"Jadi, bagaimana pendapatmu tentang harta kerajaan kami, Lausa?" tanyanya polos.
Tidak ada informasi penting yang kudapatkan dari ceritanya. Aku tidak tahan lagi dengan sikapnya. Aku pun menjitak kepalanya.
"Eh?? Kenapa kau memukulku, Lausa?"
"Ada alasan kenapa aku memukulmu. Oya, anggap saja itu pendapatku mengenai harta Kerajaan Palloseo. Sekarang aku akan kembali ke kamarku untuk beristirahat. Terima kasih telah menemaniku, Kir," jawabku lalu bergegas meninggalkan Kir yang masih ternganga sambil mengelus-elus kepalanya.
Sekilas aku melihat Pangeran Talza bersandar di salah satu pilar tidak jauh dari taman. Aku mempercepat langkahku. Aku tidak mau bertemu dengan putra kerajaan yang hobi memakai pakaian wanita.
***
YOU ARE READING
In 2015
RandomThis is a collection of short story, oneshot, and flash fiction done by me (the author) in 2015. Hope you all enjoy it!