Tegar

2.4K 76 2
                                    

Sore yang mendung.

Aku sedang bersiul-siul sambil membawa tumpukan tugas teman-teman sekelas. Biasanya ini kerjaan Dini. Tapi khusus mata kuliah Mr. Penyindir, aku rela menggantikannya. Lagipula, semenjak aku sempat menggantikan jam mengajarnya, aku jadi dikenal dosen lain juga dan bisa keluar masuk ruang dosen dengan leluasa. Kulihat meja Mr. Penyindir sudah di hadapanku. Saat hendak menyimpan tugas, mataku terpaku menatap sebuah kertas cantik dengan variasi bunga dan warna pastel. Tertulis jelas nama besar di depannya:

Alfredo Manaf Ahmadi & Katrina Puji Lestari

Mataku nyaris melotot melihat nama Mr. Penyindir disandingkan dengan nama perempuan yang entah siapa itu. Ini.. undangan pernikahan? Apakah.. apakah ini benar? Tapi.. foto di undangan itu.. tak salah lagi. Itu fotonya! Setelah memastikan, aku segera berbalik. Dadaku sesak. Airmata ini lalu jatuh satu-satu.
***

"lhoo, luka baru lagi?" Dini menarik lenganku yang baru saja diplester tadi pagi.
"aduh! Sakit, tau," Dini menggeleng-gelengkan kepalanya.
"ini udah luka ke-delapan yang aku temukan selama seminggu ini, Lid. Jatuh dari motor lagi?"
"ngga, keserempet aja,"
"gara-gara meleng? Ngga fokus? Mikirin pernikahan Mr. Penyindir?" aku diam saja.
"Lidya sayangkuuuu, naik motor itu harus konsentrasi penuh. Kamu tau kan, banyak kecelakaan pengendara karena kelalaian kita sendiri," Dini mulai ceramah. "udahlah. Siapa tau yang kamu lihat itu cuma fatamorgana! Bayangan buruk aja,"
"iya, iya tau,"
"mendingan berangkat sama pulang bareng aku, Lid. Dianter deh,"
"dan pacar kamu juga ikut?"
"ya iyalaah, kan dia yang nyupirnyaa,"
"ngga deh. Kamu tau aku ngga mau ngerepotin. Udah ah, udah ada dosen tuh," kami segera bubar dan duduk di bangku masing-masing.

Yap, sejak aku mengetahui undangan pernikahan Mr. Penyindir, aku memang sering kecelakaan. Entahlah, mungkin karena pikiranku yang sekali difokuskan, eh yang terbayang malah wajah dosenku itu dan pengantinnya. Parah banget, tapi aku sendiri bingung harus berbuat apa untuk mengatasinya. Semakin aku berusaha melupakan, semakin ia lekat dalam ingatan. Aku sampai kesal sendiri, kesal tapi tetap cinta. Tuhaaaan.. bagaimana iniiii...???
***

"Cieee yang ditinggal nikah cieee.." Sally menyikutku. Aku menatap tajam.
"Lo lebih cantik Lid, ga usah khawatir. Pernikahan itu akan batal!" ini kata Rendi.
"Mbak Lid jangan sedih terus, tar cepet keriput lho," Lita menyemangati. Aku hanya mendengus sebal.

Anak-anak di kelas memang sudah tau banyak hal, khususnya soal perasaanku pada Mr. Penyindir. Yah mau bagaimana? Sulit untuk ditutupi! Mereka selalu menghibur dan mendukung meski lebih seperti meledek bagiku. Kayak ngga tau aja, pernikahan itu tidak datang dan pergi semudah semilir angin. Ia perlu pemikiran dan keputusan yang mantap dari kedua belah pihak. Hubungan sakral yang suci, hubungan sejati sepasang kekasih. Ah.. aku jadi semakin sedih.

"Mr. Penyindir datang! Rapi-rapi semuaa..!" Dini mengomando. Semuanya segera mengambil posisi dan duduk di bangku masing-masing. Aku tergagap, turut bersiap. Materi hari ini sudah kukuasai, tapi tetap saja hati tidak tenang kalau tiba-tiba aku ditunjuk untuk menjelaskan ulang. Aku takut, takut air mataku menetes di depan kelas.

"Baiklah, kita break sebentar. Lima belas menit lagi kita lanjutkan bahasan di jam kedua,"
"Oke Paaak," mendadak kelas ramai. Ada yang langsung cabut ke kantin, ke lapangan, ke kelas sebelah, kemanalah. Agak heran sebenarnya, biasanya rehat singkat ini selalu menyisakan setidaknya sepuluh orang yang menetap di kelas. Tapi sekarang hanya aku sendiri. Bahkan Dea dan Dini sudah menghilang entah kemana. Aku memutuskan tidak peduli. Malas kemana-mana. Mumet.

Tak disangka, sampai jam kedua tiba, tak ada satupun yang kembali ke kelas. Aku awalnya masih cuek. Tapi, ketika Mr. Penyindir datang dan hingga lima menit kedepan tak ada satu anak kelaspun yang masuk kelas, aku jadi gelisah.

Ada yang tidak beres.

Bahkan sampai sepuluh menit kemudian, kelas masih sunyi, menyisakan aku dan Mr. Penyindir yang baru saja selesai mengetik, entahlah, di Macbooknya.

"Oke, jadi apa materi tadi sudah kamu kuasai, Lidya?" aku gugup, namun mengiyakan. "Ada yang sulit? Atau mau ditanyakan?" aku berpikir sejenak. Rasanya tidak ada sih kalau soal materi. Buku rujukan beliau sudah aku lahap habis, padahal tebalnya sampai setengah jengkal. Memang kekuatan cinta kadang menakjubkan. Setelahnya, kami malah mengobrol kesana-kemari, kadang soal materi kuliah, tapi lebih sering selain itu, seperti kalau liburan biasa kemana, mahasiswa sukanya nongkrong dimana, gadget yang lagi ramai sekarang apa, dan seterusnya. Obrolan santai ini membuat aku rileks dan terbetik keinginan untuk menanyakan soal undangan pernikahan itu.

"Pak, minggu ini jangan lupa undang saya ya,"
"undang? Undangan apa ya?"
"Ke pernikahan Bapak minggu ini,"
"sama siapa memang?" duh! Aku jelas tak mengingat namanya.
"yaa sama perempuan," aku menjawab ngasal. Ia tertawa.
"terus?"
"yaa undang-undang dong Pak. Penasaran sama calon istrinya. Pasti cantik banget ya pak?"
"Hmm.. memangnya siapa yang mau nikah sih?"
"lho, Bapak, kan?"
"kata siapa? Info paling benar hanya dari nara sumber yang terpercaya. Nah, saya adalah objek utama dalam hal ini, dan tidak memberikan info apapun soal itu. Kesimpulannya?"
"berita itu belum tentu benar?" meski ada barang bukti?
"exactly! Nah sekarang jam perkuliahan sudah berakhir. Selamat sore," Mr. Penyindir beranjak, meninggalkan aku yang terbengong-bengong sendirian. Aku heran. Ada apa ini? Apa ia memang tidak menikah, atau ia hanya tidak mau mengaku kalau ia akan menikah? Tapi undangan itu serius sekali. Para dosen juga sesekali membicarakannya di selasar kelas. Aku yakin kalau Mr. Penyindirku akan menikah dengan siapalah wanita itu, tak peduli. Tapi.. kenapa ia tidak mengakuinya padaku?

Dan kalau benar, maka tepat minggu ini adalah pernikahannya.
***

Sepotong Hati Untuk Sang DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang