SHORTCUT

4 0 0
                                    

Livvy mengayuh sepedanya sekuat tenaga, mendaki jalan beraspal yang menanjak. Spitz, anjing kecil peliharaannya, berlari di depan Livvy.

Spitz lebih dahulu sampai di puncak tanjakan. Ia berhenti, menunggu majikannya tiba.

"Sedikit... lagi...," gumam gadis kecil berambut pirang itu. Spitz menyalak, seolah memberi semangat kepada majikannya itu.

Matahari menghilang di balik gunung sesaat sebelum Livvy tiba di puncak tanjakan.

Sesampainya di puncak, Livvy berhenti untuk mengatur napasnya. Spitz berlari mengelilingi sepeda merah muda milik Livvy.

"Kau... sungguh... bersemangat, Spitz," kata Livvy tersengal-sengal. Spitz menyalak, menjawab Livvy.

Livvy melihat jalan beraspal di depannya dan meperkirakan kalau ia tidak akan tiba tepat waktu di rumahnya sendiri. Sudah pasti ibunya akan marah besar gara-gara ia terlambat pulang. Seharusnya ia tidak bermain sampai lupa waktu tadi. Seharusnya ia menerima kebaikan orang tua Karen yang bersedia mengantarkannya pulang ke rumah dengan mobil mereka, mengingat rumah Livvy yang agak jauh di dekat kaki gunung.

Livvy terpaksa menolaknya. Karena bila ia menerimanya, itu berarti ia harus meninggalkan sepeda kesayangannya. Lagipula, Livvy tidak mau merepotkan orang tua Karen. Ia sudah berumur tujuh tahun dan telah terbiasa bersepeda dari rumah Karen ke rumahnya.

Livvy memperhatikan keadaan sekitarnya. Di sebelah kiri jalan beraspal adalah tebing yang curam. Di sebelah kanan jalan tampak semak-semak dan pohon-pohon menjulang tinggi. Spitz, anjing coklat itu masih mengelilingi Livvy.

"Baiklah." Livvy mengangguk. Ia sudah memutuskan apa yang harus dilakukan selanjutnya. "Spitz."

Spitz berhenti saat ia mendengar namanya disebut. Anjing berbulu coklat itu memandang Livvy, kakinya sedikit ditekuk, telinganya berdiri tegak, dan ekor pendeknya bergoyang gembira.

"Kita akan melewati Hutan Apfel. Kau mengerti?" ucap Livvy kepada Spitz sembari menunjuk ke arah Hutan Apfel yang terbentang di sebelah kanan mereka.

Livvy memutuskan untuk mengambil jalan pintas. Sekarang yang menghalangi mereka dengan tempat tujuan mereka hanyalah Hutan Apfel.

Seingat Livvy, neneknya pernah bercerita mengenai jalan setapak yang ada di Hutan Apfel, yang menghubungkan jalan beraspal ini dengan desanya.

Spitz menatap Livvy yang mulai mengayuh sepedanya ke semak-semak di sebelah kanan jalan. Livvy berhenti setelah sepedanya sedikit masuk ke dalam semak-semak, menoleh ke arah Spitz yang belum bergerak dari tempatnya semula.

"Ayo, Spitz," panggil Livvy. Spitz menyalak kecil, ekornya tidak bergoyang lagi. "Ada apa?"

Spitz kini berbaring di atas aspal, hanya memandang Livvy.

"Oh, ayolah, Spitz. Hanya ini jalan yang akan membawa kita ke rumah tepat waktu," jelas Livvy, merentangkan tangannya putus asa. Livvy memandang Spitz sejenak. "Tidak apa-apa, Spitz. Ayo."

Livvy menyalakan lampu depan sepedanya lalu mengayuh sepedanya masuk ke dalam hutan.

Spitz langsung melompat berdiri dan mengikuti Livvy tanpa ragu.

***

Mencari jalan setapak seperti yang diceritakan oleh neneknya tidaklah mudah. Livvy sedikit kesulitan menjaga keseimbangan sepedanya karena tidak terbiasa bersepeda di tanah tidak rata dalam hutan.

Spitz dengan setia mendampingi Livvy. Kadang-kadang Spitz berhenti untuk menggonggong kaget saat ada bunyi gemerisik atau sesuatu yang bergerak.

"Itu hanya angin, Spitz," kata Livvy menenangkan Spitz. Livvy termasuk anak yang berani dan suka bertualang. Menurut ayahnya, Livvy sifatnya ini mirip dengan neneknya.

Seperti beberapa waktu yang lalu, seekor kelinci abu-abu tiba-tiba melompat keluar dari balik pohon, membuat Spitz kaget dan menyalak marah. Biasanya anak kecil seumurannya pasti akan menjerit ketakutan, tapi Livvy hanya memandang kagum pada kelinci itu dan tertawa geli melihat tingkah Spitz yang terus menyalak sampai kelinci itu hilang dari pandangan mereka.

Untuk kesekian kalinya, Livvy melirik ke kanan dan ke kiri, mencari tanda-tanda jalan setapak di dalam Hutan Apfel.

"Spitz, bantu aku mencari jalan setapak itu," pinta Livvy. Spitz menyalak sebagai jawaban lalu melesat mendahului Livvy, menghilang di ujung cahaya lampu sepeda.

Di mana jalan setapak itu? batin Livvy. Apa kami tersesat...? Mungkin sebaiknya kami berbalik dan kembali...

Livvy menghentikan sepedanya dan menjejakkan kaki kirinya ke tanah. Ia menoleh ke belakang, melihat jejak roda sepeda yang disinari lampu belakang sepeda yang remang-remang.

Livvy hendak memanggil Spitz saat terdengar gonggongan anjing kecil itu yang diikuti dengan lolongan panjang.

"Spitz!"

Livvy segera memacu sepedanya secepat yang ia bisa - sempat beberapa kali oleng ketika melewati gundukan batu maupun akar pohon yang mencuat - menuju ke sumber suara lolongan Spitz.

Melihat Livvy yang muncul dari antara pepohonan, Spitz langsung menyalak senang seraya menggoyang-goyangkan ekor pendeknya.

Livvy menghembuskan napas lega mendapati Spitz baik-baik saja.

"Spitz, kau mengejutkanku!" Livvy mendekati anjing itu. Livvy lalu memekik senang saat mengetahui kenapa anjingnya melolong. Spitz ingin memberitahu Livvy kalau ia telah menemukan jalan setapak yang dicari sedari tadi.

"Kerja bagus, Spitz!" Livvy membungkuk untuk membelai kepala Spitz. "Anjing pintar. Ayo, kita pulang." Spitz menyalak tanda setuju.

Livvy pun kembali mengayuh sepedanya ke jalan setapak menuju ke arah yang mana ia yakin mengarah ke desanya. Spitz berlari di samping sepeda majikannya.

***

Cahaya samar yang muncul dihadapan mereka membuat Livvy memperlambat kayuh sepedanya. Cahaya itu tidak jauh dari jalur jalan setapak yang akan mereka lalui di depan nanti.

"Cahaya apa itu?" gumam Livvy. Semakin ia mendekat semakin banyak jumlah cahaya yang dilihat Livvy.

Spitz menyalak, lalu berlari ke arah cahaya tersebut.

"Spitz!" bisik Livvy berusaha memanggil Spitz kembali. Kali ini Livvy terpaksa mengikutinya sambil waspada. Livvy membelok ke kiri keluar dari jalan setapak.

Tidak lama kemudian, Livvy berhasil menyusul Spitz. Anjing kecil itu sedang duduk menunggu Livvy di depan sumber cahaya yang mereka lihat tadi. Cahaya itu datang beberapa pohon besar yang sebagian besar tertutup oleh lumut. Di beberapa bagian pohon besar itu ditumbuhi jamur.

Insting pertama yang dirasakan Livvy saat itu adalah kembali ke jalan setapak dan melanjutkan perjalanan pulang ke desanya. Namun, rasa penasaran dan ingin tahu Livvy ternyata lebih kuat.

Livvy memutuskan untuk melihat-lihat sebentar. Ia melompat turun, membiarkan sepedanya begitu saja, dan berjalan menuju salah satu batang pohon bercahaya di belakang Spitz. Anjing coklat itu masih duduk manis, memperhatikan gerak-gerik Livvy.

Setelah memeriksa dari dekat, sumber cahaya itu berasal dari jendela bulat yang ada di batang pohon.

"Apa pohon ini semacam rumah?" gumam Livvy. Ia mendekatkan wajahnya ke jendela dengan cahaya di depannya. "Ini... rumah pohon, Spitz." Livvy menoleh dan tersenyum senang kepada Spitz. "Apa mungkin ini adalah tempat tinggal para peri hutan? Bagaimana menurutmu, Spitz?" Spitz menyalak.

Livvy berkeliling mengamati pohon. Sekilas ia melihat sekelebat bayangan di salah satu jendela. Spitz kembali menyalak.

"Halo?" seru Livvy, berniat memberi salam kepada siapa pun yang tinggal di dalam pohon.

Tidak ada jawaban. Spitz mendekati pohon yang sedang diperiksa oleh Livvy, mengendus-endus pohon itu. Spitz mendadak menyalak sambil meletakkan kedua kaki depannya ke pohon berlumut itu.

Livvy bergegas mendekati Spitz. "Ada apa, Spitz?"

Kaki depan Spitz kini mulai menggaruk pohon itu hingga tampak celah kecil seolah kulit pohon itu terkelupas. Ada cahaya kuning keluar dari celah tersebut.

Livvy berjongkok dan sekuat tenaga menarik lepas kulit pohon. Sekarang ada lubang besar di depan mereka. Spitz menyalak keras ke arah lubang itu.

"Tenang, Spitz."

Livvy merunduk, mencoba mengintip ke dalam lubang. Ia terkejut mendapati tiga pasang mata bulat besar berwarna hijau menatapnya dari dalam lubang pohon. Ketiga pasang mata itu milik makhluk kerdil yang gemetar di ujung.

"Oh, halo?" sapa Livvy setelah rasa kagetnya reda. "Maaf. Kami tidak bermaksud menakuti kalian. Kami ju-"

"Ma... manusia!" teriak salah satu makhluk kerdil yang berwarna coklat tua itu.

"Manusia!" teriak yang lain.

Makhluk kerdil yang pertama kali berteriak mengayunkan ranting pohon ke wajah Livvy. "Pergi! Manusia! Pergi!" katanya.

"Hei, hei, tenanglah. Aku tidak akan menyakiti kalian!" Pipi Livvy tergores ranting yang terus diayunkan oleh makhluk kerdil. Livvy terpaksa merangkak mundur untuk menghindari serangan ranting itu.

Hal ini memberi jalan masuk bagi Spitz. Spitz langsung melesat masuk ke dalam lubang.

"Spitz!"

Keadaan di dalam rumah pohon seketika menjadi kacau. Spitz menyalak dan mengejar ketiga makhluk kerdil itu. Mereka pun berhamburan keluar dari lubang.

"Spitz!" Livvy dengan cepat menangkap tubuh Spitz ketika anjing itu keluar dari lubang berusaha mengejar makhluk-makhluk kerdil tadi. Spitz tidak memberontak saat dipeluk Livvy tapi ia terus menyalak ke arah makhluk kerdil.

Ketiga makhluk kerdil kabur ke rumah pohon yang lain. Pintu rumah pohon lain terbuka dan mereka masuk ke dalamnya.

***

Akhirnya Spitz berhenti menyalak. Livvy duduk memeluk Spitz, takut melepaskan anjing kecil itu, seraya menjelaskan keadaannya dan Spitz sekaligus minta maaf kepada makhluk-makhluk kerdil yang ada di dalam rumah pohon.

Namun, tidak ada jawaban dari mereka.

Untuk beberapa saat keheningan menyelimuti tempat itu, sampai satu pintu rumah pohon terbuka. Kepala botak salah satu makhluk kerdil terjulur keluar dari balik pintu, menatap Livvy dan Spitz dengan mata hijaunya yang besar. Kemudian diikuti beberapa kepala botak lainnya.

Spitz kembali menyalak. Kepala para makhluk kerdil itu pun menghilang ke balik pintu. Livvy membungkam Spitz dengan menahan moncong Spitz.

"Ah, maaf! Kumohon jangan takut!" seru Livvy berusaha meyakinkan makhluk-makhluk kerdil. "Spitz tidak berbahaya. Ia hanya kaget dan takut sama seperti kalian."

Satu per satu kepala makhluk kerdil muncul lagi.

"Namaku Livvy," ujar Livvy. "Kalian... penunggu Hutan Apfel?"

Selain jalan setapak, nenek Livvy juga pernah menceritakan tentang makhluk penunggu Hutan Apfel. Nenek Livvy tanpa sengaja bertemu dengan mereka sekali. Ciri-ciri makhluk yang ada dihadapan Livvy sama persis dengan cerita neneknya.

Para makhluk kerdil itu saling berpandangan satu sama lain. Pintu di rumah pohon yang lain terbuka.

Salah satu dari mereka bersuara, "Kau... Manusia?"

Livvy mengangguk. Terdengar suara bisik-bisik di antara makhluk-makhluk itu.

"Aku hanya anak-anak, umurku 7 tahun, dan ini Spitz, anjing peliharaanku," kata Livvy mengelus kepala Spitz. Spitz sudah tenang.

Salah satu makhluk, sedikit lebih pendek dari Spitz, mendekati Livvy dengan hati-hati. Ia menunjuk Livvy dengan tangannya yang hanya berjari tiga.

"Livi...," kata makhluk kerdil. Livvy mengangguk membenarkan. Ia lalu menunjuk Spitz yang dipeluk Livvy. "Spitss..."

Livvy mengangguk lagi dan tersenyum lebar.

***

Bulan purnama menampakkan dirinya di langit malam di atas Hutan Apfel.

Kini, makhluk-makhluk kerdil yang menyebut diri mereka sebagai Rogo, duduk mengelilingi Livvy.

"Jadi, kau adalah Rogo...," kata Livvy kepada makhluk kerdil yang menyapanya pertama kali. "Dan...," Livvy menunjuk makhluk kerdil di sebelahnya, "kau juga... Rogo...?"

Mereka menyahut serempak, "Rogo!"

Livvy tertawa. "Yah, ini memudahkanku mengingat nama kalian."

Spitz telah dilepaskan oleh Livvy. Sekarang anjing itu mengendus dan menjilati salah satu Rogo. Beberapa Rogo mendekati sepeda Livvy dan memperhatikannya dengan kagum.

"Kalian sebenarnya makhluk jenis apa?" gumam Livvy seraya menepuk kepala botak Rogo yang ada di sampingnya. Livvy berencana untuk mencari tahu lebih jauh tentang mereka.

"Livi tidak pulang?" tanya Rogo, entah yang mana.

"Ah, iya. Tapi kurasa sudah terlambat. Ibuku pasti akan marah besar gara-gara aku terlambat pulang," jawab Livvy. Livvy kemudian menirukan bagaimana biasanya Ibunya marah kalau ia berbuat salah. "Dasar anak nakal! Sudah berapa kali Ibu bilang agar pulang sebelum makan malam! Kau dihukum tidak boleh bermain di luar rumah selama seminggu! Kau mengerti, Livvy!"

Para Rogo bergidik melihat sandiwara Livvy itu.

"Livi anak nakal!" seru beberapa Rogo. Livvy tertawa mendengarnya.

Suhu udara di dalam Hutan Apfel mendadak menurun drastis, membuat Livvy menggigil.

Mungkin sudah saatnya aku pulang, pikir Livvy.

Livvy bangkit berdiri tapi dihalangi oleh para Rogo.

"Jangan pergi, Livi," pinta mereka dengan mata berkaca-kaca. Livvy tidak tega menolaknya. Ia kembali duduk dan berbincang-bincang dengan Rogo. Salah satu Rogo memberikan minuman dalam gelas kecil yang bentuknya aneh kepada Livvy. Livvy pun meminumnya. Spitz juga mendapatkan minumannya sendiri.

Rasanya lumayan. Manis dan sedikit asam, batin Livvy.

Livvy melanjutkan bertanya kepada Rogo. Ia benar-benar penasaran dengan makhluk-makhluk ini. Sampai ia merasa ada sesuatu yang aneh dengan dirinya.

"Livi?" tanya Rogo di samping kiri Livvy.

Livvy membuka mulut tapi tidak ada suara yang keluar. Ia mengernyit.

Apa yang terjadi? batin Livvy. Entah kenapa ia merasa lemas. Ia lalu mendengar Spitz menyalak lemah.

Livvy mendongak tepat di saat Spitz ambruk. Tidak lama, Livvy pun ikut ambruk.

Livvy hanya bisa memandang ketika ia melihat dua Rogo menyeret Spitz dan dua Rogo yang lain mendekati Spitz dengan sebuah benda yang berkilat karena tertimpa sinar bulan.

Livvy terbelalak saat menyadari bahwa yang dipegang dua Rogo itu adalah pisau.

Livvy berteriak. Namun, usahanya sia-sia. Tidakada suara yang keluar dari mulutnya.

Rogo mengerumuni Livvy sehingga ia tidak bisa melihat apa yang terjadi kepadaSpitz selanjutnya.

"Livi anak nakal. Livi anak nakal," ulang makhluk-makhluk kerdil yangmengerumuni Livvy. Mata mereka berkaca-kaca.

Salah satu Rogo yang membawa pisau mendekati Livvy.

"Anak nakal," ucap Rogo itu sambil mengayunkan pisau ke leher Livvy, "sungguhlezat."

***

In 2015Where stories live. Discover now