Rain or Umbrella

306 18 0
                                    

OS - SINTA.

HAPPY READING!

***

Hari ini hujan turun dengan derasnya. Langit yang tadinya cerah kini berubah menjadi gelap. Jam pelajaran sudah berakhir sejak dua jam yang lalu.

Aku terjebak di dalam sekolah, tanpa membawa satu alat pun yang dapat membantuku menerobos hujan. Aku juga tidak pernah membawa kendaraan ke sekolah, karena biasanya aku naik bus atau angkot.

Udara terasa semakin dingin, sehingga rasanya sampai menembus ke dalam kulitku. Aku terlalu fokus, hingga tak menyadari kehadiran seseorang di sampingku. Setidaknya aku kembali sadar setelah dia memanggil namaku.

"Ra."

Hanya dengan satu suku kata, aku bisa langsung mengenalinya. Tentu aku tahu karena aku sangat menghapal suara beratnya itu. Suara laki-laki yang telah lama aku sukai.

"Gak pulang?"

Singkat. Dia selalu berbicara padaku dengan hanya mengeluarkan beberapa patah kata. Walaupun begitu, kehadirannya tetap membuat hatiku bersorak gembira.

"Masih hujan. Gue lupa bawa payung, Yan. Lagian ga ada angkot yang lewat."

"Bodoh."

Satu kata terakhir, sebelum dia benar-benar meninggalkanku. Apa yang aku harapkan darinya? Dia tidak mungkin menawariku tumpangan untuk pulang. Tidak mungkin dan tidak akan pernah mungkin. Seorang Brian memang selalu seperti itu. Aku masih bersyukur selagi Brian belum mengetahui perasaanku padanya.

"Emang sih, cinta dalam diam itu menyakitkan. Tapi, kalau perasaan ini terbongkar, gue takut lo malah menjauh dari gue dan parahnya lo ga akan ngajak gue ngomong lagi. Bukannya kayak gitu jauh lebih nyakitin? Biarin kayak gini, lo ga harus tau kebenarannya."

Aku menatap punggungnya yang perlahan-lahan menghilang dari pandanganku. Brian itu sangat tampan, minus sikap dinginnya. Kenapa dia selalu berbicara irit padaku, tapi tidak pada orang lain?

Lamunanku menjadi buyar, saat seseorang menepuk pundakku. Dia tersenyum lebar, ketika aku menoleh ke arahnya. Dia adalah Alvian. Laki-laki yang menjadi idola sebagian dari kaum perempuan di SMA-ku. Tampan, cerdas, humoris, sangat sempurna di mata orang.

Aku tahu kalau Alvian menyukaiku sejak dulu. Tapi, aku tidak bisa membalasnya. Karena aku mencintai Brian. Dia pun sudah tau kalau aku tidak mempunyai rasa yang sama, namun dia bersikap acuh. Alvian tetap berusaha dan berjuang semampunya untuk mendapatkan hatiku.

"Hai. Pulang bareng gue aja, ya? Kalau lo nunggu hujan reda, itu bakal lama banget. Gue bawa mobil, kok. Ga ada penolakan, please."

Jika sudah seperti ini, aku tidak bisa menolaknya. Lagi pula, aku sudah sangat lelah dan perlu istirahat. Alvian menggenggam tanganku dan memayungiku agar tidak kehujanan.

"Kenapa lo sebaik ini sama gue?" tanyaku pada Alvian setelah sampai di dalam mobilnya.

Dia tersenyum ke arahku. "Apa mencintai lo juga butuh alasan?"

Aku menatapnya dengan tatapan sedih. Aku merasa tidak enak karena tidak bisa membalas perasaannya.

"Santai aja. Gue tau lo enggak cinta sama gue. Jujur, gue enggak suka ngungkapin perasaan pake kata-kata, gue lebih seneng action. Kali aja lo luluh."

Setelah itu keheningan melingkupi kami. Membuatku terpaksa membungkam mulut dan hanyut dalam pikiranku.

***

Orange JuiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang