Sipon Absen Seminggu

1.5K 141 29
                                    

Sipon, gadis berusia 22 tahun. seorang mahasiswi keperawatan semester akhir yang telah absen kuliah selama seminggu. Ditanya teman sekelasnya perihal absennya, mereka tidak tahu. Di tanya siapa teman dekatnya, mereka juga tidak tahu. Menurut penuturan mereka, Sipon itu adalah teman sekelas mereka, yang tidak punya satupun teman di kelasnya. Ia masih berkomunikasi, duduk sebangku dan sesekali kerja kelompok, namun tidak satu pun dari mereka yang tahu siapa sebenarnya Sipon. Mengapa ia seintrovert itu. Padahal kan , dia calon perawat, pelaksana pelayanan kesehatan yang akan terjun langsung ke masyarakat.

Sipon, gadis berkacamata tebal dengan kardigan biru muda itu, pertama kali kulihat ketika masuk ke dalam kelas di semester satu. Ia tampak samar di mata teman yang lain tapi tidak bagiku. Sipon itu ada, namun auranya lemah. Ia samar bagi banyak orang karena ada atau tidak adanya dia, jarang ada yang menyadarinya. Berterimakasih lah, di bangku kuliah absensi di junjung tinggi. Berkat lembar absen pula lah teman sekelas tahu bahwa Sipon telah absen selama seminggu.

Aku bukan seorang bintang kelas seperti Amira, bukan pula yang paling cerdas di kelas seperti Zain. Namun aku sepertinya yang paling tahu tentang Sipon. Aku ini tipe pengamat. Bukan hanya Sipon yang kukenali lebih dalam, teman yang lain juga. Aku bahkan mengetahui setiap pacar teman-temanku. Atau cerita-cerita aneh mereka.

Hey, bukan. Aku bukan seorang penggosip. Namun ketika ada gosip miring tentang Sipon yang telah absen selama seminggu, aku hanya mencibir pelan. Aku sudah sadar sejak hari pertama Sipon absen. Bahkan aku sudah menyadari sebelum ia akan absen. Aku bukan cenayang, aku seorang pengamat.

Sipon mungkin introvert, namun aku tahu ia mencintai setengah mati pada Zain. Aku tahu, setiap ia curi-curi pandang pada Zain atau tangan jahilnya yang secara sengaja--tapi terselubung--menyentuh tangan Zain saat berselisihan di jalan. Perilaku Sepik sepik iblisnya begitu, aku sudah tahu.

Aku juga tahu bahwa Zain menyadari perasaan Sipon, lalu menerimanya. Bukan sebagai pacar, tapi teman. Sebatas teman. karena sebelumnya, Sipon baginya bukan siapa-siapa. Bahkan bukan apa-apa. Akhir-akhir ini, Mereka kadang terlihat ngobrol sesekali di kelas.

Kadang aku bertanya-tanya, mengapa seluruh kelas memperlakukan Sipon seperti lirik soundtrack film hantu di tahun 2004-an, antara ada dan tiada? Padahal ia sama sekali tidak mengganggu siapapun. Ia hanya duduk di pojok belakang kelas. Diam di kursinya sibuk mencatat entah tulisan apa lalu pulang saat jam pulang. Ia hanya seorang mahasiswi kupu-kupu. Kuliah-pulang-kuliah-pulang.

Mungkin mereka tidak senang dengan kehadiran kaum marginalis sejenis Sipon, yang ketika bertemu tidak berani menyapa. Menunduk sepanjang jalan macam ada uang receh yang bisa ia temukan. Mungkin mereka hanya dapat menerima seseorang yang ceria, ramah pada siapa saja dan mau di ajak jalan-jalan.

Maka ketika teman sekelasku sadar Sipon telah absen selama seminggu, mereka mulai menyadari satu hal. Sipon ternyata bagian dari kelas kami. Mereka mulai menerka-nerka alasan mengapa Sipon absen. Sakit kah? Berhenti kuliah kah? Pulang kampung kah? Sayangnya mereka lupa, kapan terakhir kali mereka sadar Sipon hadir di kelas.

Ketua kelas kemudian mengambil inisiatif untuk berkunjung kerumah Sipon, mencari kabar dan alasan mengapa ia absen selama seminggu. Si cerdas Zain ketua kelasnya. Aku mengajukan diri untuk ikut berkunjung. Akhirnya kami pergi berkunjung hanya berdua.

Tentu saja hanya aku yang menyadari ternyata Zain mengetahui alamat rumah Sipon tanpa bertanya ke kantor dosen terlebih dahulu. Tapi aku hanya diam. Aku seorang pengamat, ingat?

ketika kami memencet bel, hanya ada denting bunyi bel yang terdengar tanpa ada seorang yang membuka pintu.

Ding dong yang ke lima belas, Zain mulai panik. Ia menggedor rumah membabi buta sedangkan aku berlari mencari satpam komplek. Aku punya firasat buruk.

Seorang satpam bertubuh tambun datang tergopoh-gopoh lalu mulai memencet bel. Demi Tuhan, bodohnya bukan main beliau itu, padahal kami telah memencet bel ratusan kami sebelumnya.

Kami berdiskusi untuk mendobrak pintu rumahnya. Zain si cerdas itu, sibuk menelpon seseorang. Namun Kedengarannya, si pemilik nomer enggan menerima telepon Zain. Dan kukira aku tahu siapa pemilik nomer itu.

Satpam memanggil pak RT, dan kami berunding. Aku yang menjelaskan kali ini--setelah sekian lama banyak diam-- bahwa Sipon, teman sekelas kami telah absen kuliah selama seminggu. Kami takut jangan-jangan Sipon sakit parah. Atau sebuah kejahatan terjadi padanya tanpa diketahui. Mendengar itu, pak Satpam tampak mendengus tersinggung. Aku mengerti ia merasa khawatir jika kinerjanya di remehkan. Sedangkan Pak RT nampaknya mengerti. Beliau memberi izin kami untuk mendobrak.

Ketika pintu rumah itu terbanting keras--dengan bantuan Zain, pak RT dan dua satpam komplek--hidungku yang sebenarnya tidak tajam menangkap bau yang sangat kukenal. Bagaimana aku tidak kenal, ini sejenis bau ketika kami membersihkan pus (BACA: Nanah) pada pasien diabetes atau darah pada pasien kecelakaan, saat kami dinas d rumah sakit. Bedanya yang kucium ini mungkin telah terkontaminasi kuman selama--mungkin--seminggu lalu Membusuk disana, di dalam rumah.

Kami berlari mencari sumber bau sekaligus menutup hidung. Lalu di kamarnya kami temukan Sipon telah membusuk. Ia tanpa celana. Telanjang setengah badan. Darah berceceran di lantai. Ada beberapa belatung yang merayapi tubuh bagian bawahnya, tempat darah yang keluar. Beberapa gumpalan darah, mirip manusia mini beserta usus mini tergeletak mengenaskan di dekat pahanya. Aku tidak menutup mata namun menutup mulutku. Dan Zain seketika muntah. Di susul satpam tambun.

Sipon telah absen kuliah selama seminggu bukan karena sekedar sakit, berhenti kuliah atau pulang kampung. Ia frustasi lalu mencoba melakukan aborsi. Dan gagal. Ia mati bersama anaknya. Dan sepertinya aku tahu siapa bapaknya.

Kujambak rambut Zain yang sedang muntah kala itu, lalu kutendang selangkangannya. Kutampar beberapa kali wajahnya. Aku kalap. Ku maki ia sekuat tenaga. Kuteriaki di depan wajahnya.
"Kamu yang membunuhnya! Kamu yang menghamilinya, bukan? BANGSAT! IA HANYALAH GADIS POLOS DAN KAMU MEMANFAATKANNYA"

Kini aku bukan hanya seorang pengamat. Aku juga bisa menjadi seorang penganiaya.

11 Mei 2016

TERAMBAU : Kumpulan Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang