16

1K 87 4
                                    

Ternyata Angga mengajakku makan di restoran yang menurutku cukup mahal. Makanan khas Perancis sudah tersedia di atas meja. Aku dan Angga mulai memakannya. Senyum terpancar dari bibirku saat melihatnya makan dengan lahap. Oh, betapa aku sayang padanya.

Angga, satu nama yang saat ini akan membuatku senyum juga salah tingkah ketika mendengarnya. Hanya dia yang bisa buat aku bahagia untuk sekarang.

Seumur-umur aku nggak pernah punya bayangan bisa punya pacar di masa SMA. Malah bisa dibilang aku nggak berharap punya pacar.

Entah ini kebahagiaan atau beban, justru sekalinya dikasih pacar malah seorang kapten basket yang ganteng dan terkenal. Oh God, what should I do?

"Heh, ngelamun aja. Abisin sayang makannya," tegur Angga yang melihatku melamun. "Hehe, liat kamu makannya banyak aku jadi kenyang," ujarku lalu nyengir. Angga hanya geleng-geleng karena sifat kekanak-kanakkanku.

***

Niatku sampai rumah langsung masuk kamar, ganti baju, terus tidur. Ternyata niatku hanya sekedar niat. Karena sekarang aku sedang diculik oleh penjahat tampan bernama Tora Geandro. Sahabat macam apa dia, nggak tau apa aku capek.

Aku ditarik ke rumahnya dan didorong agar duduk di sofa miliknya. Boro-boro disediain minum, dianggap tamu, atau seenggaknya caranya alusan dikit, lah. Ini apa coba? Udah kayak jadi sandera di rumah sahabat sendiri.

Baru aja duduk, Tora langsung membombardirku dengan seribu pertanyaan mautnya. Tetapi sebelumnya diawali dengan tatapan mata elangnya yang menatapku bak seekor mangsanya.

"Ada hubungan apa lo sama Angga? Jadi gini sekarang, rahasia-rahasiaan? Oke." Seakan tidak memberiku kesempatan menjawab, Tora langsung memojokkanku yang sudah panas dingin dengan wajah hampir pucat.

Namanya cewek, kalau disalahin pasti ada aja caranya nyalahin balik. Demikian aku.

"Lah, gimana mau cerita, lo aja sibuk sama du-ni-a lo." Kubalik menyalahkan Tora dengan mengeja kata 'dunia' agar terkesan lebih dramatis. Tapi memang dari awal aku yang salah, ujung-ujungnya ya aku kena juga, walaupun sudah balik menyalahkan Tora.

"Din, gue sibuk sama dunia gue? Gue ajak lo ke rumah Lira pun lo bilang nggak bisa. Sekarang siapa yang sibuk sama dunianya?" ucap Tora menggebu-gebu.

"Tor please, masalah kecil nggak usah dibesar-besarin ya. Gue nggak bisa, lah. Lo aja ngajaknya dadakan. Lo kan tau gue, gue akan pergi sama yang ngajak gue duluan. Gue nggak enak juga sama Angga, dia udah sampe masa gue batalin gitu aja? Kalo dia masih di sekolahnya sih nggak apa-apa, biar langsung balik." Aku kesal disalahkan. Walaupun memang salahku tapi tidak pure seratus persen kok.

"Lupain yang itu. Okey, sekarang gue akan jelasin apa yang lo minta tadi. Gue dan Angga udah pacaran dari ... kapan ya? Dua minggu lalu kalo nggak salah. Ya intinya gue sama dia udah taken deh. Puas?" lanjutku tak kalah panasnya.

"Holy shit Dinka are you kidding me? Lo bahkan nggak minta pendapat gue untuk terima dia atau nggak. Lo udah nggak anggep gue sahabat lo apa gimana sih?" ujar Tora. Yang kulihat dari tatapan matanya antara marah campur sedih. Tunggu ... sedih? Apa yang Tora sedihkan? Dasar pintar acting.

"Tor gue minta maaf. Gue tau lo pasti kecewa but seriously, you're still my bestie, Tor. Alasan kenapa gue nggak mau minta pendapat lo, karena gue nggak mau libatin lo dalam hal ini. I mean ... this is not important to you. Bukan yang kayak gini yang mau gue share sama lo. Bahkan lo tau kan, awalnya gue nggak mau punya cowok? Lo tau gue Tor. Lo tau semuanya tentang gue. Kalo gue kasih tau lo, gue nggak mau lo cap gue jilat ludah sendiri, gue nggak mau." Tanpa sadar air mata sudah menetes di pipiku.

Ya, begitulah aku. Mau semarah apapun, ujung-ujungnya akan dilegakan oleh air mata. Entahlah, menurutku marah kalah melegakannya dari air mata. Aku lebih memilih menangis daripada membuang tenagaku untuk marah-marah.

Tatapan Tora melembut. Suaranya juga. Dia mungkin nggak tega lihat cewek nangis. Alasan klasik.

"But I want you to share all of your stories, with me, Din." Tora langsung memelukku, saat itu juga. Bukannya senang, aku malah tambah menangis sesegukan. Kuakui, aku lemah kalau dipeluk. Yang tadinya nggak mau nangis se-lebay ini, kejadian juga. Kan gengsi nangis di depan cowok yang lagi nyalahin kita.

Tora lagi, ngapain coba ngomong kayak gitu segala. Dia mau aku bagi semua cerita aku sama dia? Dianya aja kadang sibuk sama Lira. Semenjak ada Lira entah kenapa aku jadi merasa 'peranku' diambil sama dia. Aku jadi merasa Tora udah nggak butuh aku lagi. Well, kayaknya itu salah.

Beberapa menit aku menangis dipelukan Tora, akhirnya aku berhenti dan melepas pelukannya. Wajah Tora terlihat sangat bersalah. Matanya menatapku seakan hatinya sedang mengucapkan beribu kata maaf.

"Terus mau lo gimana? Lo mau gue cerita semuanya ke lo? Okey, mulai sekarang gue akan cerita segala hal ke lo. Mulai dari yang penting sampe yang penting, biar lo seneng," ucapku setelah meredakan tangisanku.

"Ya percuma sih Din, kalo lo cerita bukan karena kemauan lo, mending nggak usah. Udah jangan nangis lagi ah, liat tuh muka lo makin jelek," ledek Tora yang mencoba mencairkan suasana tegang di antara kami berdua.

"Ice cream dan movie marathon?" tanya Tora dengan senyum super manisnya. "Ice cream dan movie marathon," balasku mengangguk, mengiyakan ajakannya.

Dua gelas es krim sudah tersedia di atas meja. Tora lagi cari film di laptopnya. Aku dan Tora memutuskan untuk menonton Divergent kali ini.

"Udah nggak bisa sering-sering begini lagi deh," ucap Tora tiba-tiba di sela-sela film. "Lah, emang kenapa?" tanyaku yang heran atas ucapannya.

"Kan lo udah punya cowok. Masa gue berduaan sama cewek orang, nggak deh makasih. Nanti disangka PHO lagi."

Aku yang mendengar ucapannya seketika tertawa. "Alay lo," ucapku kemudian menoyor kepalanya pelan.

"Btw, Lira gimana? Tadi lo jadi ke rumahnya?" tanyaku kemudian. Tora mengalihkan tatapannya kepadaku.

"Jadi. Dia cuma demam biasa kok. Dia tadi nitip salam sama lo, terus bilang makasih banyak," jawab Tora atas pertanyaanku. Aku hanya ber-oh ria sambil mengangguk-anggukkan kepalaku tanda aku paham atas jawabannya.

Yang tadinya membayangkan jam sembilan sudah mimpi indah di kamar, aku malah baru pulang ke rumah. Ya, sekitar empat jam aku berada di rumah Tora. Sebetulnya aku sudah ingin pulang dari dua jam yang lalu, tetapi Tora selalu berhasil menahanku. Sahabat durhaka memang, nyebelin abis.

Beruntungnya rumahku hanya bersebrangan dengan rumahnya. Dan untungnya lagi, besok weekend. Sumpah, aku sungguh butuh istirahat atas hari-hari panjangku yang membingungkan.

The Big DinkaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang