A-Am I?

27 0 0
                                    

1. Shella

Telunjuk gue terus mengetuk-ngetuk meja belajar. Setelah itu gue bangkit, berjalan mondar-mandir. Terus duduk lagi, ngetuk-ngetuk meja lagi. Bangkit lagi, jalan mondar-mandir lagi.

"Panggil gue Arga, tanpa embel-embel Kak." Perkataan Arga entah kenapa terus terngiang di kepala gue.

Setelah pertemuan tanpa disengaja siang tadi antara gue dan Arga dan diakhiri dengan permintaan Arga yang itu dan gue main ngangguk aja, pikiran gue entah kenapa jadi gak karuan begini.

"Masa lo jadi baper seketika sih cuma gara-gara dia nyuruh lo manggil dia langsung nama?" gue bertanya, tepatnya untuk diri gue sendiri.

Gue terus mondar-mandir di kamar. Kali ini telunjuk gue mengetuk dagu gue sendiri. Jujur aja, gue langsung ngerasa aneh pas Arga nyebutin permintaannya. Gue akui, dia ganteng, dia primadona, dia baik, dia asik, gue kagum sama dia, tapi.. gue masih kagum sama dia sebatas dia senior gue, gak lebih.

Eh sebentar.

Lo serius lo berkata jujur? Dan gue menggeleng. Enggak, gue gak sepenuhnya jujur. Hati gue separuhnya menganggap dia senior yang patut dikagumi, sedangkan setengah hati gue lainnya menginginkan dia nganggep gue sebagai seseorang yang special. Duh, mau lo apa sih Shel.

Gue menggaruk pelipis gue pelan. Kenapa gue jadi kayak gini. Arga cuma minta lo manggil dia langsung namanya, tanpa embel-embel Kak, itu aja, gak lebih. Masa hal kayak gitu lo pikirin sih? Lo ngerasa dia suka sama lo? Gue menggeleng, that's impossible.

Gak ada yang gak mungkin Shel, di cerita Sangkuriang aja cewek cantik aja mau punya suami anjing, eh anjing atau apa sih hewannya? Pokoknya itu... hati gue membantah, apa hubungannya coba?

Gue menggigit bagian bawah bibir gue. Itu adalah kebiasaan setiap orang ketika dia ragu atau bingung, termasuk gue.

Gue melirik laptop gue yang menyala terang di sudut kamar. "Apa gue curhat sama si Lara aja ya? Eh, dia kan juga kagum sama si Arga, nanti kalau dia ngerasa gue tikung gimana, eh enggak, enggak, dia sedang dalam masa pedekate sama si Anto."

Akhirnya, gue memutuskan untuk menghubungi Lara, sahabat gue yang paling ribet tapi pengertian lewat skype. Gue langsung mencari kontak Lara, untung aja dia lagi online.

Gue menunggu sampai dia menerima sambungan skype gue. Gak lama, akhirnya dia menerima panggilan gue, gue bisa lihat wajah dia lagi sumringah di tempat tidurnya, pasti dia baru aja diapelin sama si Anto via skype juga.

"Hai Shella ku sayang! Kenapa jam segini nge-skype gue? Kangen ya? Padahal baru kemarin kita persami, udah kangen aja, duh, jadi baper." Gue memutar kedua bola mata gue, baru aja tersambung, Lara udah ngomong sesuatu yang seketika gue enek punya temen kayak dia yang kepedeannya melebihi siapapun.

"I have a problem." Gue menjawab dengan sedikit lesu.

Lara langsung menatap gue dengan tidak percaya. Dia sedikit membenarkan posisi kedua headset-nya di kedua telinganya dan meminta gue untuk mengulangi apa yang gue ucapkan tadi. "Hah? Lo ada masalah? Apa deh? Baru kali ini gue denger lo punya masalah."

Gue menghela napas. "Sebenernya gue gak tau ini masalah atau bukan atau bisa dibilang bukan, tapi entah kenapa, bagi gue ini problem, tiba-tiba gue ngerasa... aneh."

"Sama?" hanya itu yang keluar dari mulut Lara.

Sebenernya gue ragu untuk ngejawab pertanyaannya kali ini. "Tapi lo jangan kaget pas gue jawab ya."

Lara mengangguk.

"Kak.. Kak Arga." Gue menjawab dengan ragu, gue berharap Lara gak meledak seketika.

Her ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang