Angin musim dingin berhembus melewati pohon-pohon di Hutan Delvos. Seorang pria tua berpakaian serba hitam terus melangkah masuk lebih jauh ke dalam hutan. Sesekali ia berhenti untuk melihat sekitarnya, mencoba menghangatkan dirinya dengan saling menggosokkan kedua tangannya serta meniupkan uap hangat dari napasnya sendiri ke telapak tangannya, lalu melanjutkan perjalanannya.
Pria tua itu kemudian menemukan apa yang ia cari.
Tidak jauh di depannya, tampak sebuah batu nisan besar dengan sebuah tombak baja tertancap di atasnya. Tombak baja tersebut berkilau tertimpa sinar matahari yang menerobos masuk melewati dahan dan cabang pohon hutan.
Pria tua itu mendekati batu nisan lalu berjongkok untuk membersihkannya dari daun dan ranting kering.
"Akhirnya aku bisa menemuimu lagi, pahlawanku," gumam si pria tua. Ia mengeluarkan sekuntum bunga berwarna putih keunguan dari balik mantel hitamnya.
"Kubawakan bunga Nabat, bunga kesukaanmu. Kuharap kau memaafkanku karena jarang mengunjungimu. Kau tahu betapa kacaunya keadaan belakangan ini. Semakin banyak saja monster yang muncul dan mengamuk. Bayangkan seberapa besar kerusakan yang ditimbulkan oleh monster-monster itu," ujar pria itu kepada batu nisan dihadapannya, seolah sedang bercerita kepada seorang teman. Pria tua itu terkekeh lalu melanjutkan, "Ah. Tentu saja kau bisa melihatnya dengan jelas dari atas sana, bagaimana para kesatria itu membasmi monster yang mengamuk."
Si pria tua berdiri, mengangkat kedua tangannya dan merenggangkan tubuhnya yang terasa kaku.
"Kurasa kita harus berterima kasih kepada para kesatria itu. Berkat mereka, aku jadi punya waktu luang untuk datang kemari."
Perhatian si pria tua beralih ke tombak baja. Tombak kesayangan milik seorang kesatria yang kini tertidur di bawah batu nisan di dalam hutan penuh kenangan ini. Tombak yang selalu setia menemaninya setiap kali si kesatria maju ke medan pertempuran.
Tangan pria tua itu terjulur. Begitu tangannya menyetuh tombak baja tersebut, pikiran pria tua itu seolah kembali ke masa enam puluh tahun lalu saat para monster ganas merajalela dan tak ada seorang pun berani mengangkat senjata melawan mereka.
Si pria tua memejamkan matanya dan sosok gadis berambut gelap sebahu muncul di benaknya. Namanya Sola, gadis yang kelak dikenal sebagai Kesatria Wanita dari Cion.
Kenangan akan pertemuan si gadis dan dirinya ketika masih muda kini memenuhi benak si pria tua.
"Berikan tombak itu padaku!" serunya seraya merebut tombak baja yang kupegang dan menusuk monster di depan kami dengan tombak tersebut. Monster itu meraung kesakitan sebelum akhirnya jatuh terkulai, tidak lagi bergerak. Tanpa ragu dan takut, gadis itu segera mencabut tombak baja dari tubuh monster yang telah mati lalu berlari ke arah kerumunan monster tidak jauh dari tempatnya.
Pria tua itu tersenyum setiap kali ia mengingatnya. Siapa sangka seorang gadis desa bisa mengalahkan puluhan monster serta diberi gelar kesatria karena aksi heroiknya.
"Aku akan terus berjuang sampai mati! Aku tidak akan kalah oleh kelemahan bernama takdir!"
Begitulah moto si Kesatria Wanita dari Cion. Kata-kata yang selalu diteriakkannya saat memimpin sekelompok kesatria pembasmi monster.
Senyum si pria tua semakin lebar. Namun, senyumnya tidak bertahan lama karena menyadari bahwa ia tidak sendirian lagi di hutan ini. Ia membalikkan badan dan melihat seorang gadis berambut hitam panjang berdiri tidak jauh darinya. Gadis itu memegang tombak baja di tangan kirinya. Ekspresi kesal terpampang jelas di wajahnya.
YOU ARE READING
In 2015
RandomThis is a collection of short story, oneshot, and flash fiction done by me (the author) in 2015. Hope you all enjoy it!