Gelap

199 16 0
                                    

OS - Dinar Wahyu

Happy reading^^

***

Tidak ada yang lebih berat dari pada menyusuri trotoar di East Sixty-Ninth Street dengan satu tas jinjing, dua kantung makanan kaleng, dan persediaan camilanku selama sebulan kedepan, setidaknya untuk saat ini. 

Aku barusan menunggu bus lama sekali. Menunggu satu jam lebih dengan belanjaan terberat yang pernah ada (aku baru gajian).

Tapi itu masih belum sebanding dengan bertemu Gash di depan Café Mrs. Chanelle sambil tersenyum, bersandar di lampu jalan yang cukup redup. Aku merasa ada yang aneh dengannya. Sudut sudut bibirnya robek cukup panjang, kantung matanya bergelambir tebal, sangat hitam.

Entah ada apa dengan kantung mata dan (juga) bekas luka bakar yang melingkari matanya. 

Honestly, mirip panda yang ... menyeramkan. Gash banyak berubah sejak dia memiliki pekerjaan baru yang tak mau ia bicarakan padaku. Kudengar dia terlibat di sebuah organisasi dan menjadi seorang agent di dalamnya.

Sebenarnya aku lebih menyukai pekerjaannya yang dulu. Dia juga nampak lebih ceria dan mudah sekali tersenyum. Sesekali aku sempat mengorek sedikit tentang pekerjaannya; cukup menyenangkan tapi juga melelahkan. Terkadang dia begitu menikmatinya. Ya, terpaksa aku tidak bisa mencegahnya.

"Aku sangat mencintainya," tanpa sadar aku menggumam di jalanan yang sudah mulai sunyi. "Kebahagiaanya adalah kebahagiaanku."

I can't stop thinking 'bout him.

Sedikit rasa kecewa, karena hubungan kami mulai merenggang. Kami jarang melakukan kencan, sesekali berhubungan dengan ponsel dan video call, itupun sudah jarang sekali. Kurasa aku harus memperbaiki kerenggangan ini.

Pekerjaan kami, ya, itu mengharuskan masing masing sibuk dengan dunia masing-masing. Terlebih Gash yang sepertinya sangat terobsesi dengan pekerjaan barunya hingga melupakan pacarnya sendiri. 

Well, kau tahu lah. Kami berpacaran.

Kuusap rambutku, kasar.

Gash. Gash. Gash.

Just and only him, Gash.

Sial! 

Memikirkanya hanya membuatku semakin pusing dan ingin menangis. Lamunanku tentang Gash benar benar buyar karena seorang mengetuk dahiku dengan tongkat kayu yang terasa tua.

"Hei, Gadis, perhatikan jalanmu!"

Aku mencibir nenek tua itu, kesal, saat ia sudah berlalu. Tak terasa, aku sudah melihat townhouse - ku yang bercat hitam dan abu abu buluk. 

Kupercepat langka menuju bangunan ini karena kaki dan pergelangan tanganku mulai berdenyut ketika memikirkan kasurku yang empuk dan dingin. Aku jadi ingin segera masuk kedalam bathub untuk berendam lalu merangkak naik ke ranjang sambil mendengarkan lagu untuk membuatku tenang.

Setelah melempar kaus kaki dan sepatuku kedalam rak sepatu - yang tak pernah berfungsi - aku mendengar sesuatu berisik di loteng, disusul suara jendela yang dibanting dengan cepat. Masa bodoh, mungkin Peter sedang membawa kucing tetangga lewat jendela itu dan mengajaknya tidur di kasur (bersamaku juga). Karena kami memilih tidur bersama walau masing masing punya kamar sendiri, karena kami berdua sama sama penakut. Tentunya.

Gelap.

Tak biasanya Peter tak menyalakan lampu karena sejujurnya dia sangat penakut dan benci kegelapan. 

Orange JuiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang