Perasaan yang Belum Berujung

3.6K 75 11
                                    

"Your destination is not answering.."

Aku membanting ponselku ke kasur. Ya ampun, tak bisa kupungkiri, lama tak berjumpa dengan Be membuat aku sedikit rindu padanya. Yah, meski kami sudah tak bersahabat dekat seperti dulu.

Aku jadi ingat ketika awal mula mengenal Be. Sosok pemuda tampan dan supel. Ia tipikal pria serius yang susah diajak bercanda, tapi sekalinya melawak, semuanya akan tertawa sampai sakit perut. Ia juga dewasa sehingga dipercaya keluarganya untuk memegang jabatan cukup tinggi di perusahaan keluarga yang sudah menggurita. Penghasilan bulanannya? Wih, jangan ditanya. Kalau Be mau, dia bisa saja melakukan trip keliling eropa setiap bulan. Tapi Be bukan orang yang begitu. Ia tetap sederhana dan tampil seadanya.

Aku dekat dengan Be tepat ketika jabatannya naik. Jujur, aku mengenalnya tidak sengaja. Di salah satu event sosial, Be disana sebagai donatur utama, dan aku sebagai sukarelawan. Aku tak tau kalau ia donatur lho ya saat itu. Hanya aku memang senang bersosialisasi dengan orang lain sehingga saat melihat Be tengah termenung sendiri, aku menghampiri dan kami malah asyik dalam perbincangan seru.

Darisana Be mulai mengajakku makan sesekali, jalan bareng, dan sampai mengenalkan aku pada Oma Chatrin, anggota keluarga yang paling ia sayangi.

Kedekatan itu rupanya dicurigai Tante Vey, tantenya Be. Ia menduga kalau aku sengaja mendekati Be untuk mendapatkan hartanya, bukan karena benar-benar menyayanginya. Aku jelas menampik berita itu. Perasaanku pada Be tulus, tanpa embel-embel harta atau jabatan apapun. Sayangnya, Be lebih mempercayai Tantenya. Oma awalnya sempat terhasut. Untungnya, Oma mau mendengarku ketika aku menjelaskan dan tetap menyukaiku sampai saat ini.

Dan dengan hari ini, sudah tiga bulan lamanya aku tidak bertemu Be. Entah kenapa tiba-tiba ada rasa rindu. Sialnya, saat aku coba hubungi, ponselnya tak ia angkat terus. Hmm, orang sibuk!

Tulililit..tulililit...

Ponselku berdering.

Oma Chatrin?

"Ya, halo Oma. Ya?..iya Oma, Oma gimana sehat?.. ya Oma.. kapan? Minggu depan?.. ya, ya..Ya bisa, Oma. Boleh.. oke.. sip.. makasih banyak Oma.." aku menutup sambungan telpon. Oma sangat hafal kesenanganku berbagi dengan orang-orang yang tidak mampu. Minggu depan, yayasan yang Oma ketuai akan mengadakan bakti sosial berupa sembako untuk orang-orang tidak mampu di Jawa Tengah sekaligus mengadakan acara sosial lain seperti pembagian buku gratis, edukasi kesehatan, dan pengantar cara membaca dan menulis. Waah, aku tentu senang sekali. Selain menumbuhkan rasa empati, aku harap kegiatan ini bisa menghapuskan perasaanku pada Mr. Penyindir yang sudah menikah. Oh, ayolah, ia sudah tidak sendiri lagi! Aku memarahi diriku sendiri.
***

"Ayo kita berangkat," Oma menepuk bahuku ramah. Aku mengangguk. Aku sudah siap. Berangkat bersama Oma dan beberapa relawan lain membuat aku semangat sekali. Terbayang senyum ceria para penerima bantuan saat menerima sembako, canda tawa anak sekolahan saat sesi edukasi membaca dan menulis, ah, aku tak sabar! Begitu senangnya, sampai-sampai tak terasa aku sudah tiba di lokasi.

"Hai," seseorang menegurku dari belakang. Ketika aku menoleh, jantungku seperti melompat dari tempatnya demi melihatnya.
"BE!" aku menjerit. "Kamu kok disini?!"
"Ssst.. kamu bikin seantero rombongan melihat kesini, tau! Sini," Be menarik tanganku, membawaku jauh dari rombongan. Dari nada bicaranya, gerak-geriknya, sepertinya ia sudah melupakan kasus lama tentang aku yang disangka mengincar hartanya. Huuuft..syukurlah.

Rupanya Oma sengaja mengundang Be untuk ikut ke acara bakti sosial ini. Seperti yang sudah aku bilang, kalau Oma yang minta, Be nyaris tak pernah menolak. dan jadilah kami bertemu, asyik menjalani kegiatan ini bersama. Aku menikmatinya. Sangat menikmatinya. Sayang, di sudut hati terdalam, wajah Mr. Penyindir masih bersemayam disana. Kokoh, tak tergoyahkan. Aku betul-betul pasrah.

Sepotong Hati Untuk Sang DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang