Tok... tok... tok...
"Masuk."
Suara sahutan dari dalam kamar membuat Ali akhirnya membuka knop pintu. Walaupun ini merupakan kamarnya, namun tetap saja ia tak bisa sembarang masuk karna kini ada yang sedang menempati kamarnya.
Ali berjalan memasuki kamar sembari membawa nampan berukuran sedang. Dilihatnya Prilly sedang duduk menyandar di kepala ranjang. Tangannya terulur mengelus-elus pergelangan kakinya.
"Selamat pagi," sapa Ali.
"Pagi," balas Prilly pula.
"Ni aku bawain sarapan, maaf cuma ada teh sama roti bakar. Soalnya kan aku emang udah niat mau pulang jadi gak beli persediaan lagi," ucap Ali kemudian meletakkan sarapan yang sudah ia siapkan untuk Prilly ke atas nakas.
"Thanks," balas Prilly pelan.
Diambilnya segelas teh itu kemudian disedunya.
"Gimana kaki kamu?"
"Udah lumayan."
"Bagus deh kalau gitu, kamu jangan banyak jalan aja dulu, tapi sambil duduk gini coba di gerak-gerakin sedikit," saran Ali. Prilly hanya membalas dengan anggukan kecil.
"Yaudah aku mau keluar sebentar ya," ucap Ali kemudian hendak berlalu pergi.
"Li," panggilan Prilly itu membuat langkah Ali terhenti. Ali berbalik menatap Prilly.
"Gue mau pulang ke Indonesia."
"Loh bukannya kaki kamu masih sakit? Kamu istirahat aja dulu."
"Lo kenapa jadi larang-larang gue gini sih? Gue udah muak tau sama lo disini. Lo sengaja nahan-nahan gue disini karna lo mau macam-macam?"
Ali menggeleng pelan mendengar tuduhan Prilly. Apakah di pikiran Prilly, Ali itu sangat buruk? Bukankah tadi Ali hanya bertanya bahwa kakinya masih sakit? Tapi kenapa ia menjawab begitu panjang dengan tuduhan yang bertubi-tubi?
Ali kembali menghampiri Prilly kemudian duduk di tepi ranjang.
"Bukan itu maksud aku, kan kaki kamu masih sakit. Kalau kaki kamu udah enakan, kita bakal langsung pulang kok," balas Ali lembut.
"Tapi gue udah kangen Zidan," gumam Prilly lirih. Walaupun hanya sebuah gumaman namun Ali bisa mendengar jelas.
Prilly memalingkan wajahnya kearah luar jendela apartemen. Ali bisa melihat sudut matanya yang sedang membendung air matanya. Sepertinya Prilly sangat merindukan Zidan. Ali sedikit terkesiap saat melihat air mata Prilly sudah menetes di pipinya. Tanpa sadar tangan Ali terulur menyeka air mata itu. Lengan kokohnya terarah mengusap pipi Prilly lembut. Prilly yang tersadar akan perlakuan Ali kembali memalingkan wajahnya menatap Ali.
"Gue kangen Zidan Li," lirih Prilly pelan. Ali mengangguk paham.
"Besok kita pulang ya. Nanti setelah urusan Aku selesai aku beli tiket buat kita ya," balas Ali. Prilly mengangguk pelan.
Ali menarik kembali tangannya kemudian tersenyum pada Prilly. Setelah itu Ali berlalu keluar kamar.
Sepeninggalan Ali, Prilly kembali menatap luar jendela. Kamar apartamen Ali yang terlihat di lantai yang cukup atas membuatnya bisa melihat kota Amsterdam. Pemandangan di hadapannya ini seharusnya bisa membuatnya nyaman. Jika dalam keadaan normal rasanya ia kini ingin sekali mengambil kanvas dan kuas, atau sekedar buku gambar dan pensil untuk menggambarkan indahnya suasana pagi di hadapannya. Namun dengan perasaan gundahnya kini rasanya tangannya tak mampu menggoreskan apapun pada kanvas itu. Prilly tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi nanti saat ia sampai di Indonesia. Harapannya hanya satu, ia bisa bahagia dengan Zidan, jagoannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect Captain
RomansaAlasan klise ketidak sengajaan membuat dua orang berbeda karakter ini bertemu. Namun ternyata itu bukan pertemuaan pertama dan terakhir mereka, namun merupakan awal dari pertemuan mereka selanjutnya hingga kisah itu pun dimulai.