"Dit!- hosh, lo beliin minum dong! Gue capek nih- hosh haus," ucapku terbata-bata kesulitan bernafas setelah berlari.
"Ah elah! Bentar gue juga capek- hosh hosh lo minum ini aja dulu," Radit memberiku botol minumnya yang tersisa hanya seperempat air dari botolnya, tanpa berpikir lagi aku menerima dan langsung menghabiskan sisa air dalam botol itu.
Hari ini, aku dan Radit harus mengikuti kegiatan club kami, yaitu basket. Tak jarang kami saling berbagi minum dan makanan, tak mengherankan juga jika kami terlihat selalu berdua. Bahkan, kurasa banyak yang mengira kami ini sepasang kekasih. Padahal, aku dan Radit hanya sebatas sahabat sejak SMP.
***
"Cia! Pinjem catetan dong! Hehe..biasa," aku sudah terbiasa dengan kata-kata itu. Hampir setiap hari aku terpaksa meminjaminya buku catatanku.
"Elah! Makanya! Nyatet! Jangan tidur mulu kerjaan lo, bego!" pukulku sambil memberinya buku catatanku.
Memang, aku bukanlah siswa terpintar dikelas, bahkan bisa dibilang aku mendapat urutan 3 sebagai siswa terbodoh dikelas. Bayangkan saja, aku tidak pernah lepas dari yang namanya 'remidi'. Hampir disemua pelajaran aku harus mengulang. Kurasa memang aku tidak ditakdirkan masuk jurusan IPA. Entahlah, mungkin pada waktu penerimaan jurusan, guru-guru sedang pusing, jadi langsung memasukkanku dikelas 'orang hebat' ini.
Bukannya aku bodoh. Aku hanya sama sekali tidak berniat dalam bidang ilmu seperti ini. Sangat memuakkan. Aku hanya berminat dibidang seni.
Seni adalah hidupku. Impianku adalah menjadi fashion designer. Memang aku bodoh dalam bidang pelajaran, tapi aku yakin, aku ahli dalam bidang seni. Bahkan beberapa kali karyaku masuk dalam majalah-majalah diluar-tidak hanya didalam sekolah.
Banyak yang bertanya padaku, kenapa aku tidak masuk SMK saja daripada SMA? Jawabanku hanya satu. Demi orang tuaku.
Aku tau ini seperti sebuah paksaan untuk masuk ke SMA, tapi bagiku tidak. Aku harus bisa setidaknya mengabulkan permintaan orang tuaku untuk masuk ke SMA. Aku tidak merasa terpaksa masuk kesana. Hanya saja, tetap memuakkan!
Tapi aku tetap senang bisa masuk di SMA ini, karena jika tidak, aku tidak akan bertemu dengan Rayi-pacarku.
"Nih! Makasih, cantik!" godanya membuat tanganku sukses mendarat kearah lengannya.
Kalau masalah menulis catatan, aku masih memperhatikan. Karena paling tidak, sedikit membantuku jika ulanganku jelek, aku masih bisa mendapat sedikit poin karena buku catatanku lengkap.
"CIA!" guruku mulai memanggil setiap nama kami satu-persatu membagikan hasil ujian akhir semester.
Aku maju kedepan tanpa rasa gugup ataupun takut, karna aku sudah tahu pasti diriku harus mengikuti ulangan ulang.
"HAH?! 80?!" aku spontan berteriak membuat semua mata tertuju padaku.
Untuk pertama kalinya. Aku berhasil lolos dari remidi.
"Cia! Cia! Lo dapet 80?!" bisik Radit yang duduk disebelah kiriku-meja kami terpisah satu orang satu meja. Aku tidak menjawabnya karna masih terpaku pada hasil ulanganku sendiri.
"CIA!" bisiknya sedikit keras kali ini dia memukul punggungku membuatku terkejut dan menjawabnya linglung.
"Ha? Iya? Apaan?"
"Lo dapet 80?!" belum sempat kujawab, nama Radit dipanggil untuk mengambil hasil ulangannya. Sekembalinya ke tempat duduk, aku langsung menanyai nilai yang didapatkannya.
"Dit! Dapet berapa lo?!" aku masih berbisik takut terlihat guru.
"Gue dapet-"
"Radit? Alicia?" ya, kami ketahuan sedang berbicara didalam kelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hold My Hand
Teen FictionKenapa sulit sekali mencari seseorang yang bisa mengenggam erat diriku? Apa tidak ada lagi orang yang setia? Apa memang manusia tidak bisa hanya berpijak pada satu pilihan? Copyright© by redlalic