RINAI HUJAN

3.7K 170 3
                                    

Espresso panas mengepul di atas mejaku. Enggan kusentuh karena si tangan sedang sibuk bergerak-gerak di atas keyboard laptopku. Padahal yang kuketik akan kuhapus tidak sampai semenit karena kurasa kurang klik, kurang terasa feelnya.

Entah mengapa akhir-akhir ini aku merasa kurang produktif menghasilkan cerita. Padahal pak Muhlis editorku, sudah sering menelpon minta kepastian. Sial.

Kulayangkan pandangan pada jendela, menatap lurus ke jalan. Hujan telah turun sejak lima menit yang lalu, motor matic kesayanganku tampak kuyup di bawah sana. Salah sendiri mengapa memilih parkir di luar.

Ah, hujan.

Andai saja aku ini penulis yang langsung terisi inspirasi hanya dengan menikmati momen hujan, maka pak Muhlis akan berlonjak bahagia di luar sana. Apalagi musim hujan begini. Seharian matahari hanya berani ngintip di balik awan.

Aku kadang heran, apa keindahan hujan? Kenapa banyak wanita yang mengagungkan momen hujan? Kata mereka hujan membawa kenangan indah atau malah membuat galau seharian hanya karena pernah hujan-hujanan bersama mantan. Astaga. Kenapa suka mendramatisir hujan, sih? Itu hanya bulir air yang turun dari langit. Bukan tetes-tetes penuh cerita seperti di banyak kepala wanita. Juga penulis romansa.

Lalu apa yang mereka sebut bau hujan itu? Petrikor? Baunya enak? Coba browsing di google, darimana asal baunya.

Pandanganku melayang ke arah layar laptop lagi yang kini kosong. Lalu menatap lagi ke arah luar. Mencebik kesal lalu mengeluh.

"Mukanya biasa aja kali mas," gadis berambut panjang di depanku yang sepertinya dari tadi memperhatikan kesebalanku berujar. "Muka Kamu begitu terus pas hujan"

"Hujan itu bikin susah Jane," jawabku. Si gadis yang ku panggil jane itu memasang wajah kesal

"Nama gueh Anjani loh mas, bukan Jan Jin Jun seperti yang mas sebut. Nama Saya asli nama orang Indonesia, bukan nama kebarat-baratan"

Aku terkikik. Paling suka deh menggoda gadis itu. "Oke, An," mata gadis itu menyipit mendengar panggilanku yang lain. Tapi ia enggan berkomentar. "Mana naskah yang kata kamu bagus itu? Yang sudah kamu selesaikan malam tadi?" Kataku sambil membuka telapak tangan. Hilang inspirasi begini lebih baik membaca sekalian mengomentari tulisan Anjani. Siapa tau nanti ada gagasan yang muncul.

Anjani membuka tas ranselnya lalu menyerahkan sebuah map biru. "Aku buat ini dari hati yang terdalam loh, mas"

"Oh, ya? Coba kutebak, tentang cinta-cintaan lagi lalu mereka bergandengan tangan dan menari berdua di bawah rinai hujan?"

Anjani tersenyum kecut. Head shoot.
"Basi," cibirku.

"Lihat dulu, lah" bujuk Anjani.

Aku mengangguk-angguk lalu mulai membaca prolog.

Kamu, yang sudah seperti darah di nadiku. Pernahkah kamu tahu, hujan selalu membawa cerita tentangmu. Datang bersama bulir-bulir dingin. Hujan yang kejam kembali menceritakan kamu. Betapa cintanya aku padamu.

"Hujan itu mengganggu" bisikmu malam itu. Namun urung kau lepas dekapan hangatmu.

"Tapi hujan yang menahanmu disini," ucapku. Dan kamu tersenyum manis. Mengelus punggungku lembut.

"Hujan selalu punya cerita bagi banyak orang. Terlebih kita"

Aku menyeruput espressoku kemudian mengambil napas dalam. Seketika perutku bergejolak. Anjani terlihat khawatir dengan responku setelah membaca karyanya.

"An," kataku. "Ini apa? Romansa cengeng?"

Anjani hanya merengut. Sejahat apapun komentarku pada karyanya ia tidak akan berani membalas. Karena apa yang kukomentari memang benar.

TERAMBAU : Kumpulan Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang