Prilly menarik nafas panjang mencoba menenangkan dirinya. Ditatapnya sebuah pintu besar di hadapannya kini. Prilly memejamkan matanya mencoba meyakinkan dirinya. Setelah merasa dirinya sudah mulai tenang, akhirnya Prilly membuka knop pintu itu.
Prilly memasuki ruangan yang terbilang luas itu. Nuansa hitam dan putih langsung menyeruak indra penglihatannya. Matanya langsung tertuju pada pria paruh baya yang duduk di kursi kejayaannya dan berkutat dengan laptopnya.
"Pa," panggil Prilly membuat pria paruh baya itu tersadar. Sepertinya ia tak menyadari kehadiran Prilly.
"Akhirnya kamu datang juga, duduk dulu," balasnya.
Prilly mengangguk kemudian duduk di kursi dihadapan papanya.
"Kemana aja kamu selama ini Prilly?"
"Aku ke Amsterdam pa, lihat pameran lukisan," balas Prilly datar.
Bram, Ayah Prilly menggelengkan kepalanya pelan mendengar jawaban putrinya itu.
"Mau sampai kapan kamu bertahan dengan pekerjaan kamu yang gak menjanjikan itu Prill? Kamu udah harus memikirkan masa depan kamu."
"Melukis itu udah pilihan buat masa depan aku Pa," balas Prilly.
Bram kembali menggelengkan kepalanya. Jawaban putrinya itu selalu saja sama. Keras kepala!
"Bagaimana dengan pilihan yang papa kasih saat itu?" Tanya Bram mengingatkan Prilly pada pertemuannya dengan ayahnya sebelum ia berangkat ke Amsterdam.
"Aku akan tetap melukis Pa, aku gak bisa pegang perusahaan papa di Jerman dan aku juga gak bisa nikah sama anak rekan bisnis papa itu. Jadi intinya, aku gak minat sama dua tawaran papa itu," balas Prilly mantap.
Jawaban Prilly itu membuat Bram geram. Ia pikir putrinya akan memilih antara dua pilihan yang sudah ia berikan. Memegang perusahaan cabangnya di Jerman, atau menikah dengan anak rekan kerjanya.
"Kenapa kamu gak bisa nurut sih Prill sama papa? Kalau kamu emang gak bisa pegang perusahaan, setidaknya kamu mau menikah dengan Alex, anak rekan kerja papa. Papa udah pilihin pria yang terbaik buat kamu."
"Terbaik buat aku?" Prilly tertawa kecil mendengar penuturan ayahnya lebih tepatnya tertawa meremehkan.
"Bukan buat aku Pa, tapi buat papa dan perusahaan papa," balas Prilly datar.
Bram makin di buat geram dengan penolakan putrinya.
"Kalau kamu tak mau menikah,.pergilah ke Jerman. Urus perusahaan kita yang hampir bangkrut disana. Seharusnya kamu bersyukur Prilly, Alex bersedia membantu kita untuk membangkitkan perusahaan kita di Jerman."
Prilly menatap ayahnya kecewa, kenapa ayahnya begitu tega menjadikannya alat untuk membangkitkan kembali perusahaannya.
"Tapi aku gak bisa Pa, lagi pula gimana sama Zidan? Bukannya Papa larang aku buat bawa Zidan ke Jerman."
"Ngapain sih kamu mikirin dia, kamu bisa titipkan dia ke panti asuhan," ucap Bram. Prilly menatap tak percaya mendengar ucapan ayahnya itu. Menatapkan Zidan ke panti asuhan? Yang benar saja. Itu tidak akan mungkin.
"Zidan cucu Papa, papa gak seharusnya ngomong kayak gitu."
"Dia bukan cucu Papa," balas Bram dingin.
Prilly memejamkan matanya erat-erat menahan sesak di dadanya. Kenapa ayahnya begitu tak menerima kehadiran putranya itu? Ini bukan kesalahan Zidan.
"Kenapa kamu harus peduli sih sama dia? Pria brengsek itu aja sama sekali gak peduli sama anaknya."
"Cukup Pa!" Pekik Prilly.

KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect Captain
RomanceAlasan klise ketidak sengajaan membuat dua orang berbeda karakter ini bertemu. Namun ternyata itu bukan pertemuaan pertama dan terakhir mereka, namun merupakan awal dari pertemuan mereka selanjutnya hingga kisah itu pun dimulai.