| 14 hari sebelumnya |
"Gue nggak dibolehin sama Bunda," kata Canda di seberang telepon. Sementara aku duduk di tempat tidurku, membuka-buka buku Sosiologi untuk ulangan harian besok meski tidak ada satu pun materi yang hinggap di kepalaku.
Malam ini, aku dan Canda sedang membahas rencana kami untuk liburan akhir pekan ini ke villa milik keluarga Bian di somewhere over the rainbow—oke, aku tidak ingat letaknya di mana. Yang jelas aku sangat antusias, Canda apalagi. Bian biasa saja.
Aku, Bian, Canda. Kami bertiga partner-in-crime sejak kelas sepuluh. Mungkin crime di sini hanya berlaku untukku dan Canda karena Bian, the goody two shoes, bintang kelas, kesayangan guru-guru dengan segudang prestasi gemilang dan bersih dari catatan poin di BK. Tipikal murid yang duduk paling depan di kelas, punya kelas ekstra atau kegiatan akademik lainnya sepulang sekolah, dan mengerjakan PR seminggu sebelum tenggat waktu dikumpulkannya, ya, itu Bian.
"Belum dibolehin," koreksiku untuk Canda. "Bujuk lagi, Nda, masa gitu doang nggak bisa."
"Besok gue coba lagi, deh." Canda menguap di sana. "Gue bobo dulu, ya. Good night, Andin."
Kemudian sambungan terputus sebelum aku sempat berkata apa-apa. Dasar Canda. Aku melirik jam dinding, hampir menunjukkan pukul sepuluh. Pantas saja, Canda tidak pernah bisa terjaga hingga lewat pukul sepuluh.
Aku menutup buku Sosiologi yang sejak tadi kubuka-buka—menyerah. Kurebahkan kepalaku di bantal; tidur sejenak.
Drrrrrtt
Getar ponselku menggelitik pergelangan tanganku. Siapa sih yang menelepon? Dengan mata setengah tertutup, aku meraba-raba sisi tempat tidur tempat aku meletakkan ponselku tadi.
"Halo?" sapaku. Lalu hening tanpa jawaban selama beberapa saat.
"Udah tidur, Din?" balas si penelepon kemudian. Itu Bian.
Mendengar suaranya, aku menegakkan tubuh dan kembali terduduk di atas tempat tidur. "Belum kok, kenapa?"
"Gue nggak ganggu, kan?"
"Nggak. Gue habis teleponan sama Canda," aku memberitahu. "Dia nggak dibolehin sama Bunda pergi hari Jum'at nanti."
"Jadi gimana?"
"Tunggu besok aja, gue nyuruh dia bujuk Bunda lagi." Aku menggosok-gosok mata. Ternyata efek membaca—ralat, membuka-buka buku—sangat besar untukku. Aku jadi mengantuk, padahal ini belum masuk waktu tidurku.
"Oke," balas Bian, tapi terdengar tidak benar-benar menyimak. Mungkin orang lain akan berpikir itu efek mengantuk, tapi aku kenal Bian—saat ini pasti ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya.
"Tumben nelepon malam-malam, Yan. Lo nggak belajar?" pancingku.
Kudengar Bian menghela napas. "Nggak."
Dari caranya berbicara, aku tahu ada hal yang ingin dikatakannya tapi tidak dikatakannya. Jadi aku memilih diam, menunggu dia mengatakan hal itu.
"Andini," Bian kembali bersuara.
"Hm?"
"Keluar, yuk?"
Mataku membulat, agak kaget. "Kemana?"
"Terserah," kata Bian. "Gue agak ... nggak tenang sendirian."
Aku melirik jam dinding lagi; sudah lewat pukul sepuluh. Tapi Papa belum pulang—atau mungkin tidak akan pulang malam ini. Jadi, aku menyanggupi, "Oke. Jemput, ya."
"Sebenernya gue daritadi udah di depan rumah lo, sih."
"Hah?" Aku melompat ke balkon, menyibak tirai yang menutupi permukaannya dan mendapati mobil Bian sudah terparkir manis di depan pagar.
Kaca jendela Bian diturunkan setengah, menampakkan sosok cowok itu yang sedang melambai ke arahku sementara sebelah tangannya lagi menggeggam ponsel di telinga.
"Kenapa nggak bilang dulu, sih?" kesalku.
"Loh, ini kan udah bilang."
Aku memutar bola mata. Merasa berdebat dengan makhluk yang IQ-nya dua kali lipat dariku adalah hal yang sia-sia, aku memutuskan untuk mengakhiri sambungan telepon. "Gue ganti baju dulu," kataku sebelum melempar ponselku ke tempat tidur dan menerjang lemari baju.
Lima menit kemudian, aku sudah duduk di samping Bian yang berkendara entah kemana. Kaca jendela di sisiku dan di sisi Bian dibiarkan terbuka lebar, membuat angin malam masuk dan menerbangkan helaian rambutku yang kubiarkan tergerai. Aku suka.
Sementara Bian, cowok itu bungkam sejak tadi, fokusnya terpaut pada jalanan yang lengang di depan kami seolah menyetir di jalan sepi malam ini membutuhkan konsentrasi penuh.
"Mau makan, nggak?" Bian buka suara ketika kamu memasuki kawasan penuh warung dan penjaja makanan yang buka hingga pagi buta.
Aku menggeleng. "Tadi udah makan."
Meskipun begitu, Bian tetap menghentikan mobil di samping penjual sate dan memesan satu porsi kecil untuk kami berdua. Sebenarnya Bian juga sudah makan. Jadi ketika piring sate kami diantarkan ke mobil, baik aku atau Bian hanya memandang sate itu tanpa minat.
"Lo kenapa?" tanyaku to the point. Aku memutar tubuh, menatap langsung ke iris mata Bian yang memancarkan sorot lelah seolah dia belum tidur berhari-hari.
"Gue nggak tahu, Din," jawabnya. "Gue cuma merasa butuh teman."
Aku tahu itu jawaban yang jujur.
"Jadi lo nyulik gue malem-malem gini karena nggak tenang sendirian dan butuh teman?" simpulku.
"I guess." Dia mengedikkan bahu, kemudian menoleh sepenuhnya padaku. "Lo nggak keberatan, kan?"
Tidak. Sama sekali tidak.
Tapi aku memilih untuk tidak menjawab dan mengambil setusuk sate dari piring yang diletakkan di dasbor. "Kecapnya kurang," komentarku.
Bian ikut mencomot satu dari piring dan mencobanya. "Ini kemanisan," timpalnya.
Walau begitu, kami tetap menghabiskan seporsi sate itu berdua, ditemani alunan lagu-lagu lama yang diputar di radio dengan volume rendah.
Entah kenapa, duduk berdua dengan Bian malam ini membuat dadaku menghangat. Bersama dengannya membuatku merasa dibutuhkan—dia mencariku; bukan Canda, bukan siapa pun, tapi aku.
Maka ketika jam digital di samping tempat tidurku menunjukkan pukul 11:11 malam ini, aku berharap perasaan hangat malam ini berlangsung lama—atau kalau bisa, selamanya.
______
KAMU SEDANG MEMBACA
11:11
Short StoryIni cerita tentang seseorang yang berharap. Seseorang yang memejamkan mata dan membuat doa di tengah keheningan malam. Seseorang yang menanti keajaiban harapan dalam diam. Seseorang yang tidak berhenti percaya suatu saat pengharapannya jadi nyata. M...