Amai

2.5K 156 13
                                    

Bacaan ini mengandung unsur dewasa, ya? Bagi adik-adii yang berumur dibawah 17 tahun, diharapkan lebih bijaksana dalam membacanya :*



Kita ini, dulunya adalah parasit ibu.

"Yak, kalau sakit tarik napas panjang lalu ngedan sekuat-kuatnya. Dagunya nempel ke dada ya bu,"seru bidan padaku. Sedangkan aku terlalu tuli untuk menurut. Sakit ini, berawal dari tulang ekorku lalu menjalar ke seluruh pinggang, perut, terlebih di selangkangan sialan ini. Terlalu sakit. Aku pasrah. Persetan sudah.

Ketika di dalam kandungan, plasentamu melekat di dinding rahim ibu, menyedot sari makanan ibu.

Si bidan menatapku prihatin sambil sesekali melirik ke arah jam dinding di ujung ruangan. Aku tahu manik hitamnya itu menyiratkan sebuah pesan, bahwa aku sudah terlalu payah untuk mengedan. Sudah hampir 2 jam aku mengedan dan bayiku belum keluar.

Bidan mengatur tetesan infus, kemudian bertanya "sebelum kesini, apa ibu ada minum jamu? Rumput fatimah mungkin?"

Aku hanya mampu menggeleng pelan. Dadaku turun naik tidak teratur. Keringat membanjir keseluruh tubuh. Kesadaranku timbul tenggelam.

"Aduh, kontraksinya jelek ini, bu. Pendek-pendek. Coba lama dan kuat. Mungkin bisa lahir cepat" keluh bidan ketika menyentuh perutku.

"Ba.. bagaimana?" Tanyaku dengan suara yang lebih lemah daripada perkiraanku. Aku merasakan firasat buruk dari dengusan napas bidan. Kugigit bibir dalamku dengan gugup.

"Saya menyarankan untuk merujuk ibu ke rumah sakit, lebih lama lagi kita menunggu, lebih mengancam keselamatan dedek bayinya"

Rumah sakit? Duit darimana? membayar bidan untuk kelahiranku saja harus mengorbankan ponselku. Belum lagi jika nanti harus di operasi. Siapa juga yang akan mengurus administrasinya?

Aku menggeleng keras. "Gak bu, gak mau. Aku mau melahirkan normal. Robek aja bu lebar-lebar. Rantas semuanya juga boleh. Ayo kita mulai lagi"

"Tapi keadaan ibu sudah terlalu payah begini,"

"Jangan.. ah! Sakit bu, aku akan mengedan" seruku kemudian mengumpulkan energi ketika menarik napas panjang dan mengedan sekuat tenaga. Bidan segera memasang posisi.

"Ya, bagus, jangan bersuara, bokongnya jangan di angkat!"

Suaraku berdecit memfokuskan titik mengedan ke bawah, layaknya mengedan BAB, sesuai saran bidan.

Setiap hari kamu bertumbuh hasil dari mencuri makanan ibumu. Kamu butuh tulang, kamu curi kalsium ibumu. hingga bolong semua gigi ibumu. Kemana-mana di gendong ibumu. Di elusnya lembut kamu dalam buaian. Kamu malah menendang perutnya.

"Aduhh,"

"Jangan berbicara, energinya nanti terbagi, fokus mengedan. Ini terakhir kali, mengedan yang benar" bidan mengambil segelas teh manis hangat dan mendekatkan sedotannya ke dekat mulutku. "Mau minum dulu, Untuk tambahan energi?"

Aku mengangguk, menyeruput teh hangat dari sedotan kemudian menuruti arahan bidan. Menarik napas panjang merasakan sakit di perutku kembali menjalar, hingga kencang sekali dinding perutku, lalu Menarik lebar-lebar kedua pahaku hingga kukira memang sudah rantas di bawah sana.

TERAMBAU : Kumpulan Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang