Kalau bukan karena surat peringatan kedua, sepagi ini Hoseok tidak akan berjalan terseok-seok di koridor sekolah, mungkin masih dalam perjalanan menuju kedai bibi Nam—tempatnya selama ini membolos. Bahkan ia sempat tersasar ketika menuju kelasnya karena terlalu sering absen. Karena surat peringatan yang langsung sampai ke tangan ayahnya, kakak perempuannya terpaksa mengantarkannya ke sekolah untuk memastikan bahwa ia benar-benar menuju sekolah kali ini.
Biasanya saudara perempuannya yang super cerewet itu tidak akan sudi menungguinya bangun dan selesai bersiap-siap. Oleh karena itu ia datang terlalu pagi hari ini. Mungkin dia adalah orang pertama, suatu rekor baru, seharusnya ia mendapatkan penghargaan atas pencapaiannya hari ini.
Hoseok membuka pintu kelas dengan gaduh. Haruskah ia meminta hadiah kepada wali kelas karena berhasil menjadi yang pertama hari ini? Oh, mungkin sebaiknya ia membatalkan niatnya karena ternyata sudah ada yang lebih gila darinya dengan datang sepagi ini. Ia melirik siswa yang duduk di bangku paling belakang, mencoba mengingat-ingat nama teman sekelasnya itu, tapi tidak berhasil. "Hai, kau yang membuka gerbang?" Hoseok mengawali pembicaraan. Setelah duduk dan menyimpan tasnya di dalam laci ia menoleh ke belakang. "Hai." Sapa Hoseok sekali lagi. Ia mendengus saat teman sekelasnya itu hanya diam dan tetap menatap lurus buku yang sedang dibacanya.
Tidak mau ambil pusing, Hoseok meletakkan kepalanya di atas meja—tidur sebentar untuk mengumpulkan nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul. Baru saja memejamkan mata, suara berisik seperti sebuah ringisan dari sudut kelas mengusiknya. Awalnya ia memutuskan untuk mengabaikannya saja, namun suara itu semakin mengganggu. "Hey, bisakah kau tenang. Aku hanya ingin tidur sebentar sebelum para wanita tukang gosip itu datang." Selama beberapa saat ia menatap teman sekelas yang masih belum bisa ia ingat namanya tersebut, Hoseok baru sadar ternyata banyak luka lebam di wajahnya.
Hoseok mengalihkan pandangannya sebentar dan berdeham. Mungkin korban penindasan jika dilihat dari tampilannya yang kutu buku dan culun—tipikal sasaran empuk penindasan di sekolah.
"Park Jimin, kalau kau lupa namaku."
Rasanya Hoseok pernah mendengar suara tersebut. Ahh, kalau tidak salah minggu lalu saat ia datang terlambat dan menyelinap lewat pintu belakang ia menemukan beberapa pembuat onar di kelasnya sedang mengganggu seorang siswa. Sepertinya adalah teman sekelasnya yang satu ini. "Kau baik-baik saja?"
Jimin kembali menunduk, melanjutkan kegiatan membacanya. Hoseok memperhatikan Jimin sekilas dan kembali ke posisinya semula. Mungkin Jimin tidak mau menceritakan apa yang membuatnya sampai babak belur begitu. Lagipula memangnya siapa dirinya sehingga Jimin harus bercerita kepadanya? Bahkan bisa jadi Jimin juga tidak mengenalnya mengingat grafik kehadirannya di sekolah yang sangat rendah, terlebih lagi ia tergolong kaum semi apatis di kelasnya.
"Sebelumnya aku merasa tidak baik, tapi sekarang sudah membaik." Jimin kembali bersuara. "Terima kasih sudah bertanya."
Hoseok hanya mengangguk, entah Jimin bisa melihatnya apa tidak—enggan melanjutkan pembicaraan.
"Hoseok." panggil Jimin.
Hoseok hanya menjawabnya dengan gumaman pelan tanpa mau menoleh ke belakang. "Kau akan terlambat."
"Terlambat? Hey, kita berdua adalah yang tercepat pagi ini. Seharusnya aku mendapat penghargaan."
"Jung Hoseok! Apa yang kau lakukan di sini?"
Hoseok mendengus. Itu si tukang gosip Han Minah. Tiada hari tanpa bergosip dan selalu berteori tentang bagaimana cara berpikirnya terhadap sesuatu. Ya, hanya teorinya saja. Sangat menyebalkan, mengganggu tapi tidak pernah sadar betapa menyebalkan dirinya.
"Hey! Kita harus segera bergegas, sebentar lagi akan dimulai." Minah mendatangi meja Hoseok dan menepuk-nepuknya.
Dengan malas Hoseok bangkit dan menatap Minah sebal. Ia paling malas berinteraksi dengan Minah, melihat wajahnya saja sudah membuatnya muak. Bahkan pernah sesekali muncul niatan untuk menonjok Minah kalau saja dia bukan seorang perempuan. Mungkin gadis itu cukup pintar, tapi mulut besarnya begitu menjengkelkan.
"Aku mampir ke sini karena dompetku tertinggal." Ia mengacungkan dompetnya. "Apa yang kau lakukan di sini? Kenapa tidak langsung ke rumah sakit?"
"Rumah sakit?"
Minah menautkan kedua alisnya. "Bukankah aku sudah mengirimimu pesan semalam?"
Oh, semalam Minah memang mengirinya beberapa pesan, tapi ia terlalu malas membukanya karena itu dari Minah. Paling-paling isinya kalimat sok peduli bahwa ia harus segera masuk karena sebentar lagi akan ujian tengah semester atau apa saja yang membuatnya kesal. "Tidak ada." Bohong Hoseok.
"Aish, kau ini. Ya sudah, ayo kita harus segera bergegas, kalau tidak bisa terlambat."
"Terlambat kemana sih? Tadi Jimin juga bilang kalau aku akan datang terlambat. Apa kau tidak lihat bahwa aku datang lebih awal darimu?"
"..."
"Hey."
"..."
"Sudahlah, aku mau tidur. Lakukan apa yang sebelumnya akan kau lakukan, aku tidak ikut-ikutan."
"Jimin?"
"Iya, Jimin." Hoseok menunjuk ke meja belakang, tapi tidak ada siapa-siapa di sana. Sejak kapan Jimin ke luar kelas? Bagaimana bisa ia tidak menyadari kepergian Jimin. Ahh, Mungkin Jimin juga tidak menyukai Minah sehingga pergi begitu melihat kedatangan gadis itu. Bukankah sudah biasa bagi siswa korban penindasan menjadi tidak terdeteksi?
Minah melihat ke sekelilingnya. Ia menendang kaki Hoseok dengan kesal. "Makanya, jangan membolos terus! Hari ini Jimin akan dimakamkan. Bergegaslah, kita bisa terlambat." Desak Minah.
"Dimakamkan? Jimin?" Hoseok memandang Minah dengan kesal. "Mulutmu kali ini sudah keterlaluan Minah. Meski dia culun begitu bukan berarti kau bisa berkata seperti itu."dengus Hoseok.
"Jung Hoseok, are you drunk? Jimin menghembuskan napas terakhirnya tadi malam setelah tiga hari koma."
Hoseok mendadak duduk dengan tegap, menuntut penjelasan lebih dari Minah.
"Dia bunuh diri. Berusaha mengakhiri hidupnya dengan mengonsumsi banyak obat. Ia sempat dilarikan ke rumah sakit, koma selama tiga hari namun pada akhirnya tetap saja tidak tertolong." jelas Minah pelan. Ia juga pernah beberapa kali mengganggu Jimin, mungkin secara tidak langsung ia juga merupakan salah satu alasan Jimin memutuskan mengakhiri hidupnya.
Hoseok tidak bisa mendengar semua kelanjutan cerita Minah.
Tapi Jimin baru saja berbicara dengannya.
Tapi Jimin baru saja mengingatkan namanya.
Tapi Jimin baru saja memperingatinya agar tidak datang terlambat.
Dengan panik Hoseok menoleh ke belakang, mencari sisa-sisa keberadaan Jimin di sana, tapi sepertinya Jimin memang teman sekelas yang tidak terdeteksi. "Apa tempat duduknya di sana?" tunjuk Hoseok pelan, hampir berbisik karena sejujurnya ia mulai merasa takut mendengar pertanyaannya sendiri.
"Hmmb, dia selalu menyendiri."
Hoseok mendadak lemas, ia merasa panik. Sepertinya mulai besok ia akan lebih rutin datang ke sekolah.
FIN
KAMU SEDANG MEMBACA
FICLET COLLECTION
Fiksi PenggemarJust a random story about BTS Pairing OC. No corelation among every chapter~~~