A-Finding Her

17 1 0
                                    

1. Shella

Mata gue perlahan terbuka, entah apa yang membuat gue tiba-tiba terbangun dari mimpi indah gue. Kalian semua mau tau gue mimpi apa? Gue mimpi, Arga nyelimutin gue dan tidur dalam keadaan duduk di samping gue.

Seketika pandangan kabur itu menghilang dan gue dapat melihat dengan jelas sekarang. Gue mengucek mata sambil berusaha bangkit. Sontak, gue membelalakkan mata melihat Arga yang tidur dengan posisi duduk, tepat di samping gue, kok persis kayak mimpi gue ya? Lagi-lagi gue bingung, antara seneng atau biasa aja.

Gue menyapu pandangan ke tempat perkemahan dan melirik jam tangan gue. Udah jam setengah enam, tapi kenapa masih belum pada bangun. Gue memilih beranjak dari gubuk kecil ini secara perlahan, berusaha untuk tidak membuat Arga bangun.

"Wah, udah bangun nih?" suara Nanta menyapa gue dari luar dapur umum.

Gue yang baru aja mau ngebalikin gelas yang semalam gue pakai langsung membalikkan badan dan mendapati dia lagi berdiri natap gue. "Hai Kak, iya nih, tumben alam bawah sadar gue bener, biasanya jam delapan baru bangun."

"Gimana mimpi semalam? Indah kan?" Nanta bertanya sambil tersenyum jahil, ck, gue paham maksudnya, dia.. ngeledek.

Gue mengangkat kedua bahu gue sambil melewati dia. Gue, malas ngebahasnya. Gue bisa jamin, lusa, saat masuk kembali, gossip seputar Arga dan gue bertebaran. Halah, gue udah jijik mikirnya.

"Gue mimpi leher gue dililit cobra Kak, di kepala gue ada macan, sumpah, itu mimpi terburuk gue," gue berbohong, lagian, gue gak mungkin ngejawab mimpi asli gue yang... itu kan?

Nanta langsung ketawa. Mungkin yang ada di pikiran dia saat gue jawab kayak gitu adalah, Arga menjadi sosok yang memperburuk mimpi seseorang.

"Gue harus ceritain itu ke Arga Shel."

"Ceritain aja, biar dia sadar, bukannya ngebangunin gue buat pindah ke tenda, malah ngebiarin gue tidur di gubuk itu lagi, pft, gue bete, mau cari angin pagi yang seger, yang enak lokasinya dimana ya? Disini kurang enak Kak," tanya gue sambil meregangkan otot-otot.

Nanta berpikir sebentar, sebelum akhirnya menjawab, "Seinget gue, ada, tapi lo harus keluar dari lokasi ini, pokoknya lo keluar dari sini, kan ada hutan yang gak terlalu lebat tuh, lo jalan aja nanti lo sampai di tebing yang kalau lo berdiri di sana, lo bisa lihat pegunungan."

"Oke deh, gue kesana deh ya." Gue baru mau aja pergi ninggalin dia tapi tangannya nahan langkah gue.

"Jangan lama-lama, jam enam harus udah balik, terus hati-hati, kalau lo sampai kepeleset gara-gara jatuh, emang gak terlalu tinggi dan curam sih tebingnya, tapi tetep aja hati-hati, nanti Arga bisa marah sama gue kalau lo kenapa-kenapa, atau gue temenin lo aja ya?" Nanta berpesan panjang lebar diakhiri pertanyaan yang ngebuat dirinya bingung sendiri.

Gue hanya bisa bergumam, gue bukan bocah kecil lagi kali, eh, bagi Arga sih iya. "Iya, iya, gak akan, jam enam balik kok, janji."

Nanta mengangguk. "Bagus, yaudah, sekali-lagi hati-hati loh."

Gue ikut mengangguk dan tersenyum lalu pergi meninggalkan Nanta yang masih berdiri di tempatnya.

"Nanta sama Arga sama aja, lebay, tahun ini, tepatnya mei nanti, gue genap tujuh belas tahun, dan itu memperjelas, kalau sekarang gue bukan lagi anak SD." Gue mendumel kecil sambil terus berjalan menuju tempat yang dikasih tau Nanta.

Gak butuh waktu sepuluh menit buat gue untuk tiba di tempat yang Nanta maksud. Nanta benar, dari tebing yang gak terlalu curam ini gue bisa lihat pegunungan dengan jelas, gue sendiri takjub, coba aja gue tinggal di Bogor, bukan di Jakarta, gue bisa ngerasain gimana rasanya menghirup udara segar tiap hari bukan ngehirup asap.

Her ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang