EMPAT - PERTEMUAN

24 7 0
                                    

Qila mondar-mandir di depan kelas. Sedang risau mendekati galau. Hari ini Deren tidak masuk padahal ada ujian mata kuliahnya Bu Anna. Semua mahasiswa juga tahu kalau Bu Anna bukan dosen yang mudah. Mau jungkir balik, bersujud, beliau tetap tidak menerima ujian susulan. Kalo telat ya bersiap dapat E. Gak lulus.

But wait!!

Dia terhenti menyadari kebodohan terfatal dalam hidupnya. Ngapain aku khawatirin Deren!!.

Kalau kemarin Deren mendadak pergi, yasudah. Lagian semenjak mimpi dirangkul Deren dan pada kenyataan Deren juga merangkulnya lancang. Qila gak sudi deket-deket dengan Deren. Jijik!!.

Qila menggeleng frustasi. Berjalan kembali ke kursinya. Rey mengamatinya geli. "Lebay, ditinggal Deren bukannya seneng malah galau," ejeknya menggoda Qila.

Cewek yang duduk di kursi depan, sampingnya itu hanya melirik, melempar senyum sinis.

Cantik sih, tapi marahan, jutek, ahli ngumpat!. Batin Rey.

Disi lain, bagi Qila menghadapi Rey tidak ada bedanya dengan Deren. Mereka berteman dekat sejak awal perkuliahan. Katanya mereka satu kelompok waktu ospek fakultas. Bisa jadi sifat keduanya telah melebur jadi satu lalu menyebar merasuk kembali ke relung jiwa.

Saat masih di semester dua Rey pernah bercerita. Dia bersama Deren pernah bertemu Qila waktu ospek. Kala itu Qila menangis terseduh dibelakang gedung. Mendengar cerita itu membuat Qila berpikir keras, apa yang sedang dia tangisi??.

Kala itu Deren tidak bisa berhenti tertawa melihatnya membuat Rey disampingnya bergidik ngeri. "Ada yang lucu?," Rey yang masih polos bertanya.

Deren hanya menyunggingkan senyum sinis.

"Melihat seorang cewek menangis. Kamu malah tertawa??." Bisa dibilang Rey menganggap Deren gila. Biasanya melihat seorang cewek menangis itu seperti kesempatan emas bagi para cowok. Bisa didekati, dielus, diademin, dipedekatein, dipacarin deh.

Tapi kalau ini kok...

Deren tidak tahan melihat sikap Rey. Dia membisikkan sesuatu pada telinga cowok ganteng yang pikirannya masih suci kala itu. Hingga detik Rey menceritakan ingatannya berteman dengan Deren. Dia masih tidak mengerti, kenapa dia turut membenci Qila. Selalu ingin membuat Qila tersiksa.

Cerita itu masih Qila ingat. Rey menceritakannya sendiri pada Esti. Dan tidak menutup kemungkinan Esti langsung ceritakan semuanya sedetail-detailnya pada Qila.

Qila yakin, sebenarnya Rey bukan cowok nakal seperti Deren. Dia hanya terpengaruh. Makanya Qila tidak mau ambil repot bila berurusan dengan Rey. Takut, bila sikap Rey akan berubah semakin kejam seperti Deren.

Seusai kelas Prof.Tom sekitar jam dua, Qila bergegas meninggalkan kampus. Sedikit terburu-buru. Karena pagi tadi Pitta memintanya untuk menemani dirinya berbelanja usai keduanya pulang kuliah. Memang seminggu sekali Pitta akan ke supermarket untuk memenuhi kebutuhan dapur dan sebagainya. Dia bertanggungjawab urusan memasak dirumah.

Ibu sering sakit-sakitan, itulah sebabnya.

Walau cantik bak bidadari, -seperti yang dikatakan Deren. Dia itu cantik, putih, dan tinggi-. Tapi Pitta tidak perduli dengan anugerah yang diterimanya itu. Dia hanya hidup, menjalaninya dengan hal-hal yang membuatnya bahagia. Meski tangannya harus berujung kasar, tubuhnya bau bawang, rambutnya lepek karena terlalu lama di dapur. Parahnya sudah sekitar enam kali jari lentiknya tergores pisau karena keteledorannya sendiri.

Tak banyak lelaki yang menjauhi Pitta ketika menyadari seperti apa dirinya yang asli. Namun Pitta tak pernah mempermasalahkannya. Yang penting dia tetap bernafas dan itu bersama Qila, ayah, dan ibu kandungnya.

Secara resmi, Pitta tidak pernah bercerita siapa cowok paling spesial dihidupnya. Atau lelaki yang pernah hinggap dan melambungkan hatinya dengan perasaan cinta. Dia hanya pernah berkata sekali, sebelum ayah kandungnya meninggal. Dia pernah menjalin cinta monyet. Hanya itu.

Qila tidak berani bertanya lebih karena Pitta juga tidak pernah mengkorek kehidupannya. Bukan berarti Pitta itu misterius. Bagi Qila, Pitta adalah orang yang sangat baik. Pitta sangat menjaganya. Qila bersyukur memiliki saudara tiri seperti Pitta.

"Kamu mau aku masak apa?. Semakin hari aku mulai bingung, menu apa lagi yang harus kumasak." Pitta membangunkan Qila dari lamunan panjangnya. Sembari memilih bubuk bumbu yang dikemas dalam botol plastik berukuran kecil. Dia memilih sebuah botol dengan label bumbu cabe bubuk lantas meletakkannya lembut dalam troli yang dibawa Qila.

"Bagaimana dengan tumis jamur dan udang. Sudah lama aku tidak memakannya."

Pitta mengangguk antusias, " ibu juga suka udang". Sahutnya setuju secara tersirat. Lanjutnya masih memilih bumbu masakan. Walau seumuran dengan Qila, pengetahuannya memasak jauh lebih baik dibanding Qila. Lagi, dia mengambil botol soyu souce.

"Aku akan mengambil sabun, kamu bisa bawa troli'nya sendiri, kan?"

E'em. Pitta membiarkan Qila pergi. Ditatapnya Qila tamat-tamat. Lima tahun menjadi saudara tiri, Pitta paham bagaimana kehidupan Qila sebelumnya. Ketika mereka belum menjadi saudara.

Qila kemudian pergi ke tempat macam-macam merk sabun dijejer rapi. Sabun untuknya, Pitta, dan ibu. Semuanya berbeda-beda dan Qila hafal itu. Dia bergeming, kapan ayah pulang. Sudah tiga bulan. Biasanya paling lama ayah pergi bisnis dua bulan. Ini sudah melewati batas terlamanya.

"Ayahmu dimana?"

Deren?.
Qila gelagapan menatap kanan dan kiri. Seperti mendengar suara Deren. Tapi itu hanya ilusi. Deren tidak mungkin disitu. Dia hanya terbayang-bayang diri Deren.

"Kenapa Deren menanyakan itu?", pikirnya gusar. Lantas berjalan ke bagian kiri rak. Sabun Pitta berada dibagian atas, paling ujung kiri.

"Apa ibu tiri dan saudara tirimu jahat?"
"Kamu yakin mereka baik!?"
"Kenapa tidak jahat?"

Deren!!!
Qila mendesah frustasi. Suara Deren mengiang nyaring memenuhi otaknya. Gila!. Umpatnya dalam hati. Suara Deren terdengar nyata seolah pernah didengarnya secara langsung tapi kapan itu.

Qila memijat keningnya. Tiba-tiba merasa pusing. Wajah Deren samar-samar memenuhi benaknya. Merasa hampir gila, sehari gak ketemu efeknya berilusi berkepanjangan.

"Kamu baik-baik saja?"

"Yah", sahut Qila mendengar pertanyaan yang jelas ditujukan padanya.

"Kelihatannya tidak, mari kubantu"

"Ah tidak, terimakasih", tampik Qila ketika lengannya disentuh lembut. Diliriknya tajam orang asing itu. Dasar kurang ajar. Beraninya menyentuh wanita dengan lancang. Dia pikir dirinya siapa. Anggota PMR?.

Namun...
Lembut pandangan Qila meredup, sayup-sayup menatap takut lelaki di depannya. Entah kenapa Qila makin merasa pusing.

"Namaku Alan."

Alan??. Gemingnya. Lelaki itu tiba-tiba memperkenalkan dirinya. Sungguh berani. Qila menelusuri penampilannya, serba hitam.

Hitam??.
Bukankah dia lelaki di toko baju kemarin??.
Aku pasti tidak salah!.

"Senang bisa bertemu denganmu, Qila."

Di..di..dia tau namaku?

"Pertemuan yang indah bukan, takdir begitu baik ya, Qila."

....


tinggalin jejak yaa.. vomment ^^

MoonlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang