Dufan dengan Wahana dan Selembar Surat

174 12 8
                                    

Pic : Amara Fay

(Peringatan: kalimat yang bercetak miring berarti flashback ya, biar nggak bingung!)

"Asal kamu tau saja, ya, nama kamu itu aneh. Tidak nyambung!" Teriak bocah perempuan dengan jilbab yang mencong sana-sini itu. Beberapa anak rambutnya mencuat keluar di sela sela jilbab.

Bocah lelaki yang diajak bicara itupun tergelak. Pupil matanya membesar dan kepalanya geleng-geleng tak terima. "Namaku ini dikasih sama Ibuku. Berani-beraninya kamu hina namaku! Macam nama kamu 'tu bagus saja," Si bocah lelaki membalas.

Bocah perempuan itu berkacak pinggang dan mengangkat dagunya tinggi-tinggi. "Coba sebutkan apa arti nama kamu itu? Aku yakin ibumu itu juga asal-asalan memberikanmu nama!"

Si bocah lelaki muak luar biasa. "Kau!" Geramnya. Ia pun mulai mengejar bocah perempuan itu dengan sekuat tenaga. Si bocah perempuanpun segera berlari untuk menghindari kejaran bocah laki-laki itu.

Meskipun begitu, si bocah perempuan menyukainya. Dia tertawa-tawa senang saat tau kalau bocah lelaki itu termakan emosi.

Si bocah perempuan menikmatinya.

Menikmati dikejar oleh si bocah lelaki.

***

Aku sedang berada di teras belakang rumahku sekarang. Entahlah, aku lebih suka berada di teras belakang rumah daripada teras yang berada di depan rumah. Terasa lebih semriwing. Lagipula, kalau sudah sore begini teras depan akan langsung berhadapan dengan matahari. Membuat pemandangan silau. Sama seperti rumah lamaku di Bali. Setiap sore teras depannya dipenuhi silau matahari.

Sudah seminggu aku menikmati sekolah di Jakarta. Semuanya berjalan biasa saja. Tidak ada kakak kelas kece yang 'melirik'-ku. Tidak ada kejadian brutal dilabrak kakak kelas cantik bersepatu Adidas KW. Tidak ada kejadian drama seperti di sinetron yang kutonton di televisi kebanyakan.

Atau mungkin belum.

Entahlah, itu semua tidak terlalu penting untuk dipikirkan. Tapi, selama seminggu aku bersekolah di sekolah Harapan Khami ini, (Iya, pakai "H". Aku sendiri juga bingung. Mungkin itu bahasa India.) sudah ada beberapa informasi yang kudapat. Kebanyakan dari Amara dan Yulian.

Salah satu info penting yang membuatku hampir gila adalah, wakil kepala sekolah di sekolah Harapan Khami ini adalah si guru hot. Serius! Umurnya baru 25 tahun tapi sudah jadi wakil kepala sekolah. Hot lagi. Selain itu aku akhirnya juga mengetahui namanya. Namanya Ferdinand. Seringkali dipanggil Inan. Aku dibuat mati berdiri mendengarnya. Like, seriously? Inan?! Luntur sudah kegagahan yang ada pada dirinya. Namanya itu terdengar seperti nama boneka berbentuk abstrak yang setara dengan BuBu, BiBi, FuFu, dan lain-lain.

Inan?... Yaampun, rasanya aku hampir mati tertawa saat Yulian memberi tahukanku tentang itu untuk pertama kali.

Yulian berkata,

"Biasanya sih memang dipanggil Inan sama cewek cewek centil kelas tiga, termasuk si Amara ini nih. Kalau ketemu Pak Ferdinand di koridor dekat ruang guru aja suka mesem-mesem sendiri, ngangkat-ngangkat ketek terus teriak "Pak Inan~ Pak Inan~", gitu, kadang suka ada desahan desahan terselubung setelahnya."

Lalu setelah itu seperti biasa, Amara dengan beringasnya akan mencubit Yulian di pinggang. Dan Yulian akan membalas sambil mengaduh-aduh manja,

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 31, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

NurjannahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang